Berita Golkar – Gubernur NTT, Melki Laka Lena mengatakan, penggunaan uang komite perlu diperketat. Pernyataan Melki laka Lena itu menanggapi permintaan Ombudsman NTT agar Pemprov NTT mengevluasai pungutan komite di SMKN dan SMAN.
Melki laka Lena mengatakan untuk mengawasi pungutan dan penggunaan dana komite, perlu dibentuk lembaga pengawas yang secara khusus mengawasi penggunaan dana komite.
Ia juga mengingatkan pihak sekolah bahwa ijazah merupakan hak para siswa. Karena itu, pihak sekolah wajib menyerahkan ijazah paling lambat beberapa hari setelah pengumuman kelulusan.
“Bagi siswa yang belum dapat melunasi uang komite, pihak sekolah dapat membuat surat perjanjian dengan orang tua atau siswa yang bersangkutan. Surat tersebut berisi komitmen untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran dalam jangka waktu yang disepakati,” saran Melki, dikutip dari Tribunnews.
Kepala Biro Organisasi, Djoese S.M. Naibuti menambahkan, Biro Organisasi dapat mendampingi dalam perumusan SOP untuk sekolah-sekolah mengenai batas waktu penyerahan ijazah kepada siswa.
Sementara Inspektur Provinsi NTT, Stefanus F. Halla mengatakan, uang komite bersifat sumbangan sukarela. “Kalau dilihat lagi menurut aturan, uang komite bersifat sumbangan sukarela, tidak boleh ditentukan nilai dan waktu. Jika terkesan wajib atau memberatkan, itu bisa dikategorikan pungutan liar ( pungli),” kata Stefanus F. Halla.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Ambrosius Kodo menyebut, pihaknya sudah mengeluarkan Surat Edaran yang menegaskan Satuan Pendidikan dilarang mengambil tindakan untuk memulangkan peserta didik pada saat pelaksanaan ujian atau menahan ijasah dengan alasan belum membayar uang komite.
“Ada sekolah yang sudah berani mengambil keputusan untuk menghapus uang komite seperti SMK Negeri Kolbano di Timor Tengah Selatan. Untuk sekolah seperti ini akan kita apresiasi,” kata Ambrosius Kodo.
“Ada sekolah yang sudah berani mengambil keputusan untuk menghapus uang komite seperti SMK Negeri Kolbano di Timor Tengah Selatan. Untuk sekolah seperti ini akan kita apresiasi,” kata Ambrosius Kodo.
“Pungutan satuan pendidikan atau sumbangan komite di SMA/SMK Negeri di NTT saat ini berkisar Rp50.000 – Rp150.000/siswa/bulan terasa cukup memberatkan, terutama bagi para siswa yang orang tuanya tidak mampu,” katanya, Sabtu (14/6/2025).
Darius mengatakan, sumbangan komite atau pungutan itu bila dihitung maka bisa mencapai Rp 1,8 juta per tahun. Angka ini menunjukkan sumbangan komite lebih besar dari alokasi Dana BOS yang hanya Rp1,5 juta.
Ombudsman NTT mendapati bahwa alasan dilakukannya penggalangan dana dimaksud adalah guna membiayai kekurangan biaya satuan pendidikan di luar Bantuan Operasional Satuan Pendidikan dari APBN.
Pembiayaan itu di antaranya yakni gaji guru honorer dan tenaga kependidikan/administrasi, insentif/honor tugas tambahan guru PNS dan operasional kepala sekolah, serta kegiatan pengembangan pendidikan/ekstra sekolah.
Namun dalam pelaksanaan pembayaran atau pelunasan sumbangan komite sekolah dijadikan syarat untuk keikutsertaan dalam ujian sekolah.
Peserta didik yang belum melunasi sumbangan komite sekolah tidak dapat mengikuti ujian sekolah dan dipulangkan. Bagi peserta didik yang sudah lulus namun belum membayar sumbangan komite sekolah, belum dapat mengambil ijazahnya atau ditahan oleh satuan pendidikan.
“Kami mohon dukungan Bapak Gubernur, agar Pemerintah Provinsi NTT bisa mengevaluasi pengelolaan dan anggaran honor tugas tambahan guru dan kepala sekolah yang pembiayaannya bersumber dari sumbangan dan/atau pungutan pendidikan,” kata Darius ketika bertemu Gubernur NTT Melki Laka Lena beberapa hari lalu. {}