DPP  

78 Tahun Aburizal Bakrie – Menjadi Nahkoda Di Sela Hempasan Persepsi (XII)

Berita GolkarDi era reformasi, seperti yang sudah diduga banyak pihak, Partai Golkar akan mengalami kesulitan meski partai ini telah bermetamorfosis menjadi lembaga politik yang modern dan inklusif, tetap saja identitas Partai Golkar akan sulit hilang sebagai instrumen politik paling lekat dari Orde Baru. Benar saja, predikat sebagai partai pemenang Pemilu harus luruh dari mahkota beringin. Juara satu pemenang Pemilu silih berganti setiap periodenya. Misalnya saja pada Pemilu 1999 saat masa kepemimpinan Akbar Tanjung, Partai Golkar harus puas berada di posisi kedua, di bawah PDIP.

Partai Golkar hanya mampu menang kembali pada Pemilu 2004. Saat itu masih masa kepemimpinan Akbar Tanjung. Entah karena ketidakpuasan publik saat dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri atau mesin politik yang bekerja begitu keras, Partai Golkar dapat raih hasil suara maksimal dengan mendapatkan 21,58% suara. Sayangnya hasil optimal Pemilu legislatif itu tidak seiring sejalan dengan hasil Pemilu Presiden.

Kegagapan Partai Golkar dalam Pilpres tidak terlepas dari cara partai ini membangun figur kepartaian. Maklum saja, selepas figur Soeharto, Partai Golkar langsung menjelma menjadi partai yang mandiri. Partai ini tidak lagi menggantungkan kekuatan figur sebagai pendongkrak suara seperti era Orde Baru. Hasilnya memang terlihat dalam Pemilu 2004. Figur Wiranto yang diusung sebagai calon presiden berpasangan bersama Salahuddin Wahid harus berpuas di posisi ketiga dan tak dapat mengikuti putaran kedua.

Uniknya, Pemilu 2004 ini menempatkan dua kader Partai Golkar pada dua pasangan Capres yang berbeda, yakni Wiranto dan Salahuddin Wahid sebagai pasangan resmi yang diusung Partai Golkar serta ada nama Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden dari Susilo Bambang Yudhoyono. Jusuf Kalla saat itu tidak mendapatkan dukungan Partai Golkar, tetapi ia justru dicalonkan oleh Partai Demokrat. Hasilnya, SBY-JK memenangi Pilpres 2004 mengalahkan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi di urutan kedua.

Di tahun 2009, Jusuf Kalla yang saat itu menjabat pula sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Presiden RI mencoba memberanikan diri untuk maju sebagai calon presiden. Ia memisahkan diri dari bayang-bayang SBY dan menggandeng Wiranto sebagai calon presiden. Di Pemilu 2009, Partai Golkar benar-benar babak belur. Untuk Pemilu legislatif, partai ini harus mengakui sokongan figur SBY yang menaikkan suara Partai Demokrat hingga mencuri banyak suara di basis Partai Golkar. Hasilnya seperti yang sudah kita ketahui, Partai Golkar berada di peringkat kedua dan harus mengakui keunggulan Partai Demokrat. Tidak hanya itu, raihan suara Partai Golkar melorot drastis dari yang sebelumnya mendapatkan 21,58%, di Pemilu 2009 persentasenya hanya tinggal 14,45%.

Kekalahan tidak hanya diderita Partai Golkar pada tataran Pemilu legislatif, tetapi juga Pemilu presiden. Saat itu, Pemilu 2009 menempatkan tiga pasangan calon sebagai kandidat Capres dan Cawapres yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo, serta calon yang diusung Partai Golkar, Jusuf Kalla bersama Wiranto (JK-WIN). Sebagai petahana, Susilo Bambang Yudhoyono berhasil unggul atas dua kandidat Capres lainnya. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono ini membawa kabar baik bagi Partai Demokrat, tetapi kabar buruk bagi Partai Golkar.

