DPP  

78 Tahun Aburizal Bakrie – Kegembiraan Ical Kecil, Perasaan, Tawa dan Kenangan (III)

Berita GolkarSetiap akhir pekan, Achmad Bakrie selalu membawa istri dan anaknya untuk menikmati waktu liburnya dengan menginap di villa keluarga di kawasan Cipanas, Puncak. Kebiasaan selalu berplesiran setiap akhir pekan ini pula yang belakangan berhasil memulihkan kondisi kesehatan Aburizal Bakrie dari sakit asma yang dideritanya.

Pertama kali keluarga ini berplesiran ke villa keluarga di Puncak, Aburizal Bakrie masih berusia dini. Adiknya Roosmania Odi Bakrie pun masih balita. Tetapi keduanya sudah dapat berbicara, hingga perjalanan keluarga ini pun semakin seru dengan celotehan-celotehan ringan dari Ical dan Odi kecil. Dalam perjalanan pertamanya Aburizal Bakrie sempat terheran dengan kondisi di sekitar Puncak. Saat itu cuaca sedang berkabut selepas hujan. Kabut bahkan sudah turun menyentuh kawasan Cisarua, Puncak.

Ketika mobil keluarga Bakrie melintas dan melihat kabut di turun di bukit depan sana. Aburizal Bakrie kecil lantas berceloteh, “Pa, ada asap pa! Lihat itu asap!” ujar Ical kecil sembari menunjuk ke arah kabut di depan bukit sana, ia berusaha menunjukkan fenomena tersebut kepada ayahnya, Achmad Bakrie. “Asapnya turun ke sini, Pa!”

Achmad Bakrie tersenyum mendengar celotehan polos anak balitanya itu. Tetapi untuk persoalan menanggapi celotehan anak, Roosniah Bakrie jagonya. “Itu bukan asap, sayang.” sebut Roosniah Bakrie, sembari mengelus lembut rambut Aburizal Bakrie kecil. “Itu namanya kabut, bentuknya memang seperti asap, tapi berbeda.”

“Ka…but..” giliran si kecil Roosmania Odi Bakrie atau yang akrab disapa Odi menimpali dengan kata yang terbata-bata.

“Iya betul Odi, kabut,” jawab Achmad Bakrie sambil tertawa kecil melihat kelucuan kedua anaknya ini. “Nanti di Villa Cipanas, kabutnya bakal lebih banyak lagi. Apalagi besok pagi, kalau kalian bangun lebih awal, kabut bisa ada di sekeliling kita. Kabutnya bisa dipegang,” tambah Achmad Bakrie menanamkan harapan kepada anak-anaknya.

Ical mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan ayahnya. Ia tak hanya sedang memahami, tetapi di saat yang sama, Ical juga sedang mengimajinasikan bagaimana rasanya memegang sesuatu yang ia pahami sebagai sebuah asap sebelumnya. Ical kecil lantas membuka kaca jendela mobilnya, jari jemari kecilnya ia keluarkan sedikit dari celahnya. Ternyata berbeda, udara di daerah sini begitu berbeda dengan yang dirasakannya saat berada di Jakarta. Udaranya membuat jemari kecilnya merasa kelu, rasa dingin menyeruak, menjalar ke sekujur tubuhnya hanya dari ujung jari yang terlambai ke luar. Tekad Ical untuk memegang kabut pun menguat. “Ical mau pegang kabut, pa!” jawab Aburizal Bakrie kecil menanggapi ayahnya.

Kabut adalah uap air atau awan yang berada dekat dengan permukaan tanah berkondensasi. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air terkondensasi dan kadar kelembaban mendekati 100%. Karenanya, kabut hanya bisa dinikmati di permukaan tanah yang tinggi. Tanpa menaiki ketinggian, kabut tidak akan pernah terlihat. Aburizal Bakrie sudah bertekad, ia sedang ada di ketinggian sekarang, kabut itu haruslah berhasil ia genggam. Meski masih kecil, alam bawah sadar seorang Aburizal Bakrie selalu mengarahkannya untuk menyenangi tempat-tempat yang tinggi.

