Berita Golkar – Senayan minta, rencana Pemerintah menghadirkan rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), jalan terus. Kebijakan ini diyakini, akan menuntaskan 26,9 juta masyarakat Indonesia yang belum punya rumah.
Anggota Komisi V DPR Hamka B Kady mengatakan, Pemerintah memang masih menunda pelaksanaan Tapera ini selama kurun waktu 3 tahun setelah adanya polemik. Waktu 3 tahun ini bisa dimanfaatkan Pemerintah untuk merumuskan regulasi yang baik dan penyelenggaraan Tapera benar-benar berkeadilan.
Diketahui, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera memicu polemik di masyarakat. “PP 21 ini menjadi kendala karena memasukkan orang-orang atau masyarakat yang berpendapatan rendah, yang labil sekali dari sisi pendapatan. Ini masih mau dirumuskan karena harus sama rata,” tegasnya.
Politisi Fraksi Golkar ini menegaskan, konsep Tapera ini tidak boleh hanya menekankan pada kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan cukup saja. Sementara, ada juga masyarakat berpenghasilan rendah Rp 2,5 juta ke bawah perlu didorong mendapatkan akses kepemilikan rumah. “Bagaimana, sampai kapan bisa peroleh rumah? Ini yang masih harus dirumuskan,” katanya.
Yang merumuskan ini, kata Hamka, adalah Badan Penyelenggara Tapera itu sendiri. Tentunya dengan melibatkan kementerian/lembaga lain, seperti Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian.
“Akan ada keputusan bersama atau petunjuk teknis terhadap MBR yang Rp 2,5 juta, bagaimana caranya peroleh rumah. Karena yang ribut ini kan yang tidak memenuhi syarat, dipotong gajinya, tapi belum tentu juga dapat rumah. Lebih bagus makan daripada dapat rumah,” tuturnya.
Hamka menjelaskan, dasar hukum Tapera ini adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni Pasal 28H Ayat 1. Bahwa, setiap warga negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanah konstitusi ini kemudian ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2016 tentang Tapera.
“Kalau diperhatikan selama ini, APBN yang dialokasikan kepada kesehatan dan pendidikan, semua mendatory. Pendidikan 20 persen dari APBN, kesehatan 5 persen APBN. Tapi yang namanya perumahan tidak ada pesentase, tidak ada mandatorinya dari APBN. Karena itu lahirlah Undang-Undang Tapera,” jelasnya.
Dijelaskan Hamka, program Tapera ini awalnya difokuskan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS), hingga dibentuk Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum)-PNS. Namun dalam perjalanannya, Bapertarum ini banyak masalah lantaran uang PNS yang masuk ke badan ini ternyata tidak jelas alirannya. Akhirnya, Bapertarum-PNS bubar dan diganti menjadi BP Tapera.
Dasar hukum Tapera ini, selain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016, juga mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Lalu, PP Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraaan Tapera, yang telah direvisi menjadi PP Nomor 21 Tahun 2024.
Dijelaskan Hamka, PP Nomor 25 Tahun 2020 ini memang tidak pernah dilaksanakan. Sebab pada saat itu, negara-negara di dunia termasuk Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19. “Tidak ada yang perhatikan, tiba-tiba muncul peraturan baru, PP Nomor 21 tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera. Nah, dari sini sebenarnya (polemik Tapera) muncul,” ungkapnya.
Dia menegaskan, semangat Tapera ini sebenarnya baik. Di UU Nomor 4 Tahun 2016 disebutkan, Tapera bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah dalam jangka panjang dan yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta. Ini untuk menyelesaikan backlog perumahan yang masih sangat besar.
Survei Sosial Ekonomi Tahun 2023 menysebutkan, backlog kepemilikan rumah dari 12,75 juta (tahun 2020) menjadi 9,9 juta unit. Sementara prosentase dan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian yang layak juga mengalami penurunan, dari tahun 2020 sebesar 29,4 juta menjadi 26,9 juta rumah tangga.
Mengatasi ini, Pemerintah menyiapkan berbagai strategi. Pertama, mengoptimalkan penyediaan rumah layak huni dengan melanjutkan program sejuta rumah.
Kedua menyediakan sistem regulasi, memanfaatkan teknologi dan meningkatkan koordinasi untuk mendukung kolaborasi antar stakeholder.
Ketiga, mempercepat penyediaan rumah layak unik melalui implementasi skema penyediaan perumahan yang inovatif. “Dan strategi yang paling kontroversial, keluarlah PP Nomor 21 tahun 2024, tentang Penyelenggaraan Tapera,” lanjutnya.
Keempat strategi tersebut, sambungnya, untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait penyediaan MBR. Di antaranya, masih kurangnya sosialisasi pada semua sektor dan stakeholders terkait. Masih kurangnya skema pihak pengelola Tapera untuk menghadirkan solusi permasalahan pembiayaan perumahan dalam skala besar, murah dan berkelanjutan. Kemudian kurangnya pemetaan locus dan fokus dari daerah-daerah target alokasi program.
“Jadi keberadaan Tapera sebenarnya itu sangat baik. Kalau Tapera hadir, semua yang berpendapatan rendah, mau Rp 3 juta, mau apa, itu bisa dipikirkan untuk memiliki rumah,” sebutnya. {sumber}