Berita Golkar – Berdasarkan informasi yang dihimpun, melalui media nasional dan internasional, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa berbulan pasca turunnya mantan Presiden Soeharto, keadaan Indonesia tetap saja belum stabil dan belum menentu.
Dalam situasi seperti ini, jikalau Presiden mengambil langkah kebijakan yang salah, dapat menyebabkan suatu revolusi sosial yang mungkin bisa saja berkembang menjadi proses “Balkanisasi” NKRI dan perang saudara antar sesama rakyat Indonesia. Oleh karenanya, satu-satunya jalan yang penting dilakukan oleh Pemerintahan B.J. Habibie adalah melaksanakan suatu mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) berdasarkan asas transparansi, demokratis, dan terbuka bagi semua partai yang mengakui UUD ‘45.
Adanya langkah untuk melakukan percepatan Pemilu yang seharusnya digelar pada tahun 2002 menjadi tahun 1999 juga didasarkan pada aspirasi yang berkembang pada saat itu. Rakyat dan khalayak menginginkan adanya sebuah mekanisme politik yang secara sistematis mampu merubah struktur pemerintahan dan memberangus keberadaan orde baru di dalam kekuasan. Kepemimpinan B.J. Habibie pun sifatnya adalah pemerintahan transisi. Meskipun begitu, B.J. Habibie sebagai Presiden RI sangat serius untuk mewujudkan agenda reformasi seperti apa yang dikehendaki rakyat.
Perayaan euforia reformasi dan demokrasi Indonesia yang disebabkan oleh perubahan sistem dan tata nilai kehidupan berbangsa, membuat polarisasi politik terjadi. 48 partai yang disahkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) pada saat itu menawarkan banyak sekali gagasan dan ide sebagai jalan pembaharuan Indonesia. Implikasi dari banyaknya Parpol yang ikut pada pelaksanaan Pemilu 1999 adalah mengikisnya suara Partai Golkar dan partai lain yang sebelumnya menjadi corong politik era orde baru.
Kebanyakan partai politik (48 partai) itu hanya bisa mengandalkan sedikit dukungan saja dari masyarakat. Dalam perpolitikan modern Indonesia, sebuah partai politik pada dasarnya adalah kendaraan politik untuk individu tertentu dan bukan lembaga yang mengekspresikan ideologi atau visi bersama. Karena hanya beberapa orang bisa mengandalkan dukungan publik selama Pemilu 1999, kebanyakan partai politik ditakdirkan untuk menerima sedikit suara.
Selain keberadaan mekanisme pemilihan yang banyak dinantikan banyak orang, keberadaan Partai Golkar juga menjadi sorotan utama khalayak ramai pada saat itu. Pasca diadakannya Munaslub di tahun 1998 yang memenangkan Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum Partai Golkar, tekanan tak begitu saja selesai menimpa partai berlambang beringin ini.
Banyak pernyataan yang menyudutkan posisi Partai Golkar pada tahun 1998-1999, bahkan bukan hanya pernyataan yang terkesan verbal dan merupakan hal lumrah dalam dunia politik. Tetapi terjadi pula pengrusakan aset-aset Partai Golkar yang terjadi di daerah. Tampaknya kebencian pada orde baru dan bertahannya Partai Golkar dengan rumusan yang lebih transformatif sesuai keadaan zaman telah memunculkan kebencian tersendiri bagi beberapa pihak.
Pengadilan opini dan justifikasi sepihak yang sangat berlebihan pun dialami Partai Golkar melalui berbagai pandangan di media massa ketika itu. Beberapa pihak bahkan menyebut jika Partai Golkar seharusnya dibubarkan saja karena telah menjadi biang dari krisis ekonomi yang menerpa Indonesia.
