Berita Golkar – Benar tampaknya apa yang dikatakan idiom tua mengenai ‘sejarah akan selalu berulang, hanya pada subjeknya saja semua tampak berbeda’. Kali ini, siklus pengulangan sejarah juga menimpa pada Partai Golkar. Tidak hanya sekali peristiwa serupa menerpa Partai Golkar, tetapi setiap akhir Pemilu dengan masa periode 5 tahun dan terjadi pergantian pucuk kepemimpinan nasional, tubuh ringkih Partai Golkar turut terguncang. Dalam pesakitannya, sel-sel di dalam tubuhnya mencoba bergerak secara sendiri-sendiri, jauh dari kata padu, fungsional dan esensial. Semua demi satu kata, dekat pada kekuasaan.
Belakangan apa yang menimpa Partai Golkar, haruslah menjadi kontemplasi tersendiri bagi siapapun figur yang berada dan cinta dengan keberadaan partai ini. Pertanyaannya kemudian, apakah benar, jalan pembangunan yang dijadikan pedoman berpolitik Partai Golkar harus selalu bersisian dengan kekuasaan? Tidakkah akan menjadi lebih elok kalau suatu saat Partai Golkar belajar memahami pembangunan dan berkontribusi terhadap peradaban dengan peran sebagai penyeimbang kekuasaan di oposisi?
Jika itu yang terjadi, selalu memilih jalan yang beriringan dengan kekuasaan, lalu dimanakah kepribadian Partai Golkar sebagai institusi politik yang diharapkan bisa memberikan stimulus secara progresif pada jalannya pemerintahan? Lagipula, dengan mendekat pada kekuasaan, mendapatkan beberapa pos kementerian untuk dikomandoi, Partai Golkar hanya membuka ruang terhadap target jangka pendek visi politiknya.
Dalam posisi seperti itu, tidak terlihat adanya upaya mengatur barisan dan mulai menata ruang-ruang sosial kepartaian yang menjadi potensi bagi dulangan suara Partai Golkar di era mendatang. Berada di ketiak kekuasaan tentu mengasyikkan, tetapi pada akhirnya, setiap kali Pemilu datang, Partai Golkar akan sulit menemukan identitas dan jati dirinya. Jika terus begini, basis suara Partai Golkar bakal tergerus secara simultan.
Pun dengan apa yang dilakukan Aburizal Bakrie di era kepemimpinannya pada periode 2009-2014. Kali ini peristiwa yang nampak serupa menjadi awal dari berbagai malapetaka bagi Partai Golkar. Pemilu lagi-lagi menjadi tema yang kemudian membuat hegemoni kekuasaan merubah pribadi-pribadi di Partai Golkar menjadi begitu buas.
Apa hendak dikata, merunut pada hasil Pemilu legislatif 2014, Partai Golkar hanya memiliki 14,7% suara dan menjadi juara kedua. Untuk peraih suara terbanyak kali ini berhasil digapai kembali oleh PDIP, partai yang sebelumnya memilih menjadi oposisi pemerintahan SBY selama 2 periode berturut-turut, atau 10 tahun masa kepemimpinan SBY sebagai presiden.
Pilihan sikap PDIP untuk beroposisi dan tidak mengekor pada kekuasaan dapat dikatakan benar secara perhitungan politik ketika itu. Selama masa menjadi oposisi pula PDIP berhasil merajut barisan dan memupuk potensi kepemimpinan pada diri kader-kadernya di setiap daerah.
Keuntungan lainnya, PDIP bisa menjadi antitesis dari kekuasaan yang selama ini berada di seberangnya. Gagasan dan ide mengenai pembangunan dapat lebih dieksplorasi oleh PDIP dengan sedemikian rupa. Rezim pemerintahan SBY yang dianggap sebagai era kapitalisme dan pasar bebas merebak bisa dilawan dengan gagasan ekonomi yang berkeadilan dari PDIP. Cara PDIP menyampaikan gagasan-gagasannya pun terkesan efektif.
Hal ini tidak dimiliki Partai Golkar, toh selama mengekor pemerintahan SBY, tak bisa dinafikan jika Partai Golkar lebih banyak tersandera karena berbagai kasus hukum dan konflik internal yang menerpa. Salah satu contoh dan kasus yang selalu diangkat ketika Partai Golkar sudah mencapai puncak elektabilitas adalah kelakuan para elit partainya, terutama figur-figur yang berada di sekitar Ketua Umum Partai Golkar.