Efek domino atas kegagalan pada Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009 membawa gejolak tersendiri bagi internal partai. Salah satu efek tersebut tergambar nyata ketika tuntutan untuk segera melaksanakan Munaslub diserukan oleh kader-kader Partai Golkar. Mereka secara implisit meminta JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar bertanggung jawab secara penuh atas kekalahan partai baik di gelaran Pemilu legislatif maupun Pemilu presiden.

Tetapi, kehendak untuk mengadakan Munaslub tersebut mampu ditahan oleh Jusuf Kalla dengan istilah Munas dipercepat. Karena seharusnya, jika merunut pada Munas Partai Golkar 2004 di Bali, periode kepengurusan Jusuf Kalla baru akan habis pada Desember 2009, tetapi nyatanya, melalui keputusan Rapimnas V Partai Golkar, Munas akan dipercepat pada 4-7 Oktober 2009 dan bertempat di Riau.

Berkenaan dengan desakan Munas, penentuan waktu dan tempat berlangsungnya agenda Munas VIII di Riau, sangat kental terlihat adanya persaingan antara para calon yang akan maju memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Keduanya memang sejak awal diindikasikan maju meramaikan bursa calon Ketua Umum Partai Golkar sejak Jusuf Kalla gagal memenangkan Pemilu legislatif 2009.

Indikasi itu terlihat semakin kuat ketika pelaksanaan Rapimnas V Partai Golkar dilangsungkan. Faksi Surya Paloh yang dimotori oleh Enggartiasto Lukita dan kawan-kawan menginginkan adanya ketetapan waktu pelaksanaan Munas VIII sesuai dengan batas waktu pelaksanaan Munas VII di Bali, pada Bulan Desember. Tetapi apa yang disampaikan oleh faksi Surya Paloh mendapat tentangan dari faksi Aburizal Bakrie yang mendesak agar Partai Golkar dapat segera menentukan Ketua Umum baru karena merunut pada sikap Partai Golkar di pemerintahan terpilih, yakni pemerintahan SBY-Boediono, apakah akan menjadi oposisi atau justru bergabung dalam pemerintahan SBY-Boediono.

Agaknya faksi Aburizal Bakrie memang telah memberikan target bahwa langkah strategis bagi Partai Golkar selanjutnya adalah menempatkan kadernya di pemerintahan. Jika pun menelisik maksud dari percepatan Munas, maka akan ada beberapa agenda yang dapat dilaksanakan sebelum pemerintahan dan kabinet terbentuk, salah satunya adalah menentukan langkah politik Partai Golkar. Desakan akan hal tersebut menguat dan membuat faksi Surya Paloh serta DPP Partai Golkar tak mampu membendung aspirasi yang datang dari mayoritas pengurus DPP.

Untuk persoalan waktu pelaksanaan Munas, sementara dapat dimenangkan oleh faksi Aburizal Bakrie yang kala itu dimotori oleh Akbar Tanjung dan Agung Laksono. Maka Munas di Riau dikenang lekat dengan Munas 3A, Aburizal Bakrie-Agung Laksono-Akbar Tanjung. Persoalan berikutnya adalah tempat pelaksanaan Munas VIII Partai Golkar, terdapat beberapa alternatif pilihan pada saat itu. Lantas, pilihan pun mengerucut pada dua tempat, yakni Riau atau Makassar, Sulawesi Selatan. Jika melihat pemetaan usulan tempat pelaksanaan Munas, sangat kental pula kepentingan yang disajikan.