Nada diskriminatif yang bertentangan dengan semangat nilai reformasi dan demokrasi seperti itu banyak terlontar dari beberapa yang menyebut dirinya sebagai kaum reformis. Seperti apa yang diungkapkan oleh Usep Ranuwidjaja, salah seorang politisi senior Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dirinya menyebut bahwa, “Kalau ada yang meminta persetujuan terhadap saya soal pembekuan Golkar, saya tegaskan saya sangat setuju. Alasannya, Golkar adalah partai politik yang seharusnya paling bertanggung jawab dengan terjadinya multi krisis yang melanda sekarang ini. Dan semasa orde baru, Golkar dan Soeharto itu tidak bisa dilepaskan”.
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh salah seorang tokoh reformasi, Amien Rais mengenai Partai Golkar. Bagi Aburizal Bakrie hal-hal tersebut hanyalah psy war yang ingin membuat konsentrasi Partai Golkar menghadapi Pemilu 1999 terbelah. Saat itu, Amien Rais mengatakan jika tidak lama lagi Partai Golkar akan mengikuti jejak kejatuhan rezim orde baru. Barangkali apa yang dikatakan Amien Rais berkaitan dengan kiprah Partai Golkar di Pemilu 1999 mendatang.
“Saya kira dengan turun panggungnya Soeharto, otomatis Golkar akan mengecil, kalau tidak malah akan bubar. Golkar sudah tidak ada pamornya lagi. Lagipula, apa yang anda harapkan dari orang-orang seperti Harmoko, Hartono dan Tutut? Artinya saya kira, pilar-pilar Golkar sudah hancur. Jadi lebih baik dibuka lembaran baru sama sekali,” ungkap Amien Rais.
Di tengah iklim politik yang sama sekali tidak kondusif seperti itu, Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung justru menjadi lebih sangat intensif melakukan safari politik dan kunjungan ke kader Golkar di daerah. Upaya seperti itu bagi Aburizal Bakrie sangat penting guna menjaga eksistensi Partai Golkar hingga ke tingkat paling bawah, dan dalam kerangka memotivasi para kader agar tidak mengalami demoralisasi akibat tekanan eksternal yang bertubi-tubi ditimpakan pada Partai Golkar. Bahkan ketika Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014, ia mencontoh bagaimana seorang Akbar Tandjung yang terjun langsung ke daerah untuk menyerap aspirasi kader daerah sekaligus menyemangati mereka.
Tetapi di masa Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie sendiri mengakui bahwa itu bukanlah masa yang mudah. Bukan hanya Partai Golkar secara kelembagaan, dalam beberapa agenda kunjungannya ke beberapa daerah, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung seringkali mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari masyarakat. Dirinya juga sempat mendapatkan aksi penghadangan dan berbagai penolakan dari massa yang anti terhadap Partai Golkar.
Peristiwa yang terekam sejarah atas aksi penghadangan yang dialami oleh Akbar Tandjung pun terjadi di Purbalingga dan Jember/Banyuwangi. Banyak daerah lain sebetulnya yang melakukan aksi serupa, tapi contoh dari aksi di Purbalingga menjadi salah satu yang paling tidak mengenakkan.
Peristiwa Purbalingga terjadi pada awal April 1999, ketika Ketua Umum DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung hendak menghadiri acara “Silaturahmi dan Temu Kader” di Stadion Wasesa, Purbalingga, Jawa Tengah. Dalam perjalanan menuju tempat digelarnya acara, rombongan Ketua Umum beserta fungsionaris DPP Partai Golkar dihadang oleh massa yang menggunakan atribut PDIP (PDI-Perjuangan) dan memaksa menggagalkan rombongan agar tidak melanjutkan perjalanan. Massa tersebut juga bertindak anarkis dengan melakukan pengrusakan serta pembakaran atribut Partai Golkar.
Suasana saat itu sangat mencekam, beberapa diantara rombongan adalah perempuan yang tidak terbiasa dengan situasi seperti itu. Parahnya, massa juga memaksa para kader termasuk kader perempuan melepaskan atribut (pakaian) Partai Golkar di tubuh untuk kemudian dibakar. Kejadian itu akhirnya menyisakan trauma mendalam bagi Partai Golkar, termasuk juga para kader perempuan. Di lokasi acara, massa yang berbeda telah terlebih dahulu masuk arena dan langsung merusak panggung juga mencopoti berbagai umbul-umbul yang terpasang.