Sementara itu, hasil Pemilu legislatif 2014 yang menempatkan Partai Golkar dengan rasio raihan suara sebesar 14,7 persen agaknya membuat posisi partai untuk melangkah ke tahap selanjutnya atau Pemilu presiden akan menjadi sulit. Konstitusi kita mensyaratkan partai atau koalisi partai-partai harus memiliki minimal 20% suara pada Pemilu legislatif agar bisa mengusung Capres dan Cawapres pada Pemilu presiden.
Artinya Partai Golkar tak bisa sendiri, keharusan menjalin koalisi memang menjadi agenda utama pasca Pemilu legislatif. Posisi tawar partai Golkar memang tinggi jika menilik hasil pemilu legislatif, namun kita juga harus melihat kesempatan dan potensi figur partai Golkar pada Pilpres 2014. Karena korelasinya ada pada dukungan di parlemen terhadap lembaga eksekutif kelak. Banyak suara sumbang yang mengatakan jika Partai Golkar telah kehilangan figur yang laku untuk dijual ke publik. Bagaimana dengan figur Aburizal Bakrie?
Sosoknya sebagai calon presiden yang pernah digemborkan sebagai figur tandingan Prabowo Subianto semakin tenggelam seiring dengan perjalanan waktu dan hantaman isu demi isu politik. Isu terakhir mengenai skandal Maldives benar-benar membuat rencana Aburizal Bakrie dan Partai Golkar hancur seketika kala itu. Elektabilitas Aburizal Bakrie terjun bebas, Partai Golkar yang sebelumnya di tahun 2011-2012 selalu dapat memuncaki elektabilitas kepartaian juga bernasib serupa.
Secara mendasar Partai Golkar memang bukan partai yang terdongkrak berdasar figur seperti partai lain di Indonesia hari ini. Mesin politik dan kerja kolektif kader menjadi senjata ampuh Partai Golkar mampu bertahan lebih dari setengah abad mengarungi pasang surut arus politik Indonesia.
Kini badai ujian dan terpaan cobaan datang, trend politik figur di Indonesia harus mampu dijawab secara lugas oleh Partai Golkar. Hasilnya adalah rekomendasi Rapimnas Partai Golkar pada 2014 di Jogjakarta lalu, yang mengamanatkan ketua umum Ir. H. Aburizal Bakrie sebagai calon presiden dari Partai Golkar untuk Pemilu Presiden 2014. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada perjalanan menuju pilpres 2014 Partai Golkar terus melakukan komunikasi politik ke partai lain, untuk penuhi syarat 20% suara dari hasil pemilu legislatif. Namun komunikasi politik juga tak semudah yang dipikirkan, banyak keinginan dan kemauan dari para penumpang perahu besar ini. Bisa selamat hingga berlabuh menjadi cita-cita bersama segenap kader juga fungsionaris partai.
Lantas keresahan internal partai golkar juga semakin menjadi-jadi karena ada fenomena baru terhadap bursa calon presiden dan wakil presiden yang menohok angka popularitas maupun elektabilitas para bakal calon yang sudah ada, termasuk calon dari internal Partai Golkar, Aburizal Bakrie.
Figur baru ini ada pada kubu lawan, kubu banteng merah PDIP, yang berhasil menjuarai kompetisi mendapatkan suara rakyat, pada Pemilu legislatif dengan persentase 24%. 10 tahun puasa kekuasaan, partai berlambang banteng dengan kekhasan warna merah ini begitu ingin pada 2014 menguasai jagat perpolitikan di Indonesia. Ditambah ada figur yang juga menjadi pendongkrak suara PDIP pada Pemilu 2014.
Figur ini sudah lama terbangun entitasnya sebagai pemimpin orang kecil, Ir. H. Joko Widodo. Orang akrab memanggilnya, Jokowi. Dengan pemberitaan media yang begitu menggebu mengenai sepak terjangnya sebagai kepala daerah di Solo dan kemudian Gubernur Jakarta, membuat partai yang menjadi kendaraan Jokowi calonkan diri sebagai kepala daerah pun akhirnya ikut terdongkrak, publik menyebutnya sebagai Jokowi effect.
Karena Jokowi, personifikasi PDIP sebagai partai wong cilik pun terbangun kembali. Dengan gayanya yang khas, karena rajin menyambangi rakyat atau idiom kerennya blusukan, Jokowi percaya diri melangkah maju mencalonkan diri menjadi Presiden RI melalui PDIP, dengan seizin Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP tentunya.