Usulan Riau sebagai tempat Munas VIII didengungkan oleh faksi Aburizal Bakrie, sementara Surya Paloh barangkali atas petunjuk Jusuf Kalla, meminta Munas VIII diselenggarakan di Makassar. Pada akhirnya diambil lah ketetapan win-win solution yang menjadikan Riau sebagai pilihan utama tempat penyelenggaraan Munas VIII Partai Golkar dan Makassar sebagai alternatif cadangan. Dari pembahasan tempat, lagi-lagi dimenangkan oleh faksi Aburizal Bakrie. Sebagaimana kita ketahui bersama, Aburizal Bakrie yang didukung penuh oleh Akbar Tanjung untuk maju menjadi Golkar 1 adalah tokoh saudagar dari Sumatra. Sementara Jusuf Kalla merupakan tokoh asli Makassar.

Sebetulnya, pertanyaan yang kemudian harus kita jawab bersama sebagai internal Partai Golkar adalah, mengapa kemudian Jusuf Kalla tidak berpihak pada Aburizal Bakrie atas pencalonannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar? Padahal Aburizal Bakrie pernah mendukung Jusuf Kalla sewaktu dirinya maju sebagai Ketua Umum Partai Golkar di Munas VII Bali.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama tentu adalah kedekatan pribadi antara Jusuf Kalla dan Surya Paloh. Jauh sebelum Aburizal Bakrie masuk mengisi jajaran elit DPP Partai Golkar, Surya Paloh bersama Jusuf Kalla telah banyak berkomunikasi serta melakukan penjajakan dengan komitmen kesepakatan pada Munas VII di Bali. Salah satu kesepakatan yang terbangun adalah, jika Surya Paloh menjadi Ketua Umum Partai Golkar di Munas VII Bali, maka JK kelak akan menjadi Ketua Dewan Penasihat. Tetapi nyatanya Surya Paloh gagal mencalonkan diri dikarenakan satu dan lain hal.

Kegagalan Surya Paloh pun disambut JK dengan pencalonan dirinya menggantikan posisi Surya Paloh. Kesepakatan yang dibangun antar keduanya pun tak berubah, kali ini, jika Jusuf Kalla berhasil menduduki kursi Partai Golkar 1, maka Surya Paloh lah yang akan didaulat sebagai Ketua Dewan Penasehat. Saat itu, Aburizal Bakrie baru muncul belakangan bahkan ketika Agung Laksono menyatakan dukungannya pada Jusuf Kalla dan membelot dari kesepakatan di kubu Akbar Tanjung.

Faktor lainnya adalah, adanya Akbar Tanjung di kubu Aburizal Bakrie. Di satu sisi memang kita dapat melihat bahwa ada sentimen pribadi antara Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla. Apalagi kekalahan Akbar Tanjung di Munas VII Partai Golkar yang telah membawa keberhasilan dan kemenangan Partai Golkar pada Pemilu 2004, tidaklah dapat dimaklumi begitu saja.

Dan faktor terakhir yang tentunya di luar dugaan kita adalah barangkali semua telah sesuai dengan skema ataupun skenario dinamika politik Partai Golkar untuk menghadapi Pemilu Presiden 2009. Sebetulnya, antara Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, tidak ada masalah yang terlalu kompleks. Semua biasa saja, menganggap politik adalah gurauan di atas kesepakatan. Barangkali pula Jusuf Kalla sudah mendelegasikan Aburizal Bakrie sebagai pihak independen dan tidak terlalu melakukan perlawanan frontal pada rezim kekuasaan untuk selanjutnya dapat secara dinamis bergerak menentukan langkah politik yang tentunya akan menguntungkan posisi Partai Golkar di pemerintahan SBY-Boediono.

Fatsun yang berlaku, Partai Golkar tidak memiliki hak menempatkan kader di kabinet baru. Dalam bahasa sederhana, wajib hukumnya Partai Golkar diabaikan Presiden SBY saat dirinya menyusun kabinet, walaupun dukungan terhadap pemerintahan SBY-Boediono telah dinyatakan Partai Golkar. Oleh sebab itu, perlu lah figur Aburizal Bakrie ataupun juga Surya Paloh muncul sebagai orang yang tidak terlalu memperlihatkan perlawanan pada SBY tetapi juga tidak terlalu fanatik terhadap Jusuf Kalla.