Bukan hanya kekerasan dan diskriminasi fisik saja yang menimpa Partai Golkar, tetapi tekanan politik juga dialami menjelang makin dekatnya perhelatan Pemilu 1999. Tekanan secara politis didapati Partai Golkar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam sejarahnya, pimpinan KPU biasanya dimandatkan dari hasil pembahasan partai-partai peserta Pemilu.
Saat pemilihan pimpinan KPU, Partai Golkar yang notabene merupakan partai terbesar saat itu sama sekali tidak dipilih untuk menjadi salah satu pimpinan KPU. Justru Mantan Mendagri yang juga merupakan perwakilan dari Partai MKGR lah yang didapuk sebagai Ketua KPU dan sebagai Wakil Ketua KPUM dipilih dua orang yang mewakili pemerintah dan utusan partai. Sebagai perwakilan pemerintah ditunjuklah DR. Adnan Buyung Nasution, dan sebagai perwakilan partai ada nama Prof. Harun Al Rasyid dari Partai Umat Islam (PUI). Sementara delegasi dari Partai Golkar, Mahadi Sinambela hanya menjadi anggota biasa.
Pemilu 1999 telah mengubah eskalasi politik negara ini. Sekarang bukan lagi Partai Golkar yang memegang kendali atas segala sesuatu keputusan yang diambil parlemen melalui jalur voting. Hal tersebut dapat terlihat secara terbuka pada pembentukan fraksi-fraksi yang ada di DPR RI. Praktis ketika itu, fraksi di DPR RI tidak hanya terbagi dalam 3 bagian utusan institusi politik, Golkar, PDI dan PPP. Ditambah dengan utusan ABRI dan utusan golongan.
Penghilangan unsur utusan ABRI dan menurunnya raihan suara Partai Golkar di Pemilu 1999 secara perlahan juga membuka tabir baru proses demokrasi di parlemen. Apalagi partai pemenang Pemilu 1999 adalah PDIP, partai yang selama ini dianggap menjadi diaspora oposisi kekuasaan rezim Orde Baru. Maka, nuansa di parlemen menjadi semakin baru dan teremajakan, banyak pula dinamika-dinamika yang nyatanya berkembang menjadi sebuah perdebatan melalui interupsi para anggota dewan. Ini kehidupan demokrasi di era reformasi, kita memahfumkan segala hal tersebut.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dari 700 anggota MPR terpilih di Pemilu 1999, PDIP mendapatkan kursi mayoritas dengan jumlah mencapai 153 kursi. Sedangkan Partai Golkar mendapatkan 120 kursi dan PPP hanya mendapatkan 58 kursi. Jumlah kursi Partai Golkar mengalami penurunan terbesar di Pemilu 1999 yakni mencapai 22,46% atau turun sebanyak 205 kursi.
Sementara perebutan jumlah kursi banyak terjadi bagi partai-partai baru yang bermunculan pada Pemilu 1999, tercatat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendapatkan 51 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) mendapatkan 34 kursi, Partai Bulan Bintang (PBB) 13 kursi, Partai Keadilan 7 kursi, Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) 5 kursi, Partai Nadhlatul Umat 5 kursi, Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) 4 kursi, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 2 kursi, Partai Daulat Rakyat (PDR) 2 kursi. Sedangkan untuk Partai Kebangkitan Umat, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Masyumi, Partai Nasionalis Indonesia, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, PNI-Massa Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia dan Partai Persatuan masing-masing mendapatkan 1 kursi DPR RI. Total kursi untuk seluruh perwakilan partai adalah 462 kursi.
Pemilu 1999 menjadi pelajaran yang begitu berharga bagi Partai Golkar kala itu. Nuansa politik berubah, Partai Golkar tidak bisa lagi bergantung pada kekuasaan, pada TNI, pada kekuatan politik PNS. Di era reformasi yang begitu terbuka, ide dan gagasan dalam membangun negara dikedepankan. Aburizal Bakrie melihat bahwa Akbar Tanjung mampu menangkap fenomena dari pergeseran perilaku politik di Indonesia.
