27 September 2017

Hantu Komunis dan Kapitalis Sang Pembunuh Senyap (3)

Baca: Hantu Komunis dan Kapitalis Sang Pembunuh Senyap (2)

Kapitalisme Pun Tak Kalah Jahat

Berbicara komunisme rasa-rasanya tak adil jika tak juga membicarakan kapitalisme. Apalagi Indonesia sebagai negara Pancasila yang berjiwa kapitalis dan seakan sedang dinina bobokan oleh nyanyian kenikmatan yang begitu bebas dari paham kapitalisme. Kita tak sadar dan tak pernah mau menyadari, apa-apa yang menjadi kebiasaan (usage) dan budaya kehidupan (culture of life) bangsa Indonesia sedang diinjak habis oleh kapitalisme. Saat era revolusi industri di Eropa, sebagian orang yang sadar, dengan kebanggaannya menggugat cara berfikir kapitalisme yang dianggap menimbulkan disparitas ekonomi secara signifikan. Gugatan itu menghasilkan nilai atau ideologi baru yang disebut sosialisme, komunisme, fasisme, anarkisme atau bahkan konservatisme. Kapitalisme digugat sedemikian rupa karena menimbulkan gejolak dan kerusakan akibat munculnya berbagai persoalan ketidak adilan. Secara fundamental, kapitalisme menyentuh hakekat dasar manusia sebagai makhluk bebas, ini berlangsung secara alamiah. Atas sebab itu, mereka yang sedang diradang kapitalisme sulit untuk sadar karena menikmati apa yang sudah disajikan kapitalisme walaupun nantinya akan ada resiko ancaman kehidupan yang musnah.

Kapitalisme berasal dari kata Capital yang berarti modal. Menurut Ayn Rand (1970) kapitalisme adalah “a social system based on a recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned”. Dapat diartikan jika kapitalisme adalah suatu sistem yang berbasiskan pada pengakuan hak milik pribadi. Berbanding terbalik dengan apa yang menjadi ide dari sosialis atau komunis dimana kedua ideologi itu tidak menghendaki adanya kepemilikan individu atas dasar kecenderungan melakukan penyelewengan atau kesewenangan.

Ayn Rand dalam bukunya Capitalism (1970) menyebutkan terdapat 3 (tiga) asumsi dasar kapitalisme, yaitu; kebebasan individu, kepentingan diri (selfishness), dan pasar bebas (free market) dalam konteks ekonomi. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand juga menolak kolektivisme, altruisme dan mistisme. Pandangan Rand dalam hal ini sungguh sangat memilukan, prinsip dasar yang dimiliki penganut kapitalisme jelas bertentangan dengan akar budaya bangsa Indonesia yang menganut nilai-nilai gotong royong, musyawarah, kerja sama dan nilai kolektifitas lainnya. Tak heran nilai asli yang dimiliki bangsa ini mulai tergusur oleh nilai yang mengedepankan keunggulan diri sendiri seperti materialism, narsisism, bahkan hedonism.

Jika kita lebih jauh melakukan rekonstruksi daya nalar kritis terhadap kapitalisme yang merupakan sebuah nilai, maka kapitalisme jelas bertentangan dengan pemahaman agama khususnya Islam yang menjadi agama mayoritas manusia Indonesia. Mengapa? Dalam Islam tak ada kebebasan mutlak bagi satu makhluk pun yang tinggal di bumi, termasuk manusia. Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW sebagai syariat hukum yang harus dipatuhi tuntunannya memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan absolut manusia di bumi. Pedoman hidup manusia sudah diejawantahkan sedemikian rupa oleh kitab Illahiah yang terlembaga bernama agama. Dalam essensi beragama, manusia pun senantiasa dituntut memiliki hubungan sosial yang baik dan meniadakan kepentingan diri atau ke-akuan. Jika kepentingan diri yang dikedepankan maka chaos atau kekacauan yang akan terjadi atas sebab bersinggungannya kepentingan diri antar individu. Lantas kapan Bangsa Indonesia berani menggugat kapitalisme dan berkata tidak untuk hegemoni modal yang menjadi parasit terhadap apa yang dimiliki bangsa ini?