Aburizal Bakrie kemudian dipilih karena dirasa memiliki sikap yang lebih independen pada Pemilu Presiden 2009, dirinya juga diindikasikan dekat dengan Cikeas ketimbang siapapun di Partai Golkar, lantas tak heran jika Aburizal Bakrie pun sempat mempercayakan suksesi kepemimpinannya pada trio Mallarangeng (Andi, Rizal dan Choel) yang notabene merupakan orang-orang kepercayaan SBY, terutama Andi Mallarangeng. Belum lagi jika kita melihat bahwa Aburizal Bakrie memiliki posisi strategis sebelumnya di pemerintahan SBY-JK, yakni sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Atas dasar ini, alasan terakhir lebih masuk akal dibanding alasan lainnya.

Beberapa orang bahkan mengatakan saat Munas VIII Partai Golkar di Riau, dukungan rezim kekuasaan pada Aburizal Bakrie sangat jelas terlihat, indikasinya antara lain pada kasus semburan lumpur PT. Lapindo Brantas, salah satu perusahaan milik Aburizal Bakrie. Terkait kasus tersebut, Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa pernah menegaskan, segala penyelidikan terhadap penyebab semburan lumpur yang tadinya diduga karena kelalaian manusia harus dihentikan, pernyataan Hatta Rajasa minimal mengartikan bahwa PT. Lapindo Brantas bebas dari segala tuduhan kesalahan prosedural dan membebankan kejadian semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam.

Sementara itu pada bingkai fragmen lainnya, Jusuf Kalla sendiri yang masih memiliki kesempatan untuk mempertahankan jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar enggan untuk kembali berpolitik. Hal itu ditegaskan dalam komitmennya sewaktu debat Pilpres. Dirinya menyatakan akan kembali ke kampung halaman, memberdayakan masyarakat di daerahnya dan mengabdi untuk kemajuan daerah ketika pembawa acara debat mempertanyakan rencana Jusuf Kalla jika dirinya tidak terpilih sebagai Presiden RI. Menegaskan komitmen itu, maka pelaksanaan Munas VIII Partai Golkar yang dipercepat menjadi tugas terakhir JK dalam aktualisasi kehidupan politiknya. Pilihan Jusuf Kalla itu tentu sangat rasional mengingat tidak mungkin Ia berada di Partai Golkar sementara partai ini akan menjadi pendukung pemerintahan SBY-Boediono yang pernah menjadi kompetitornya.

Maka mimpi Partai Golkar untuk menjadi partai mandiri, progresif, serta berkemajuan agaknya bisa terlupakan ketika kita bersandar hanya pada kekuasaan. Dengan sokongan sumber daya yang ada pada Partai Golkar, haruslah kemudian dirumuskan sikap mandiri tanpa bergantung dengan kekuasaan. Jika selama 10 tahun masa pemerintahan SBY saja, PDIP bisa menjadi partai mandiri dengan memilih sebagai oposisi, lantas mengapa Partai Golkar tidak bisa? Kalaupun mengharapkan logistik atau sumber daya pada kekuasaan, seharusnya Partai Golkar dapat lebih berpikir jauh ke depan bahwa gagasan Negara Kesejahteraan, Making Indonesia 4.0 ataupun ide lainnya dalam membangun negara hanya bisa diterapkan jika kader Partai Golkar yang memimpin bangsa ini.

Bagaimana caranya? Menepi sedikit dari kekuasaan, berlatih melalui sudut pandang berbeda, berikan acuan dan indikator tinggi dalam suksesi politik, nihilkan segala bentuk penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara dan pupuk generasi muda yang kelak meneruskan estafeta kepemimpinan agar siap bertarung pada berbagai kontestasi politik. Toh meski tidak memiliki akar kekuasaan di pusat, Partai Golkar masih menjadi pemilik dari beberapa daerah setingkat provinsi seperti saat ini, sebut saja Riau, Kepri, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Maluku, dan lainnya. Daerah-daerah tersebut merupakan basis suara Partai Golkar.

