30 Desember 2022

Nusron Wahid: MK Tak Memiliki Hak Tentukan Sistem Pemilu!

Berita Golkar - Sistem pemungutan suara Pemilu 2024 tengah digugat sejumlah politisi dengan mengajukan uji materi terhadap UU No. 7 tahun 2019 atau UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta MK untuk membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Politisi Partai Golkar dan Anggota DPR RI Nusron Wahid melihat gugatan ini menjadi absurd. Pasalnya sebagai orang awam, ia mengaku tidak benar-benar memahami tata cara pengadilan judicial review (JR) suatu undang-undang di MK.

"Tata cara JR di MK itu seperti apa? Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada tahun 2008 lalu, bisa digugat lagi di lain waktu. Bagi saya itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim," kata Nusron dalam keterangan tertulis, Jumat (30/12/2022).

Baca Juga: Sambut Tahun Baru, Yod Mintaraga Optimis Kesejahteraan Masyarakat Jabar Makin Meningkat

Menurutnya setelah diputus dan disahkan oleh MK, maka hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final. Meski dalam pengambilan keputusan dilakukan individu hakim yang berbeda, Nusron berpendapat jika keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum.

"Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan dan diputuskan oleh MK itu di kemudian hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk menggugatnya lagi di kemudian hari. Sehingga dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia," ujar Nusron.

Karena itulah gugatan ini sudah sepantasnya ditolak oleh MK, kalau perlu diabaikan. Menurut Nusron, jika tetap diterima, bahkan disidangkan, maka bisa mempengaruhi kredibilitas dan kualitas MK.

Baca Juga: Apresiasi Kreativitas UMKM, Idah Syahidah Hadiri Peresmian Art Gallery Dekranasda Gorontalo

"Karena menjilat ludah sendiri atas keputusan yang sudah diambil. Terus kalau begitu di mana kepastian dan legitimasi hukum, apalagi ini menyangkut konstitusi?" ungkapnya.

Menurut Nusron yang juga anggota DPR-RI Fraksi Partai Golkar, gugatan ke MK ini bukan gugatan kasus perdata dan pidana yang sudah diputuskan Mahkamah Agung, jika ada novum atau bukti baru keputusan bisa berubah.

"Tapi review atau suatu UU sesuai atau tidak dengan konstitusi UUD. Oleh MK susah diputuskan. Jadi ini masalah tafsiran dan keputusan dimana MK sudah memutuskan. Kok diajukan lagi. Ini ada apa?" imbuhnya.

Nusron juga mengingatkan jangan sampai ada kesan MK dapat ditekan atau dipengaruhi oleh kekuatan politik tertentu yang getol dan sering mengusung sistem pemilu proporsional tertutup.

Baca Juga: Sebut Telat Wisuda Gara-Gara Mahfud MD, Ini Klarifikasi Bupati Karanganyar Juliyatmono

"Kecuali MK belum pernah ambil keputusan. Bisa jadi memang tidak ada tekanan dan pengaruh politik. Tapi karena sudah ada keputusan, kalau kemudian berubah tampak ada sentimen kepentingan," tuturnya.

Menurut Nusron, dalam istilah hukum ini termasuk Ne Bis In Idem, yakni perkara dengan objek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

"Jadi secara harfiah bahwa seseorang tidak boleh dituntut atau digugat untuk hal yang sama," tukas Nusron. Secara filosofis ini kemudian ditarik sebagai sebuah asas hukum bahwa negara harus menghormati proses dan hasil pengadilan sebelumnya. Hal ini untuk menjaga kepastian hukum.

Menurut Nusron, ini penghormatan atas res judicata atau finalitas suatu putusan, supaya negara memiliki legitimasi. Masalah ini sudah ada dalam UU MK Pasal 69 ayat 1 dan 2. Dalam UU MK disebutkan Pasal 60 (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Baca Juga: Kita Harus Bangga! Luhut Sebut Negara Maju Kalah Dari Indonesia Soal Digitalisasi Pelabuhan

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Menurut Nusron, jika ingin ada perubahan terhadap sistem pemilu atau UU Pemilu bisa dilakukan legislative review (LR).

"Ini tempatnya di DPR bukan di MK, jadi kalau mau dibawa saja ke DPR soal keinginan mengubah pasal tersebut," ucap Nusron. (sumber)

 

fokus berita : #Nusron Wahid