Figur menjadi kunci dari kemenangan partai, Megawati Soekarnoputri misalnya yang dianggap sebagai simbol perlawanan dari Orde Baru dan antitesis Soeharto mampu menangguk untung dari lengsernya Orde Baru. Figurnya berhasil membawa harapan baru di era reformasi hingga membawa kemenangan untuk PDIP dan menjadi Presiden RI sebagai pengganti KH. Abdurrahman Wahid pada periode 2001-2004.
Strategi berbeda kemudian dijalankan oleh Akbar Tanjung menjelang Pemilu 2004. Ia belajar dari Pemilu tahun 1999 di mana Partai Golkar mengalami kerontokan suara dan raihan kursi di legislatif. Karenanya, menangkap fenomena era reformasi, ia pun berencana memunculkan figur-figur baru sebagai daya tarik keterpilihan Partai Golkar di Pemilu 2004.
Sebelum memasuki tahapan Pemilu 2004 di mana pemilihan legislatif akan dilangsungkan terlebih dahulu dari pemilihan presiden, lagi-lagi Partai Golkar mengajarkan dan mendikte tentang bagaimana cara berdemokrasi yang baik dan benar. Walaupun ketika itu, cukup banyak pihak meragukan kiprah Partai Golkar setelah tidak lagi disokong oleh kekuatan utama poros kekuasaan seperti ketika di masa Orde Baru.
Pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Bidang Pemenangan Pemilu (Rakornas PP) Partai Golkar yang dihelat pada 27 Februari 2003. Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tanjung di pidatonya menyampaikan satu hal penting yang kelak menjadi landasan Partai Golkar mengawali iklim demokrasi Indonesia di tahun 2004. Akbar Tanjung menyampaikan bahwa perlunya mekanisme yang terbuka dan demokratis dalam proses seleksi calon presiden dan wakil presiden dari Partai Golkar.
Lalu, diaktualisasikan lah gagasan Konvensi Partai Golkar sebagai forum sarana memilih presiden dari Partai Golkar untuk bertarung pada Pemilihan Presiden (Pilpres 2004). Konvensi Partai Golkar sendiri tidak terbatas pada kader internal Partai Golkar, tetapi konvensi juga dilakukan dengan menyaring figur terbaik dari eksternal atau figur luar partai yang kelak akan dimajukan pada Pilpres 2004 dari Partai Golkar.
Selain sarana memilih calon presiden dan wakil presiden, perlu kiranya di era reformasi yang terbuka seperti sekarang, partai-partai politik di Indonesia menunjukkan semangat berpolitiknya melalui kilatan cahaya media massa. Ya, tujuan lain dari diadakannya Konvensi Partai Golkar adalah menarik minat media untuk meliput dan menyebarkannya secara luas pada masyarakat berkenaan dengan aktivitas politik Partai Golkar. Fungsi media dengan keterbukaan informasi di awal tahun 2000-an sangat begitu terasa pengaruhnya. Maka tanpa adanya corong informasi seperti media, bisa dipastikan lembaga ataupun institusi politik seperti Partai Golkar perlahan akan meredup eksistensinya.
Jauh sebelum adanya pencetusan gagasan konvensi yang dimaksudkan Akbar Tanjung dalam pembukaan Rakornas PP Partai Golkar, awal dari gagasan tersebut justru mencuat dari perebutan eksistensi media. Berangkat dari kesadaran Partai Golkar akan pentingnya eksistensi dan citra baik di depan media dan menganggap bahwa hal itu merupakan kebutuhan primer di era demokrasi. Partai Golkar pun akhirnya belajar dari pengalaman.
Untuk itu, dengan mengambil inisiatif secara pribadi, Rully Chairul Azwar selaku Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar bersama Sekretaris Jenderal Budi Harsono menemui pemilik Media Indonesia, Surya Paloh. Hal tersebut mereka lakukan dalam rangka melobi Surya Paloh agar Media Indonesia dan Metro TV membantu Partai Golkar dengan tidak terlalu banyak menyajikan berita yang menyudutkan Partai Golkar dan semakin memperburuk citranya di mata khalayak publik.