Pembahasan mengenai Munas VIII Partai Golkar ini memang sengaja ditarik agak panjang ke belakang ketika kepemimpinan Jusuf Kalla yang melekat erat pada pemerintah nyatanya tidak bisa membawa keberhasilan signifikan pada perolehan suara Partai Golkar. Setidaknya hal itu dapat dijadikan contoh tentang bagaimana Partai Golkar begitu mudah terlena pada kekuasaan hingga lupa mengenai tujuan awalnya sebagai partai pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Pun pada berbagai kebijakan tidak populis, akhirnya Partai Golkar ikut terkena imbas negatifnya.

Forum Rapimnas pun menyepakati penyelenggaraan Munas pada 4-7 Oktober 2009 di Hotel Labersa, Kampar, Pekanbaru, Riau. Sebelumnya, selain menyepakati agenda pelaksanaan Munas VIII Partai Golkar, forum Rapimnas pun menetapkan keputusan untuk mengubah agenda organisasi dari yang sebelumnya pelaksanaan Musda mendahului penyelenggaraan Munas, kini dibalik menjadi Munas terlebih dahulu lantas pengurus baru hasil Munas diwajibkan menyelenggarakan Musda di tiap daerah.

Di rentang waktu bergulir, terdapat empat nama yang kemudian mendaftarkan diri untuk menjadi kandidat calon Ketua Umum Partai Golkar, keempat nama ini memiliki keunggulannya sendiri-sendiri. Mereka adalah, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Munculnya Aburizal Bakrie serta Surya Paloh memang sudah terlihat bahkan sejak 6 bulan pelaksanaan Munas VIII Partai Golkar.

Sementara bagi Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto, tidak ada yang menyangka bahwa mereka akan turut meramaikan agenda pemilihan Ketua Umum Partai Golkar kali ini. Pasalnya, kedua orang tersebut masih sangat muda untuk maju sebagai kandidat ketua umum partai sebesar Partai Golkar.

Banyak kemudian mempertanyakan kapasitas serta pengalaman berpolitik mereka, untuk Yuddy, jelas dirinya membawa nama besar Jusuf Kalla, karena kedekatan figur antar keduanya. Yuddy pun dianggap sebagai figur alternatif bagi poros yang menghendaki progresifitas Partai Golkar dalam pembangunan ide dan gagasan.

Sementara untuk Tommy Soeharto, dirinya juga termasuk dalam jajaran kader muda Partai Golkar yang potensial. Tetapi berbagai ganjalan tentu mengiringi proses pencalonan Tommy sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Bukan karena Ia bagian dari keluarga Cendana dan anak bungsu mantan Presiden Soeharto, tetapi ganjalan yang dimaksud adalah perangai Tommy yang membuatnya terjerat kasus hukum.

Tetapi porsi pembahasan pada Munas VIII Partai Golkar ini terlihat banyak mengarah hanya pada sosok Aburizal Bakrie serta Surya Paloh. Bagaimanapun sepak terjang Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto berusaha meyakinkan peserta Munas bahwa mereka adalah masa depan Partai Golkar, keduanya masih harus lebih berpengalaman dan dapat memahami kultur perpolitikan di Partai Golkar.

Pada pelaksanaannya, segala prosesi Munas VIII Partai Golkar berjalan secara baik, panitia penyelenggara pun menyiapkan segala sesuatunya dengan rapi tanpa adanya kekecewaan dari DPD 1 dan 2 yang menjadi subjek pemilihan Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014.