Niatan Jokowi untuk maju menjadi calon presiden telah meninggalkan sekelumit benang kusut pada lawan-lawan politik yang kebingungan berhadapan dengan elektabilitas tinggi dari Jokowi. Bahkan Prabowo Subianto yang disebut-sebut paling berpotensi menjadi suksesor SBY pun harus tersungkur, ia terpaksa membangun koalisi besar, koalisi yang bisa menampung partai manapun untuk menghadapi elektabilitas Jokowi.
Benang kusut pun tak luput menerpa internal Partai Golkar. Ada sebagian internal yang menginginkan pertarungan terbuka untuk Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Aburizal Bakrie agar terus maju bertarung pada pilpres 2014. Namun sebagian lagi mencoba realistis dalam berpolitik, hampir tak mungkin bagi Aburizal Bakrie menandingi atau bahkan melewati popularitas dan elektabilitas Jokowi dalam hitungan bulan.
Sehingga mereka berpikir bahwa partai di bawah komando Aburizal Bakrie, Partai Golkar harus mencari jalan lain untuk selamatkan posisi tawar saat itu. Jalan yang paling mungkin adalah melakukan komunikasi politik ke luar dengan partai lain untuk mengusung Aburizal Bakrie, walaupun hanya mendapatkan posisi RI 2 atau sebagai wakil presiden.
Hal itu terpaksa dilakukan karena tidak ada partai yang mencoba merapat ke Partai Golkar. Hampir seluruh partai mewacanakan hanya akan mendukung Jokowi atau Prabowo Subianto. Hanya Demokrat yang berada di persimpangan jalan tak memilih keduanya pada saat itu. Pada akhirnya, Partai Demokrat atas kegamangan sikapnya harus menerima hasil tidak mendapatkan apapun selama dua periode Pemilu ke depan.
Dalam posisi yang sedemikian terjepit, Aburizal Bakrie mencoba melakukan komunikasi ke tokoh-tokoh nasional, termasuk menemui Jokowi sebagai figur yang paling disorot kala itu. Bertempat di Pasar Gembrong, Jakarta Timur pada 13 Mei 2014, Aburizal Bakrie banyak berbincang mengenai kondisi bangsa Indonesia hari ini dan masa depan bersama Jokowi. Keduanya sempat blusukan ke sudut-sudut Pasar Gembrong. Kebetulan saat itu Jokowi masih aktif menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Dengan mengusung Visi Negara Kesejahteraan 2045, Aburizal Bakrie menawarkan gagasan tersebut kepada Jokowi, berharap Indonesia akan lebih baik kedepannya dan mampu berdiri menjadi negara maju seperti apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Namun pada prosesnya, pertemuan empat mata dengan Jokowi tak mendapatkan hasil berarti. Aburizal Bakrie yang ditemani Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Idrus Marham pulang dengan tangan hampa.
Kesulitan menemukan mitra koalisi, Partai Golkar sempat bergoyang dari dalam. Hingga sehari sebelum masa pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden di Komisi Pemilihan Umum dibuka, partai ini belum juga mendapatkan satupun teman untuk bersama-sama mengusung Aburizal bersaing menjadi orang nomor satu di republik ini. Padahal, PDIP sudah mendapatkan teman koalisi, ada PKB, Partai Nasdem dan Partai Hanura yang menyatakan bergabung untuk mengusung Jokowi sebagai calon presiden.
Demikian pula Partai Gerindra, sudah ada PKS, PAN, PPP termasuk partai non parlemen seperti Perindo dan PBB yang menyatakan siap mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Pilihan yang langsung mengemuka, bila Partai Golkar bergabung dengan dua poros lain itu maka kursi bakal calon presiden harus dilepas. Dua poros lain sudah punya bakal calon presiden sendiri, itu saja alasannya.
Melihat kenyataan seperti itu, Aburizal Bakrie semakin intensifkan komunikasi dengan partai lain, apalagi waktu pendaftaran calon presiden sudah semakin dekat, tidak ada waktu untuk tetap mempertimbangkan dirinya maju sebagai Capres Partai Golkar. Kekalahan di Pemilu legislatif agaknya membuat Aburizal Bakrie berpikir ulang mengenai skenario yang ada. Sekarang adalah bagaimana caranya mendapatkan posisi yang strategis bagi Partai Golkar di dalam Pilpres.