Selain melakukan lobi politik, berbagai pembahasan strategis pun dilangsungkan kedua belah pihak termasuk persoalan peran media di era demokrasi. Surya Paloh yang pada saat itu didampingi oleh Elman Saragih serta Lorens mengamini keinginan dari dua punggawa Partai Golkar tersebut. Tetapi tentu tidak ada makan siang yang gratis.
Surya Paloh bersedia membantu asalkan Partai Golkar mau mewujudkan mekanisme pencalonan presiden yang dilakukan secara terbuka. Karena, sebagai pihak yang berada di luar kepartaian, adanya konvensi dirasa dapat mengakomodir keinginan orang luar partai seperti Surya Paloh untuk mengikuti pemilihan presiden 2004. Surya Paloh pun menyatakan ketertarikannya untuk ikut ambil bagian jika kemudian Partai Golkar benar-benar mengadakan konvensi secara terbuka.
Rully lantas mengeksekusi saran perihal pembuatan proposal ringkas mengenai ide rekrutmen calon presiden dari Partai Golkar sekaligus melakukan lobi kepada Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung agar mewujudkan konsep konvensi ini. Di dalam proposal itu, dimuatlah segala sesuatu hal tentang manfaat substansial dari pelaksanaan konvensi tersebut, sehingga dapat dikesankan jika Golkar adalah partai yang inovatif, terbuka, dan demokratis.
Ketika proposal selesai dibuat, datanglah Rully Chairul Azwar bersama Mahadi Sinambela menemui Akbar Tanjung di rumahnya pada September 2002. Beberapa hal penting dibahas oleh Akbar dan juga Rully, termasuk persoalan mekanisme penjaringan yang akan dijalankan. Ketika itu, Akbar Tanjung sempat menanyakan kepada Rully mengenai persyaratan mendasar pendaftaran bakal calon. Akbar yang kala itu posisinya sedang terbelit kasus hukum agaknya sedikit mengkhawatirkan jika kemudian dirinya tidak dapat mengikuti Konvensi Partai Golkar. Tetapi kekhawatiran Akbar Tanjung mampu dijawab dengan lugas oleh Rully dengan bahasa, “jika orang luar saja boleh ikut, apalagi Ketua Umum Partai Golkar sendiri,” dikatakan Rully kepada Akbar Tanjung.
Akbar Tanjung pun akhirnya memberikan izin terhadap pelaksanaan Konvensi Partai Golkar. Proposal tersebut akhirnya dieksekusi oleh Rully Chairul Azwar dengan melakukan pembahasan secara intensif kepada Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar. Dan pada Rapim Partai Golkar 2003, pelaksanaan Konvensi Partai Golkar akhirnya diputuskan akan digelar pada 10 Juli 2003. Selanjutnya, dibentuklah panitia konvensi yang diketuai oleh Oetojo Usman dan Rully Chairul Azwar sebagai sekretaris.
Pengumuman akan adanya Konvensi Partai Golkar ini pun disambut dengan tanggapan positif dan apresiasi dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari seorang cendekiawan muslim seperti Nurcholis Madjid. Pria yang akrab disapa Cak Nur itu bahkan pernah secara langsung menyatakan kepada Akbar Tanjung bahwa Ia merasa tertarik untuk ikut dalam Konvensi Partai Golkar.
Terkait dengan pelaksanaan konvensi, pria yang akrab disapa Cak Nur ini menjelaskan mengapa dirinya tertarik untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Baginya, perekrutan kepemimpinan secara terbuka melalui gagasan konvensi adalah sebuah ide yang selaras dengan prinsip demokrasi di era reformasi politik dewasa ini. Namun belakangan, pencalonan Cak Nur urung terjadi, entah apa sebabnya.
Mundurnya Cak Nur tidak lantas membuat persepsi publik serta keriuhan Konvensi Partai Golkar berkurang. Pada saat pendaftaran dibuka, ternyata cukup banyak juga tokoh nasional yang ikut dalam penjaringan bakal calon presiden dari Partai Golkar ini. Aburizal Bakrie salah satunya.