Jauh lebih dalam, penulis lebih membenci kapitalisme daripada komunisme apalagi sosialisme. Sebab setiap hari, korban-korban kapitalisme berjatuhan, saban hari di pinggir-pinggir jalan korban kapitalisme meminta belas kasihan. Belum lagi mereka yang harus tergusur dan tercerabut akar kehidupannya dari tanah yang selama ini dipijak karena persaingan kapitalistis atas kepemilikan tanah atau bangunan. Nantinya tanah atau bangunan itu akan disulap menjadi kumpulan struktur bangunan yang komersil, memaksa kita menjadi konsumtif, mengikuti sistem yang tanpa henti merongrong kita sebagai manusia dalam hal tenaga, fikiran dan lainnya. Kapitalisme memberikan cover atau sampul yang begitu mempesona bagi siapapun yang melihatnya, tapi tidakkah kita berkaca kepada kedalaman diri sendiri, bahwa kita lelah terus menerus mengikuti peradaban yang didesain berdasarkan gaya hidup yang materialistis oleh para kapitalis?

Menurut Karl Marx dalam karyanya yang berjudul Das Capital (1887) kapitalisme itu mempunyai ciri mutlak yakni borjuis dan eksploitasi. Oleh karenanya, menurut Marx dengan revolusi kekerasanlah pemerintahan sosialis harus didirikan. Demi terjaminnya sistem ini, maka ia harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang ‘diktator proletariat’. Penulis merasa wajar atas apa yang Karl Marx ungkapkan, bentuk buah fikir Marx yang demikian dipicu oleh apa yang Ia lihat disekelilingnya. Sebagai manusia merdeka dan mempunyai hati nurani, jelas Marx geram dengan kapitalisme yang menjamur menggerogoti sendi kemanusiaan pada kehidupan di bumi. Tak ada bicara keadilan, tak ada bicara kesentosaan apalagi bentuk masyarakat yang madani. Uang bak Tuhan bagi mereka para kapitalis. Mengejar kepentingan diri dan dibalut dalam kebebasan adalah bekal sempurna seorang manusia menjadi monster penghisap darah manusia lainnya. Atas nama kompetisi, persaingan, kehidupan dibuat bagaikan cendawan racun yang mematikan.

Era sekarang pun kaum yang tersadar akan geliat hitam kapitalisme di barat membuat agama kemanusiaan (religion of humanity) karena resah akan kedigdayaan kapitalis yang seolah memburamkan nilai moral dan etika. Hal ini juga akibat terpinggirkannya dan betapa frustasinya mereka menghadapi daya dobrak kapitalism dalam merusak kehidupan manusia. Manusia memiliki nafsu dan syahwat untuk menguasai, ketika tak diberi batasan atau dibiarkan bebas tanpa aturan, maka manusia akan sangat eksploitatif dan berusaha untuk menguasai apapun yang bisa dikuasai. Liberalisme lalu kapitalisme penulis sebut sebagai pembunuh berdarah dingin nan senyap, yang tanpa kita sadari dan ketahui, kita bisa mati karena kehabisan darah akibat dihisap seluruhnya oleh kapitalis.

Begitu kejamnya ideologi yang keluar dari kepala seorang manusia hingga dapat menjadi virus yang menjangkiti kehidupan manusia lainnya. Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan budaya, sejarah dan tata nilai seharusnya dapat lolos dari virus kapitalisme global. Namun apa hendak dikata, justru oknum yang buta terhadap kehidupan manusia lainnya menjadi agen kapitalis dan terus menerus menganggap kapitalisme sebagai jalan keluar dari kesengsaraan. Kita memiliki Pancasila, yang bukan saja merupakan sebuah simbol negara namun juga pedoman kehidupan bernegara. Lalu dimana peran Pancasila disaat negara dan bangsa sedang menghadapi degradasi kehidupan seperti sekarang?

Bersambung...

Rezha Nata Suhandi (Peneliti Sang Gerilya Institute, Aktivis Praja Muda Beringin (PMB))

fokus berita :