Saat berada di villa keluarga di Cipanas, satu kali Achmad Bakrie ingin mengajak kedua anaknya untuk berjalan-jalan melihat Istana Presiden. Kebetulan letak Istana Presiden Cipanas tak begitu jauh dari villa mereka berada. Di era kepemimpinan Soeharto, istana presiden dibuka untuk kunjungan masyarakat umum sebagai salah satu destinasi wisata. Istana di manapun berada, baik di Jakarta, Cipanas, Bogor, dan wilayah lainnya seolah tidak hendak membuat jarak dengan rakyat.

Masyarakat pun tertarik untuk berkunjung ke istana negara setiap akhir pekan tiba. Tidak terkecuali Achmad Bakrie, seumur hidupnya saat itu ia tak pernah menginjakkan kaki di Istana Negara. Karenanya, mumpung sedang berada di Cipanas dan tidak banyak hal bisa dilakukan di villa, Achmad Bakrie mengajak anak-anak serta istrinya berkunjung ke Istana Cipanas. Tidak membutuhkan waktu lama, dengan menggunakan mobil pribadi, Achmad Bakrie dan keluarga tiba di Istana Cipanas.

Seperti istana negara yang lainnya, Istana Cipanas ini sangat terawat dengan baik. Meskipun keluarga presiden jarang menempati, tetapi istana di seluruh Indonesia tetap harus dirawat keindahan dan kelestariannya. Terlebih di Cipanas, suasana sejuk dengan intensitas curah hujan yang tinggi membuat tanah di kawasan ini sangat subur. Pantas jika bunga-bunga dan pepohonan nan rindang menjadi penghias mata di sekitar Istana Cipanas. Istana Presiden yang biasanya angker dan penuh pandangan kewibawaan pun berubah citranya, menjadi sangat hangat, seakan mempersilahkan setiap orang yang memiliki darah Indonesia untuk masuk ke dalamnya.

Begitupun bagi keluarga Achmad Bakrie, kedua anak mereka, Ical dan Odi langsung melesat berlarian di padang rumput halaman istana. Mereka kegirangan melihat suasana yang begitu menenangkan. Gejala sesak nafas akibat asma dan terlalu banyak menghirup udara kotor perkotaan, di Cipanas keduanya sama sekali tidak menunjukkan gejala tersebut. Yang mengalami sesak nafas dan gejala asma memang bukan hanya Ical seorang, Odi pun terkadang turut merasakannya. Intensifnya keluarga Achmad Bakrie bertandang ke Cipanas pun bukan tanpa alasan, dokter keluarga mereka menyarankan agar kedua anaknya harus sering-sering menghirup udara pegunungan.

Achmad Bakrie dan Roosniah membiarkan anak mereka bermain sepuasnya di halaman Istana Cipanas, toh ada Tatti dan Hajjah Rafiah, penjaga setia anak-anak Achmad Bakrie. Ketenangan Istana Cipanas pun dimanfaatkan oleh Achmad Bakrie dan Roosniah untuk bercengkrama. Di sela obrolan sepasang suami istri ini, terselip rasa penasaran Roosniah yang ingin ditanyakannya kepada Achmad Bakrie, yakni tentang keinginannya mengajak anak-anak berwisata di Istana Cipanas. Padahal Roosniah tahu betul bahwa Achmad Bakrie cukup anti menginjakkan kaki di istana negara sebagai simbol kekuasaan politik penguasa.

“Tumben Papa mau ke Istana?” tanya Roosniah sembari menyandarkan tubuhnya ke badan sang suami, meski romantisme antar keduanya terlihat jelas, mata Roosniah dan Achmad Bakrie tak lekang dari pengawasan terhadap kedua anaknya yang sedang bermain.

“Maksud Mama?” balas Achmad Bakrie.

“Papa selalu bilang agar pengusaha tidak boleh terlalu dekat dengan penguasa.”