Ketika mendengar Partai Golkar membuka pendaftaran konvensi calon presiden, Aburizal Bakrie langsung menghubungi beberapa koleganya seperti Fahmi Idris, Habibie, bahkan Akbar Tanjung secara pribadi. Aburizal bakrie tentu langsung mengemukakan niatnya untuk turut serta dalam konvensi Capres Partai Golkar di tahun 2004. Baginya, konvensi ini adalah momentum sekaligus tapak langkah yang tepat untuk membuka panggung di kancah perpolitikan nasional. Tentu ikut sertanya Aburizal Bakrie tidak main-main, ia menargetkan kemenangan di konvensi tersebut dan dicapreskan dari Partai Golkar.
Karakternya yang pintar dalam membaca peluang membuat Aburizal Bakrie melihat ada potensi dirinya akan memenangkan kontestasi ini. Minimal, jika tidak dapat memenangkan kontestasi, Aburizal Bakrie bakal mendapat spotlight dari sorotan media massa terkait dengan pencalonan dirinya sebagai Capres. Terlepas dari keinginan mencalonkan diri sebagai calon presiden, Aburizal Bakrie sudah selesai dengan hidupnya.
Urusan ekonomi, ia dikenal sebagai pengusaha sukses dengan harta triliunan rupiah. Urusan rumah tangga, ia berhasil membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah bersama sang istri Ibu Tatty Murnitriati dengan keberkahan memiliki tiga orang putra dan putri. Kini saatnya bagi Aburizal Bakrie menghibahkan kehidupan, pemikiran dan hatinya untuk Indonesia.
Keinginannya diamini oleh para elit dan petinggi Partai Golkar, apalagi menghitung Aburizal Bakrie juga memiliki media. Tentu ia bisa membantu untuk melakukan amplifikasi media ke berbagai penjuru Indonesia mengenai konvensi Capres Partai Golkar. Akbar Tanjung pun menyambut dengan senang hati ketika mendengar keinginan Aburizal Bakrie untuk mendaftar dalam konvensi Capres Partai Golkar.
Pendaftaran konvensi Capres pun dibuka, ada tiga orang perempuan yang mendaftar. Hal ini bisa mengindikasikan bahwa Partai Golkar sangat menghargai keberadaan gender dan mulai bertransformasi sebagai partai modern. Selain tiga orang perempuan yang mengisi berkas pendaftaran, terdapat juga 16 nama lainnya, sehingga jumlah total keseluruhan peserta Konvensi Partai Golkar ada 19 orang.
Mereka adalah Kemala Motik, Tuti Alawiyah, Marwah Daud Ibrahim, Akbar Tanjung, Anwar Fuady, Harjono Soejono, Jusuf Kalla, Muladi, Nurullah Marzuki, Prabowo Subianto, R. Moehono, Rivai Siata, Setiawan Djody, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Surya Paloh, Tabrani Rab, Theo. L Sambuaga, Wiranto dan Aburizal Bakrie.
Dari kesembilan belas nama yang melakukan pendaftaran, sesuai dengan aturan konvensi, maka disaring lagi menjadi hanya lima calon presiden yang berhak mengikuti tahapan selanjutnya. Penyaringan dilakukan melalui tahapan konvensi di tingkat provinsi dengan mengikutsertakan DPD 2. Setiap peserta pun diberikan kesempatan untuk melakukan kampanye secara bergiliran ke berbagai daerah di Indonesia.
Sebelum dilangsungkannya putaran pertama konvensi, Akbar Tanjung sempat diramalkan oleh banyak orang akan memenangkan pemilihan presiden Partai Golkar ini dengan mudah. Banyak orang juga menganggap bahwa Konvensi Partai Golkar ini merupakan permainan politik belaka, dan hanya bisa-bisanya Akbar Tanjung untuk meraih simpati publik. Apa yang dikatakan publik agaknya mendapatkan pembuktian.