Dia pun sudah mencoba melakukan komunikasi dengan pimpinan kedua poros itu baik poros Prabowo maupun poros Jokowi yang tentu dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP. Saat bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Aburizal mengatakan sudah ada kecocokan. Saat bertemu Prabowo di Hambalang, Aburizal bahkan menyatakan siap untuk turun posisi menjadi cawapres.
Tetapi tidak kunjung ada tindak lanjut komunikasi yang terjalin baik dari sisi Megawati ataupun Prabowo Subianto. Aburizal bakrie benar-benar mengalami kegamangan. Di satu sisi desakan internal terus muncul agar Partai Golkar segera memutuskan siapa Capres yang bakal diusung.
Partai Demokrat menjadi satu-satunya harapan Aburizal karena saat itu partai berlambang mercy ini juga belum menentukan arah koalisi. Maka, pada hari pertama masa pendaftaran pasangan calon di KPU, pada 18 Mei 2014, Golkar menggelar Rapat Pimpinan Nasional VI untuk menyiasati keadaan dan kondisi yang sulit ini.
Keputusan Rapimnas yang berlangsung di Jakarta Convention Center itu adalah memperluas wewenang Aburizal Bakrie. Secara garis besar, keputusan Rapimnas VI Partai Golkar di tahun 2014 menghasilkan dua keputusan besar. Pertama adalah, memberikan mandat kepada ketua umum Ir. Aburizal Bakrie (ARB) sebagai Calon Presiden RI atau Calon Wakil Presiden dari Partai Golkar dan memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin komunikasi dan koalisi dengan partai manapun.
Aburizal juga diizinkan memiliki posisi yang lebih fleksibel, yakni tetap menjadi Capres tetapi juga bisa sebagai Cawapres. Tak berbekas penentangan yang sempat muncul ketika Aburizal sebelumnya bermanuver mengincar kursi bakal Cawapres.
Seusai Rapimnas, Aburizal Bakrie yang sudah memegang penuh “nasib” Partai Golkar langsung bergerak cepat. Dia menuju kamarnya di lantai 15 Hotel Sultan yang tak jauh dari JCC. Saat itu, SBY yang juga sedang menggelar Rapimnas partainya sedang beristirahat di kamar yang berada satu lantai dengan kamar Aburizal Bakrie. Sudah pasti dalam politik, pola seperti ini dilakukan agar memfasilitasi komunikasi yang lebih intens terjadi.
Hanya saja, pertemuan tersebut tidak terekam oleh pena dan kamera media manapun. Tidak ada yang tahu apakah SBY benar-benar bertemu dengan Aburizal Bakrie di lantai 15 Hotel Sultan. Namun setidaknya ada gelagat yang bisa diketahui, bahwa andaipun mereka bertemu, tidak ada hasil yang bisa diharapkan dari komunikasi keduanya. Sebab di forum Rapimnas Partai Demokrat, kemudian keluar keputusan partai berlambang mercy itu akan bersikap netral di Pemilu Presiden 2014. Aburizal Bakrie pun langsung bertolak dari Hotel Sultan ke kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.
Aburizal Bakrie sempat mengecoh para wartawan yang “berjaga” di depan kediaman Megawati, dengan masuk rumah itu lewat pintu samping. Sudah begitu kerasnya upaya membangun komunikasi politik, pertemuan antara Aburizal Bakrie dengan Megawati pun tak menghasilkan kesepakatan apa pun. Ini kedua kalinya ia membangun komunikasi dengan tujuan menjalin koalisi dengan Megawati, tetapi tetap tidak ada titik temu.
Usaha Aburizal Bakrie masih berlanjut. Dalam satu hari, selepas dari rumah Megawati, dia ternyata bertandang ke Hambalang, ke kediaman Prabowo, menjelang tengah malam pada hari itu. Politisi Senior Partai Golkar MS Hidayat baru membocorkan informasi tersebut kepada media pada pagi harinya. Hanya saja MS Hidayat tidak membocorkan apa hasil dari pertemuan Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto yang kesekian kalinya itu.
Kini apa yang diupayakan Aburizal Bakrie agaknya menemui titik terang, Partai Golkar bersama koalisi tenda besar yang didalamnya terdapat 6 partai lain, yaitu Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS dan PBB bersepakat mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai calon presiden dan calon wakil presiden serta menamakan diri dalam naungan Koalisi Merah Putih (KMP).