“Oh, itu dalam urusan berdagang. Pedagang memang tidak boleh terlalu dekat dengan penguasa. Begitu penguasa berganti, bisa-bisa usaha si pedagang jungkir balik,” jelas Achmad Bakrie.

Perjalanan hari itu tentu akan sulit dilupakan oleh Aburizal Bakrie. Meski usianya kini sudah senja, tetapi ingatan tentang manisnya masa lalu bersama keluarga tercinta tetap lekang di dalam kepalanya. Mungkin kini, di usia tuanya satu-satunya masa yang ia rindukan adalah masa kecilnya. Masa-masa di mana beban dan tanggung jawab masih belum terpikul berat di pundaknya, masa di mana ia masih bisa bermanja ria dengan Achmad Bakrie dan Roosniah, masa di mana senyum tersungging dengan ketulusan yang paling dalam dari palung hati.

Kedewasaan pun menjadi keniscayaan bagi Ical, Aburizal Bakrie kecil. Kini usianya sudah cukup untuk mengenyam pendidikan. Orang tuanya pun menyekolahkan Aburizal Bakrie di TK Perwari. Sebuah taman kanak-kanak tempat Ical akan bermain sambil belajar. TK Perwari bukan sembarang sekolah. TK yang berdiri di kawasan Menteng ini merupakan tempat anak-anak unggulan bersekolah.

Secara afiliasi politik, murid-murid TK Perwari berasal dari keluarga yang memiliki hubungan kuat dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) atau Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia). Seperti misalnya Ingga, adalah putra Direktur BNI, Mr. Abdul Karim yang dikenal sebagai pengawal jalannya PDRI. Murid lainnya, Maher, anak lelaki bermata elang ini adalah putra dari Muhammad Algadrie, tokoh PSI yang juga dikenal sebagai pendiri Partai Arab-Indonesia.

Tidak hanya itu, belakangan Meutia, Gemala dan Halida Hatta juga disekolahkan di TK Perwari. Ketiganya adalah putri Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta. Disusul kemudian oleh anak-anak Mr. Sjafruddin Prawiranegara, yakni Aisyah, Salvyah, dan Chalid Prawiranegara juga masuk di TK ini. Namun ada juga orang tua murid yang tidak berafiliasi dengan dunia politik, orang tua Aburizal Bakrie salah satunya.

TK Perwari memang bukan sekadar taman kanak-kanak biasa seperti pada umumnya. Perwari adalah kelompok perjuangan wanita-wanita Indonesia yang sangat anti Belanda. Ny. Sujatin Kartowijono, pendirinya adalah seorang guru yang lahir di Yogyakarta pada 9 Mei 1907. Ia terkenal sangat Non-co (Non Cooperative), sebutan bagi siapa yang bersikukuh menolak bekerjasama dengan Belanda.

Tidak ada maksud apapun Achmad Bakrie menyekolahkan Aburizal Bakrie di tempat tersebut selain karena pertimbangan kualitas pendidikan dan jarak tempuh yang lumayan dekat dari rumahnya. Di masa itu memanglah cukup sulit untuk menemukan sekolah setingkat taman kanak-kanak yang berkualitas. Perwari menjadi satu dari sekian banyak institusi pendidikan yang memiliki kelayakan kualitas saat itu.

Saat masa sekolah taman kanak-kanak, Ical sudah menunjukkan kecerdasannya. Salah satunya ketika di hari pertama ia diminta oleh sang guru yang bernama Cik Sul untuk menghitung angka secara berurutan dari satu sampai sepuluh. Sebelumnya beberapa murid sudah dicoba untuk berhitung, tetapi tidak ada yang bisa menghitung dari satu sampai sepuluh. Merasa mampu, Ical kecil pun kemudian berinisiatif untuk tunjuk tangan. Seketika Cik Sul mempersilahkan Ical untuk menunjukkan kebisaannya.

“Coba anak-anak tenang sebentar. Kita dengarkan Ical menghitung sampai sepuluh. Ayo Ical!” tukas Cik Sul meminta Ical melakukan apa yang diperintahkannya.

