Berita Golkar – Anggota Komisi V DPR RI, Daniel Mutaqien Syafiuddin, mengungkapkan kekhawatirannya terkait pengelolaan Bandara Hang Nadim di Batam yang melibatkan konsorsium asing.
Dalam kunjungan kerjanya, Daniel menyoroti pentingnya mempertimbangkan dampak strategis pengelolaan pintu gerbang keluar-masuk barang dan orang ke Indonesia oleh pihak luar, meskipun dengan komposisi kepemilikan mayoritas masih dipegang oleh PT Angkasa Pura sebesar 51%.
“Saya sangat terkejut melihat Bandara Hang Nadim ini dikelola melalui konsorsium dengan pihak ketiga, termasuk Incheon dari Korea Selatan. Meskipun Angkasa Pura masih memegang mayoritas saham, tetap saja keterlibatan pihak asing dalam pengelolaan pintu gerbang negara ini menjadi hal yang sensitif dan patut diantisipasi,” jelasnya Daniel usai pertemuan Kunsfik di Batam, Kepulauan Riau, Rabu (20/11/2024), dikutip dari laman DPR RI.
Menurutnya, keputusan melibatkan pihak asing dalam pengelolaan bandara bukan hanya persoalan efisiensi anggaran atau potensi keuntungan ekonomi. Ia menilai hal ini memiliki dampak yang jauh lebih luas, termasuk risiko terkait keamanan dan kedaulatan nasional.
Dengan ini, Daniel mengingatkan bahwa bandara memiliki fungsi strategis sebagai pintu keluar-masuk orang dan barang, yang sangat penting bagi keamanan nasional.
“Ini bukan hanya soal penghematan anggaran negara sebesar 1-2 triliun, tetapi juga menyangkut efek jangka panjang. Bandara adalah tempat yang sensitif, dan melibatkan pihak asing dalam pengelolaannya dapat membawa konsekuensi besar yang harus dipikirkan dengan matang,” tegasnya.
Ia juga membandingkan hal ini dengan rencana sebelumnya pada 2019-2020, ketika Pulau Komodo sempat direncanakan untuk dikelola bersama pihak asing. Kala itu, Kami juga menentang rencana tersebut, dengan alasan bahwa pengelolaan aset strategis nasional seharusnya sepenuhnya dilakukan oleh negara tanpa campur tangan pihak luar.
Legislator Fraksi Partai Golongan Karya juga menyoroti nilai investasi sebesar Rp 2 triliun yang disuntikkan dalam proyek pengelolaan Bandara Hang Nadim. Namun, ia mengingatkan bahwa nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan.
“Jika kita bandingkan, nilai transaksi narkoba di Indonesia mencapai ratusan triliun. Jadi, jika harus memilih, lebih baik pemerintah mengeluarkan Rp 2 triliun untuk mengelola bandara ini secara mandiri daripada melibatkan pihak asing,” ungkapnya.
Daniel meminta pemerintah, khususnya kementerian terkait, untuk mempertimbangkan ulang kebijakan yang melibatkan pihak asing dalam pengelolaan aset strategis seperti bandara. Menurutnya, pengelolaan yang sepenuhnya dilakukan oleh negara akan lebih menjamin kedaulatan, keamanan, dan kepentingan nasional.
“Saya berharap pihak-pihak terkait bisa melihat ini bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari aspek kedaulatan dan keamanan. Kita harus memastikan bahwa pengelolaan aset strategis negara tetap di tangan kita sendiri,” tutupnya.
Kunjungan ini diharapkan menjadi momen evaluasi bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pengelolaan infrastruktur strategis, demi menjaga kedaulatan dan keamanan Indonesia. {}