Hasil tersebut jelas jauh dari apa yang diimpi-impikan olehnya sejak awal. Di acara deklarasi pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Rumah Polonia, Jakarta, pada 19 Mei 2014, beberapa elite Partai Golkar tiba-tiba datang ke lokasi. Dipimpin oleh Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham yang mewakili Aburizal Bakrie, mereka turut menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Hatta. “Selaku mandataris rapimnas, ARB telah memberikan pernyataan agar seluruh keluarga besar Partai Golkar memberi dukungan sepenuhnya kepada Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa,” kata Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dalam orasi dukungannya.
Satu hal yang seketika menjadi fakta, Aburizal Bakrie tak menjadi bakal calon presiden, tidak juga menjadi bakal calon wakil presiden. Kepastian dukungan Partai Golkar kepada poros Gerindra menempatkan Aburizal Bakrie tidak jadi apa-apa untuk Pemilu Presiden 2014. Posisi Capres yang diperjuangkan oleh Aburizal Bakrie selama dua tahun terakhir kandas sudah. Opsi Cawapres yang belum lagi seumur jagung tak menemukan tempat. Bisa jadi, hanya posisi menteri yang bakal tersedia untuk Aburizal Bakrie, itu pun kalau pasangan Prabowo-Hatta menjadi pemenang.
Walaupun Aburizal Bakrie tidak menjadi RI 1 atau 2, tetapi ini merupakan hasil maksimal yang didapat oleh komunikasi politik para elit Partai Golkar. Aburizal Bakrie berdasarkan kesepakatan dengan KMP, didapuk untuk menjadi menteri istimewa setingkat Menko (Menteri Koordinator) jika kubu KMP bersama Prabowo-Hatta berhasil memenangi Pilpres 2014.
Saat itu Prabowo Subianto mengutarakan bahasa Menko dengan istilah menteri utama. Ia jelas sangat menginginkan Partai Golkar masuk ke dalam koalisi tenda besarnya. Alasannya adalah semakin banyak partai maka akan semakin mudah memenangi pertempuran. Kenyataannya tidak, Prabowo Subianto benar-benar dihajar habis oleh lawan politiknya terkait dengan masa lalunya yang dianggap memiliki dosa sejarah saat berkarir di militer.
Oleh lawan politiknya Prabowo Subianto dicitrakan sebagai figur yang kontroversial, temperamental dan tidak pantas memimpin Indonesia karena kondisi psikologis yang labil. PDIP jelas memiliki peran strategis untuk mewacanakan citra ini menjadi lekat dengan figur Prabowo. Mereka melakukan kampanye negatif terhadap Prabowo secara efektif karena memiliki figur Jokowi yang dianggap berkebalikan dengan Prabowo secara sifat.
Aburizal Bakrie dengan gaya khasnya tetap optimis Prabowo Subianto mampu menjungkalkan Jokowi. Ia mulai berjalan sendiri, dengan melakukan tembakan-tembakan gagasan untuk mengikis isu yang menerpa Prabowo. Menurut Aburizal Bakrie, dasar pembentukan koalisi merah putih didirikan untuk mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Fundamental itu yang terlebih dahulu dibangun oleh Aburizal Bakrie daripada berbicara mengenai bagaimana KMP akan memenangkan Prabowo-Hatta. Jika ia langsung berbicara soal teknis di khalayak dan internal Partai Golkar, tentu akan banyak celah yang bisa jadi ruang pukulan bagi Prabowo Subianto.
“Tidak ada satupun kata koalisi merah putih untuk memenangkan Prabowo – Hatta. Jadi hanya mempertahankan Pancasila, kalau ada pihak menggantikan Pancasila, maka koalisi merah putih akan menggantinya kembali. Termasuk mencabut TAP MPR,” ujar Ical usai mengumpulkan 30 DPD I Golkar di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat, pada 25 Agustus 2014.
Gagasan dari Aburizal Bakrie mengenai mempertahankan Pancasila ini setidaknya turut menyentil Jokowi. Saat itu, kampanye negatif juga turut didengungkan kepada Jokowi mengenai asal usulnya yang dikatakan sebagai keturunan PKI. Mengenai persoalan ini, KMP mengaku tidak tahu menahu darimana soal kampanye hitam terkait Jokowi muncul.