Ical berdiri tegak, bersiap melakukan apa yang diminta gurunya, Cik Sul. Dengan penuh keberanian dan keyakinan, Ical memulai. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, emm…” jawab Ical sambil berusaha mengingat apa angka selanjutnya. “…tujuh, delapan, sembilan, sepuluh!” urai Ical akhirnya berhasil menyebutkan sepuluh angka secara berurutan.

“Bagus! Ayo kita tepuk tangan buat Ical yang sudah bisa menghitung sampai sepuluh,” ajak Cik Sul disusul tepuk tangan gemuruh dari para siswa, ada pula yang menepuk tangan menggunakan meja di hadapannya, sehingga suara riuh sekali hari itu.

Hari pertama bersekolah taman kanak-kanak dilalui Ical dengan penuh antusias. Tidak seperti anak-anak lain seumurannya yang merasa takut bahkan ada yang menangis ketika melewati hari pertama bersekolah dan bertemu orang-orang baru, Ical justru berbeda. Ia menunjukkan keberanian dan kecerdasannya sedari awal. Jiwa kompetitifnya pun semakin terlihat kala ia memiliki lingkungan yang sehat untuk bersaing, seperti di lingkungan pendidikan seperti ini misalnya.

Waktu terus berlalu, meski masih dalam roda perputaran waktu yang berdekatan, tapi cerita ini tentu akan selalu diingat Aburizal Bakrie sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak, ini kali pertama Aburizal Bakrie mengalami fenomena perasaan yang berbeda terhadap lawan jenis. Lucunya ia mendapat pengalaman ini sewaktu masih bersekolah di sekolah dasar atau sekolah rakyat (SR) yang juga dilaluinya di Yayasan Perwari.

Ketika itu, kelasnya sedang mengadakan permainan bola kasti. Gurunya yang bernama Cik Nani membagi kelas dalam dua kelompok. Adian teman Ical terpilih menjadi ketua kelompok satu, sementara kelompok lainnya dipimpin oleh Lembu. Anggota kelompok dipilih secara acak, dicampur antara siswa laki-laki dan perempuan. Ical berada di tim Adian bersama Al, Upik, Kiki Sastranegara, Ade Ariani, Krisni, Danu dan Ade Daud Nasution. Sisanya masuk kelompok Lembu, termasuk tiga orang teman yang dianggap cukup dekat dengan Ical, yakni Wiwik, Ingga dan Rizal.

Rizal yang merupakan teman sebangku Ical sewaktu berada di sekolah rakyat sempat mengedipkan mata padanya karena mereka berada di kelompok yang berbeda kali ini. Membalas kedipan mata Rizal, Ical hanya mengangkat kedua bahunya seraya melemparkan senyum. Entah apa maksud dari kedipan dua orang bocah tersebut, hanya mereka berdua yang tahu saat itu. Barangkali Rizal bermaksud menggoda Ical karena ternyata ia yang berada satu tim dengan Wiwik. Belakangan kisah cinta monyet ini melibatkan Ical dan Wiwik pada akhirnya.

Kedua kelompok itu lantas mengambil posisi yang berbeda sesuai hasil undian. Kelompok satu di bawah komando Adian bertindak sebagai tim pemukul. Sementara kelompok dua yang dipimpin oleh Lembu bertindak sebagai kelompok penjaga. Kelompok dua sudah tersebar di tempat yang telah ditentukan oleh Cik Nani. Sedangkan kelompok satu untuk sementara masih sibuk berunding guna menentukan siapa yang akan menjadi pemukul pertama. Perundingan menjadi lama karena diantara mereka kini tak ada yang berani memulai.

Di saat-saat seperti ini, Adian sebagai pemimpin regu memutuskan Ical yang mendapat kesempatan pertama sebagai pemukul. Ical pun sempat bertanya tentang alasan Adian memintanya menjadi pemukul pertama. Sembari mengangkat bahu, Ical yang keheranan bertanya, “Kenapa aku duluan?”