Akbar Tanjung memang sedikit mengungguli raihan suara Wiranto di putaran pertama ini, dengan meraih dukungan sebanyak 147 suara. Sementara kompetitor terdekatnya, Wiranto mendapatkan 137 suara dukungan. Sedangkan Aburizal Bakrie yang sebelumnya tidak pernah masuk hitungan, berhasil memperoleh 118 suara. Posisi berikutnya dimiliki oleh Surya Paloh yang meraih 77 suara sedangkan di posisi buncit ada nama Prabowo Subianto dengan raihan 39 suara.
Sementara itu, Jusuf Kalla sendiri mengundurkan diri ketika konvensi tengah dilangsungkan karena memilih untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu baru saja mendirikan Partai Demokrat. Atas sikap pengunduran diri dan sebagai kader Partai Golkar telah membuat langkah politik tanpa dilandasi oleh kebijakan partai, maka DPP Partai Golkar pun mencopot Jusuf Kalla dari jabatan Dewan Penasihat DPP Partai Golkar.
Unggulnya raihan suara Akbar Tanjung pada putaran pertama nyatanya dapat dibalikkan oleh Wiranto pada putaran kedua. Di babak ini, Wiranto mendapatkan dukungan sebanyak 315 suara, sedangkan Akbar Tanjung hanya mendapatkan 227 suara. Akhirnya melalui konvensi, Partai Golkar dapat meretas makna demokrasi tersendiri bagi perjalanan politiknya.
Wiranto pun telah secara sah didaulat oleh Partai Golkar sebagai calon presiden. Kemenangan Wiranto ini sekaligus menegaskan bahwa penyelenggaraan Konvensi Partai Golkar benar-benar memenuhi azas demokrasi dan bukan hanya sebuah kemasan dari permainan politik Akbar Tanjung belaka, seperti apa yang menjadi anggapan publik selama ini. Lalu bagaimana dengan Aburizal Bakrie?
Ia cukup puas berada di posisi ketiga di antara Wiranto dan Akbar Tanjung. Aburizal Bakrie merasa bahwa permulaan dirinya berjibaku dengan dunia politik praktis tampak cerah ke depan. Ia sudah memiliki patri hati tersendiri di internal Partai Golkar, jadilah Aburizal Bakrie memantapkan diri untuk terus berkarir di partai ini. Konvensi Capres Partai Golkar menjadi pelajaran politik berharga lainnya selain pemilihan Ketua Umum KADIN. Ia jadi mampu membaca batas dirinya sampai mana, selain itu, Aburizal Bakrie yang pada dasarnya kompetitif pun merasa tertantang. Ternyata kontestasi politik tidak semudah yang ia duga. Partai Golkar menjadi gelanggang politik Aburizal Bakrie.
Sumber:
– Imam Daniel Sihombing, Serafica Gischa, “Masa Reformasi di Bawah Pemerintahan BJ Habibie”, (https://www-kompas-com.translate.goog/skola/read/2020/10/05/135102169/masa-reformasi-di-bawah-pemerintahan-bj-habibie?page=all&_x_tr_sl=id&_x_tr_tl=jw&_x_tr_hl=jv&_x_tr_pto=sc, diakses pada Februari 2023)
– Muhammad Husnil, “Golkar Sepeninggal Daripada Soeharto”. (https://historia.id/politik/articles/golkar-sepeninggal-daripada-soeharto-DbNWQ, diakses pada Februari 2023)
– Bahtiar Effendy, Hajriyanto Thohari, dkk, “Beringin Membangun: Sejarah Politik Partai Golkar”, Op.Cit, Hlm. 162-163
– Aryo Putranto Saptohutomo, “”Hasil Pemilu 1999, dari Partai Politik Peserta hingga Pemenang”, (https://nasional.kompas.com/read/2022/05/30/14292041/hasil-pemilu-1999-dari-partai-politik-peserta-hingga-pemenang?page=all, diakses pada Februari 2023)
– Bahtiar Effendy, Hajriyanto Thohari, dkk, “Beringin Membangun: Sejarah Politik Partai Golkar”, Op.Cit, Hlm. 177