Berita Golkar – Ketua DPP KNPI, Achmad Annama, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus besar pengoplosan beras yang baru-baru ini diungkap Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Dalam keterangannya, Annama menilai praktik curang ini bukan hanya soal pelanggaran etik dagang, tetapi juga mencerminkan kelalaian serius dalam perlindungan kebutuhan dasar masyarakat.
“Saya prihatin dengan adanya kasus beras oplosan yang merugikan masyarakat. Kalau seperti yang disampaikan Menteri Pertanian, 212 merek beras diduga melakukan pengoplosan dengan kerugian ekonomi masyarakat bisa mencapai Rp 99 triliun, ini jelas semacam extraordinary crime. Edan!,” tegas Annama dalam pernyataannya, Sabtu (19/7).
Sebelumnya Kementerian Pertanian mengungkap temuan yang mengejutkan publik. Dari hasil uji laboratorium terhadap 268 merek beras di pasaran, sebanyak 212 merek dinyatakan bermasalah. Modus yang digunakan antara lain adalah mencampur beras premium dengan beras kualitas rendah, mengemas ulang beras curah sebagai beras bermerek, hingga mengurangi isi bersih dalam kemasan. Dalam beberapa temuan, kemasan lima kilogram ternyata hanya berisi empat hingga 4,5 kilogram.
Menurut Pakar Komunikasi Islam STID Sirnarasa ini, persoalan tersebut bukan hal baru dan justru memperlihatkan kelemahan serius dalam sistem pengawasan distribusi pangan nasional.
“Herannya, praktik ini bukan baru dilakukan kemarin sore. Praktik pengoplosan beras ini sudah lama terindikasi terjadi. Kemana saja aparat kita? Kenapa kasus ini baru naik ke permukaan sekarang? Padahal pangan itu kebutuhan dasar masyarakat. Jika negara saja tak berdaya melindungi kebutuhan dasar rakyatnya, bagaimana kebutuhan lainnya?” ujar Ketua DPP Bapera ini.
Ia menekankan bahwa dalam rantai pasok pangan, peran pengawasan tidak boleh dikesampingkan. Karenanya, ia mendesak aparat penegak hukum tidak hanya mengejar para pelaku di level produsen, tapi juga menyelidiki potensi keterlibatan oknum pengawas yang seharusnya bertugas menjaga kualitas dan keamanan distribusi beras.
“Dari kasus beras oplosan ini, saya yakin banyak yang terlibat, tidak hanya produsen. Aparat penegak hukum perlu juga menyelidiki dugaan keterlibatan oknum yang bertugas dalam pengawasan distribusi beras,” tegas Aktivis SOKSI ini.
Secara hukum, menurut Annama, tanggung jawab negara dalam menjamin mutu dan keamanan pangan telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam undang-undang tersebut, pemerintah memiliki kewajiban penuh untuk mengatur, mengawasi, dan menjamin kualitas pangan yang beredar di masyarakat.
“Jika kemudian ada produk pangan yang bisa dipalsukan atau dioplos dalam skala masif, pemerintah harus mengambil kasus ini sebagai tanggung jawab penuh mereka. Ini bukan lagi soal kecolongan, ini kegagalan pengawasan yang sistemik,” lanjut Ketua Departemen MPO DPP Partai Golkar ini.
Meski demikian, Pegiat Media Sosial Sehat ini juga memberikan apresiasi langkah cepat pemerintah dalam mengungkap kasus ini. Ia memuji tekad Presiden Prabowo Subianto dan jajaran terkait yang menurutnya menunjukkan komitmen untuk memperbaiki tata kelola perdagangan dan sistem pengawasan pangan.
“Saya mengapresiasi tekad Presiden Prabowo dan jajarannya untuk memperbaiki tata kelola perdagangan dan kinerja pemerintahan, termasuk dalam pengungkapan kasus beras oplosan ini. Sebagai afirmasi memperbaiki tata kelola perdagangan beras, saya mendukung Pak Prabowo melakukan re-transformasi Bulog sebagai penjaga ketahanan pangan yang langsung berada di bawah arahan Presiden,” kata Annama.
Langkah re-transformasi Perum Bulog dinilai krusial untuk memperkuat fungsi kontrol negara atas distribusi dan stabilisasi pangan, terutama dalam mencegah praktik manipulatif yang merugikan masyarakat.
Achmad Annama menutup pernyataannya dengan penegasan bahwa praktik pengoplosan pangan bukan hanya soal pelanggaran ekonomi, tetapi bentuk nyata kejahatan terhadap rakyat. Ia mendorong agar DPR, pemerintah, dan aparat penegak hukum bekerja sama secara serius untuk membersihkan sektor pangan dari praktik culas yang sudah berlangsung lama.
“Ini bukan sekadar isu bisnis, tetapi persoalan harkat, keadilan, dan perlindungan atas hak dasar rakyat. Jika negara tegas dalam kasus ini, maka kita semua akan punya harapan atas masa depan ketahanan pangan yang bersih dan berdaulat,” pungkasnya.