“Larimu kencang!” jawab Adian dengan tegas. “Setelah itu Ade Ariani, terus aku, setelah itu anak perempuan lagi. Kita lakukan selang-seling,” tambah Adian mengomandoi teman-temannya.

Adian punya alasan khusus terkait menempatkan pemukul perempuan dan laki-laki secara selang-seling. Ia berpikir bahwa pukulan perempuan cenderung lebih pelan daripada pukulan laki-laki. Bisa jadi jarak jatuhnya bola akan terlalu dekat. Jika begitu bola akan mudah ditangkap oleh tim penjaga. Karena itu di awal, butuh pemukul yang kuat dan pelari yang cepat untuk mencuri poin terlebih dahulu.

Pada akhirnya semua setuju, Ical menjadi pemukul pertama. Ia dengan percaya diri melangkah menuju Cik Nani untuk mengambil tempat sebagai pemukul. Dalam hatinya Ical selalu berujar untuk menguatkan diri, “Aku harus percaya diri.” Karena hanya dengan percaya diri lah Ical yakin bisa mengemban amanat sebagai pemukul pertama. Tugas ini cukup berat untuknya. Ada harapan teman-teman yang bersemayam di pundaknya saat itu.

Ia lalu menerima tongkat dari Cik Nani. Di hadapannya sudah ada pula Kiki Sastranegara berdiri tegap siap melemparkan bola sekuat tenaga ke arahnya. Mata Ical tak kalah tajam dari sorot mata Kiki. Ia tidak ingin kalah mental kali ini. Dengan segenap hati dan pikiran ia mencoba memusatkan fokus sebelum bola itu melayang kepadanya. Dan. Priiittt!

Peluit berbunyi dari mulut Cik Nani. Kiki Sastranegara sekeras mungkin melayangkan lemparan bola dari tangan kanannya. Ical pun bersiap memukul bola. Sayang pukulannya sedikit meleset. Meskipun terkena tongkat pemukul bagian bawah, bola menjadi tidak jauh terpukul.

Menyadari posisi kurang menguntungkan untuknya, Ical segera berlari menuju tiang hinggap di pos pertama. Adian benar, Ical memang seperti seekor kijang. Lari dan langkahnya sangat cepat. Tetapi sayang, karena bola tidak terpukul terlalu jauh, bola tersebut berhasil ditangkap oleh temannya, Satri Djayadiningrat. Satri kemudian melemparkan bola itu kepada Ingga, dan

Ingga meneruskan bola kepada Lembu yang sudah bersiap di tiang hinggap pos pertama. Ical melihat pos pertama hanya beberapa langkah lagi di depan. Guna mengecoh tim penjaga, ia pun berlari zig-zag agar bola tidak mengenai tubuhnya jika sudah berada di tangan mereka yang ada di pos tersebut.

Di dekat tiang hinggap, ada Wiwik dan Maher yang sudah menunggu kedatangan Ical sembari berteriak meminta bola kepada Lembu. Semakin dekat dengan tiang hinggap, sorak sorai kelompok satu, teman-teman Ical semakin keras terdengar. Ical mencondongkan badan agar segera memasuki zona aman. Tiba-tiba ia merasakan bagian samping tubuhnya seperti dihantam balok kayu. Ia menjerit dan jatuh tersungkur. Rasa seperti terhantam balok kayu itu ternyata dari bola yang dilemparkan Lembu kepadanya dan mengenai tubuh Ical. Gumam kecewa segera terdengar dari kawan-kawannya di kelompok satu. Itu berarti kekalahan untuk mereka dan tim pemukul kini menjadi tim yang menjaga.

Saat Ical tersungkur jatuh tepat di depan tiang hinggap, ada sebuah tangan yang terjulur kepadanya. Awalnya Ical mengira itu adalah tangan Maher. Tanpa pikir panjang, Ical menyambut tangan itu. Dengan bantuan tangan tersebut, Ical mencoba berdiri sambil tetap menyeringai kesakitan. “Sakit ya?!” tiba-tiba suara itu bertanya pada Ical.