Bahkan ada sebuah media bernama Obor Rakyat yang secara khusus kontennya berisi mengenai black campaign terhadap Jokowi. Ketua Umum PPP saat itu, Romahurmuziy mengaku sempat menerima majalah Obor Rakyat di atas meja kerjanya. Seketika itu juga dia langsung membuang majalah tersebut dan meminta siapapun yang berada di balik Obor Rakyat menghentikan aktivitas kegiatan jurnalisme yang mereka lakukan.
Yang kedua, lanjut Ical, di dalam mukadimah koalisi merah putih, akan memastikan bahwa negara menjamin hak semua WNI untuk menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing. Tiga, koalisi merah putih akan menjamin hak warga negara untuk berbuat atau tidak berbuat seperti prinsip hak asasi manusia. “Jadi jangka panjang untuk negara bangsa. Tidak ada hubungannya untuk memenangkan Prabowo – Hatta . Kita sepakat untuk mempertahankan pancasila. Itu prinsip yang nyata,” katanya.
Terkait ucapan Aburizal Bakrie soal ini, ia juga mencoba mengikis kepercayaan publik bahwa jika Prabowo Subianto menjadi presiden maka umat agama lain di luar Islam akan didiskriminasi. Hal ini menyusul bergabungnya FPI sebagai salah satu Ormas yang dianggap radikal ke barisan Prabowo Subianto. Untuk melawan perspektif itu, maka Aburizal Bakrie berdasar inisiatifnya mencoba meyakinkan publik bahwa Prabowo Subianto tidak akan mungkin mendiskriminasi kelompok agama tertentu hanya untuk mendapatkan dukungan dari kelompok agama yang lain. KMP bagi Aburizal Bakrie dimaksudkan untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan suku, ras, agama dan golongan manapun.
Meski sudah habis-habisan bertarung ide dan gagasan, segalanya masih kalah dengan kecerdikan yang dimiliki Jokowi dan PDIP dalam Pilpres 2014. Mereka melakukan strategi belah bambu di internal Partai Golkar. Di luar dugaan siapapun, Jokowi ternyata mengambil Jusuf Kalla (JK) sebagai calon wakil presidennya.
Keberadaan JK yang merupakan tokoh senior Partai Golkar ini dan menjadi Cawapres Jokowi kala itu semakin membuat dilema sebagian internal Partai Golkar. Pasalnya ada anggapan yang mengatakan, jika seorang Aburizal Bakrie tak mampu calonkan diri sebagai Capres maupun Cawapres, kenapa tidak mendukung Jokowi dan JK yang notabene merupakan kader partai beringin ini.
Dari sinilah riak-riak konflik mulai mendidih, ambisi dan saling tikam posisi mulai mencuat. Alhasil pemecatan pun dilakukan terhadap 3 kader Partai Golkar atas status keanggotaannya karena terindikasi mendukung Jokowi–JK, pemecatan dilakukan karena ketiga kader partai ini dianggap tidak mematuhi sikap politik Partai Golkar yang mendukung pasangan Capres Cawapres Prabowo-Hatta. Ketiga kader Partai Golkar yang dipecat tersebut adalah, Nusron Wahid, Poempida Hidayatullah, dan Agus Gumiwang Kartasasmita.
Terdapat tiga penyebab konflik internal bagi Partai Golkar yang muncul sebelum pilpres 2014. Pertama adalah Aburizal Bakrie tidak menjalankan amanat Rapimnas untuk maju mencalonkan diri menjadi Capres dari Partai Golkar, kedua tidak mendukung JK yang masih kader Partai Golkar untuk maju mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden lalu membuat internal partai terbelah karena hal ini dan terakhir melakukan pemecatan terhadap kader Partai Golkar yang memiliki pengaruh cukup besar di tingkatan internal partai.
Tidak sampai disini konflik terhenti, pada akhir Pemilu presiden 2014, pasangan Capres Cawapres yang diusung Partai Golkar, Prabowo-Hatta ternyata kalah dari pasangan Jokowi-JK dalam satu putaran. Meski memiliki dukungan mayoritas partai, Prabowo-Hatta harus mengakui keunggulan Jokowi-JK. Merujuk hasil KPU RI, Jokowi-JK unggul dengan raihan suara sebesar 70.997.833 atau 53,15% dibanding Prabowo Hatta yang hanya mendapatkan 62.576.444 atau 46,85%.