Ical tersadar bahwa ini bukan tangan Maher, suaranya pun bukan suara Maher, ini suara seorang perempuan. Untuk memastikan tangan siapa yang mencoba membantunya, Ical mendongak. Dan tebakannya benar, itu tangan Wiwik! Wiwik yang telah membantunya. Wajah Ical memerah, akibat rasa malu dan gugup yang bercampur menjadi satu. Karena terlalu gugup, Ical sampai lupa mengucapkan terimakasih.

Untuk sepersekian detik, Ical dan Wiwik terpaku dalam posisi yang sama. Sampai teriakan Lembu menyadarkan keduanya. “Wiwik!” pekik Lembu dari kejauhan. “Mau ikut mukul atau tetap di situ jagain Ical!” tambah Lembu disambut tawa dari teman-teman yang lain.

Bagaimana tidak mau ditertawakan, Ical dan Wiwik terlihat salah tingkah dengan kejadian itu. Mereka memang masih belia, masih kecil, tapi kepekaan perasaan rasanya tidak mengenal usia. Terlebih degup jantung di dadanya semakin membuncah, membuat Ical tak yakin dengan apa yang telah terjadi padanya. Anak sekecil ini sudah bisa jatuh cinta, adalah perkembangan sebuah kedewasaan dalam memaknai perasaan.

Mungkin tidak akan ada yang percaya jika dijelaskan bahwa kejadian itu terjadi ketika Ical baru menginjak kelas 1 SR atau sekolah dasar di zaman sekarang. Kisah cinta monyet Ical dan Wiwik tidak berhenti sampai di situ. Cerita ini berlanjut di kelas 2 SD. Saat itu, bersamaan dengan kenaikan kelas para siswa SD Perwari ada beberapa anak yang baru masuk ke dalam sekolah ini dan menempati kelas yang sama dengan Ical. Dua diantaranya adalah Dami dan Ade Kadiman. Kedua anak ini memang lebih tampan daripada yang lain. Dami terutama ia adalah anak blasteran. Ade Kadiman pun tak kalah tampan, meski produk lokal, wajah mungilnya sudah mulai menunjukkan bibit-bibit ketampanan.

Dua anak baru itu menarik perhatian Wiwik, hingga gadis yang tadinya urakan, selalu banyak bicara itu menjelma menjadi sosok pendiam yang berusaha sebisa mungkin menunjukkan sisi feminitas. Tujuannya tak lain agar Dami ataupun Ade Kadiman bisa sedikit saja melirik kepadanya. Lalu bagaimana dengan Ical? Berdasarkan informasi teman-temannya, Ical seiring waktu menangkap perubahan sikap seorang Wiwik yang jadi lebih pendiam di dalam kelas.

Teman-temannya seperti Rizal dan Ingga selalu menyudutkan Ical untuk segera mengungkapkan perasaannya kepada Wiwik. Mereka tahu, Ical menyimpan rasa terhadap Wiwik sejak kejadian bola kasti di kelas 1 tahun lalu. Sampai satu ketika, kesempatan itu datang. Wiwik sedang duduk seorang diri saat teman-temannya yang lain sedang bermain bebek-bebekkan. Ingga dan Rizal kemudian mendorong Ical untuk menyatakan rasa sukanya pada Wiwik saat itu juga. Daripada terlalu lama, Ical justru bisa tertikung oleh kehadiran Dami dan Ade Kadiman.

Merasa disudutkan oleh keadaan, Ical kecil akhirnya menyanggupi permintaan teman-temannya itu. Ia menguatkan hati sambil terus berjalan menuju arah Wiwik dan duduk di sampingnya. Lalu dengan pelan, sangat pelan dan begitu pelannya, sampai hanya Wiwik dan Ical saja yang bisa mendengar. Dari kejauhan, Ingga dan Rizal melihat keadaan Ical. Sesekali wajah Ical terlihat memerah, sesekali terlihat memucat. Tak lama kemudian, Wiwik menoleh kepada Ical dengan wajah yang berseri-seri. Ekspresi Wiwik itu menjadi pertanyaan sekaligus indikasi bahwa ada kemungkinan perasaan Ical diterima oleh Wiwik. Begitu Ingga dan Rizal menganggapnya.

Tetapi sedetik kemudian, Wiwik terlihat membisikkan sesuatu ke telinga Ical. Seketika itu juga Ical terlihat tertunduk lesu, ia lantas meninggalkan Wiwik dan kembali berjalan ke arah teman-temannya, Ingga serta Rizal.

“Kok cepat sekali Cal?” tanya Rizal penasaran dengan apa hasil yang diterima oleh Ical.

“Bagaimana hasilnya?” desak Ingga tak kalah penasaran.

Ical duduk di antara dua sahabatnya itu. Ia termangu sejenak lalu menggelengkan kepala. “Kamu ditolak, Cal?” tanya Rizal berusaha memastikan. Ical kembali menggelengkan kepalanya. Jawaban Ical ini membuat dua sahabatnya kebingungan.

Ingga menepuk pundak Ical, dan berkata. “Kamu bilang apa?”

“Langsung saja…” jawab Ical singkat.

Rizal kembali menyela, “Langsung bagaimana?”

Ical menjawab dengan datar, “Langsung bilang, Wik aku suka kamu! Begitu,” jelas Ical.

“Terus?”

“Wiwik menggeleng sambil mengatakan sesuatu…”

“Apa?” Seru Ingga dan Rizal bersamaan hingga suara keduanya terdengar sangat nyaring. Akibatnya, beberapa teman yang mendengar pekikan suara itu menoleh kepada mereka. Sontak Ingga dan Rizal menutup mulutnya dengan kedua tangan mereka masing-masing.

“Nggak ah! Kamu kayak monyet Lampung!” ucap Ical menirukan jawaban Wiwik saat ia menyatakan rasa sukanya pada gadis itu.

“Hah?!” Ingga dan Rizal saling berpandangan, terdiam sejenak sebelum tawa mereka meledak.

Ical hanya bisa terdiam melihat Ingga dan Rizal tertawa terpingkal-pingkal. Awalnya ia ingin marah kepada kedua sahabatnya itu yang telah menertawai kegagalannya. Tapi bersamaan dengan tawa Ingga dan Rizal yang tak kunjung berhenti, Ical pun ikut tertawa, tentu tawanya bernada lirih. Setelah tawa mereka mulai mereda, Ical kembali bertanya. “Memangnya ada monyet Lampung?”

Ketika dewasa dan berusia senja, Aburizal Bakrie mengingat kejadian ini sebagai sebuah kenangan yang lucu, memalukan tetapi merasa gemas sendiri ketika sedang bernostalgia. Ia sendiri tak habis pikir bagaimana mungkin anak kelas 2 SD bisa begitu serius mengutarakan perasaan sukanya terhadap lawan jenis. Terlebih cara Wiwik menolak rasa suka Ical yang penuh dengan diksi bermakna tinggi. 

Sampai sekarang, Aburizal Bakrie konon masih menyelidiki apa memang benar spesies monyet yang berasal dari Lampung itu benar-benar ada? Namun terlepas dari pahitnya penolakan, menurut dia, peristiwa itu tidak serta merta memutuskan hubungan pertemanan keduanya. Bahkan, lanjut Ical, hingga kini ia masih menjalin komunikasi dengan perempuan yang bernama Wiwik itu. “Iya masih berteman sampai sekarang,” ujar Aburizal Bakrie sambil tersenyum. 

Sumber:
– NN, Ditolak Gadis Idaman, “Ical Disebut Mirip Monyet Lampung”, (https://news.detik.com/berita/d-1828272/ditolak-gadis-idaman-ical-disebut-mirip-monyet-lampung, Diakses pada Desember 2023)
Akmal Nasery Basral, “Anak Sejuta Bintang”, (Jakarta: Penerbit Expose, 2012)