Posisi Aburizal Bakrie pun dianggap tak mampu membawa gerbong besar Partai Golkar menuju sepur kemenangan Pemilu legislatif hingga Pemilu presiden 2014. Reaksi atas aksi lantas muncul, kini mulai banyak yang menggoyang posisi Aburizal Bakrie, menyudutkan, memelintir persepsi, saling silang pendapat dan perdebatan juga muncul setiap hari di media nasional. Babak baru dunia politik bagi Aburizal Bakrie terpampang di depan matanya. Kekuasaannya atas Partai Golkar perlahan luntur, internal benar-benar bergejolak. Tahun 2014-2017 benar-benar menjadi titik nadir bagi partai berlambang beringin ini.
Sumber:
- Aryo Putranto Saptohutomo, “Hasil Pemilu dan Pilpres 2014”, (https://nasional.kompas.com/read/2022/05/25/16004681/hasil-pemilu-dan-pilpres-2014?page=all, diakses pada Maret 2023)
- Fathiyah Wardah, “6 Parpol Dukung Pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres”, (https://www.voaindonesia.com/a/parpol-dukung-pasangan-prabowo-hatta-dalam-pilpres/1917769.html, diakses pada Maret 2023)
- Alsadad Rudi, “Bertemu di Pasar, Jokowi dan Aburizal Tak Juga Pastikan soal Koalisi”, (https://nasional.kompas.com/read/2014/05/13/1837007/Bertemu.di.Pasar.Jokowi.dan.Aburizal.Tak.Juga.Pastikan.soal.Koalisi, diakses pada Maret 2023)
- NN, Detik, “Tentukan Arah Koalisi, Golkar Gelar Rapimnas 18 Mei”, (https://news.detik.com/berita/d-2583777/tentukan-arah-koalisi-golkar-gelar-rapimnas-18-mei, diakses pada Maret 2023)
- NN, Detik, “Ini Hasil Lengkap Rapimnas Golkar Menuju Pilpres 2014”, (https://news.detik.com/berita/d-2585180/ini-hasil-lengkap-rapimnas-golkar-menuju-pilpres-2014, diakses pada Maret 2023)
- NN, Detik, “Akbar: SBY dan Ical Tinggal di Lantai yang Sama di Hotel Sultan”, (https://news.detik.com/berita/d-2585221/akbar-sby-dan-ical-tinggal-di-lantai-yang-sama-di-hotel-sultan, diakses pada Maret 2023)
- Maya Sofia, “ARB Bantah Bertemu SBY di Hotel Sultan”, (https://www.viva.co.id/arsip/505255-arb-bantah-bertemu-sby-di-hotel-sultan, diakses pada Maret 2023)
- Sundari, “Temui Mega, Ical Lewat Pintu Samping”, (https://nasional.tempo.co/read/578649/temui-mega-ical-lewat-pintu-samping, diakses pada Maret 2023)
- Sabrina Asril, “Tengah Malam, Aburizal dan Prabowo Bertemu Bahas Koalisi”, (https://nasional.kompas.com/read/2014/05/19/1112040/Tengah.Malam.Aburizal.dan.Prabowo.Bertemu.Bahas.Koalisi, diakses pada Maret 2023)
- Fathiyah Wardah, VOAIndonesia, “6 Parpol Dukung Pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres”, Loc.Cit.
- Zulhidayat Siregar, “Dukung Prabowo, ARB Telah Jalankan Mandat Rapimnas”, (https://rmol.id/read/2014/05/19/155818/dukung-prabowo-arb-telah-jalankan-mandat-rapimnas, diakses pada Maret 2023)
- Rahmat Fiansyah, “Gerindra: Tawaran Jabatan Menteri Utama kepada Ical untuk Hormati Golkar”, (https://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/1554394/Gerindra.Tawaran.Jabatan.Menteri.Utama.kepada.Ical.untuk.Hormati.Golkar, diakses pada Maret 2023)
- Syahrul Ansari, “Aburizal: Koalisi Merah Putih Bukan untuk Prabowo-Hatta”, (https://www.viva.co.id/arsip/531939-aburizal-koalisi-merah-putih-bukan-untuk-prabowo-hatta, diakses pada Maret 2023)
- Happy Bone Zulkarnain, Ibnu Munzir, Dkk, “Nahkoda Impian, Pemimpin Harapan: Pelayaran Baru Airlangga Hartarto” (Jakarta: Sang Gerilya Indonesia, 2017), Hlm. 34