Hanya perbedaannya, pada Munas VIII Partai Golkar kali ini, ramainya pemberitaan media terutama media televisi sangat mendominasi informasi pada khalayak. Tidak mengherankan hal itu terjadi, pasalnya kedua tokoh yang memiliki peran sentral dalam drama Munas VIII Partai Golkar merupakan pemilik dua stasiun televisi yang fokus kontennya tersudut pada berita politik dan informasi sosial kemasyarakatan, TVOne dan Metro TV. TVOne dimiliki oleh Bakrie Grup sementara Metro TV memiliki afiliasi kepemilikan terhadap Media Indonesia milik Surya Paloh.

Pertarungan keduanya pun menjalar hingga sampai isu-isu antar pribadi masing-masing yang menyerang tepat ke jantung lawan. Seperti Metro TV sebelum Munas VIII digelar, seringkali menyiarkan berita mengenai lumpur Sidoarjo, baik penderitaan masyarakat maupun tanggung jawab Aburizal Bakrie sebagai pemilik dari PT. Lapindo Brantas yang diindikasikan memiliki andil kesalahan penyebab semburan lumpur terjadi. Begitupun dengan TV One, walaupun jarang terlihat melakukan serangan terhadap Surya Paloh pada posisinya di muka publik, tetapi pertahanan Aburizal Bakrie untuk melindungi citra dirinya terhadap berita negatif lumpur Sidoarjo cukup intensif dilakukan.

Perang dingin antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh tidak berhenti sampai di situ. Di forum Munas VIII Partai Golkar, perebutan posisi strategis pada penyelenggara Munas pun tak lagi menjadi pembicaraan tabu. Seperti untuk posisi Ketua Penyelenggara yang berhasil diemban oleh Andi Mattalatta, pimpinan sidang paripurna Munas yang berhasil diambil oleh Fadel Muhammad dan Ketua Steering Committee yang diamanatkan pada Syamsul Muarif. Mereka bertiga merupakan figur-figur yang dikenal dekat dengan Aburizal Bakrie jika dibandingkan dengan Surya Paloh. Sementara itu, faksi Surya Paloh diindikasikan gagal untuk kesekian kalinya melawan Aburizal Bakrie, terutama pada persoalan menempatkan orang-orangnya pada struktur strategis di Munas VIII ini.

Peserta dari berbagai daerah mulai memadati area Munas VIII di Riau, tidak semuanya merupakan pemilik suara atau peserta peninjau dalam forum Munas VIII Partai Golkar. Pihak panitia mencatat hanya 1.361 orang yang merupakan peserta dengan status utusan penuh dan utusan peninjau dari berbagai daerah se-Indonesia. Sementara, pihak kepolisian mensinyalir ada lebih dari 2 ribu orang yang datang ke Riau untuk mengikuti gelaran Munas Partai Golkar. Peserta Munas sendiri berasal dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I, dan DPD II. Tak hanya itu, terdapat pula peserta dari ormas-ormas pendiri dan didirikan, anggota Wanhat (Dewan Penasehat), kelompok-kelompok kerja, anggota fraksi, serta perwakilan-perwakilan Partai Golkar dari luar negri.

Semua seolah merayakan pesta demokrasi di Partai Golkar ini, bukan hanya kader Partai Golkar saja. Masyarakat setempat pun ikut merasakan dampak ekonomi dari banyaknya keramaian di sekitaran arena Munas VIII. Minimal, mereka diperkenankan berjualan berbagai pernak pernik Partai Golkar dan juga buah tangan khas daerah Riau.

Pada awal masa sidang menuju agenda pemilihan Ketua Umum, perdebatan langsung dimulai, dengan pembahasan pada Pasal 6 tata tertib Munas soal penentuan peserta. Di pasal itu disebutkan bahwa peserta harus membawa surat mandat dari DPD provinsi atau kabupaten/kota masing-masing yang diputuskan dalam musyawarah daerah. Perdebatan soal peserta ini pun ramai dengan hujan interupsi karena terkait dengan hak suara pada pemilihan Ketua Umum. Perdebatan ini pun berakhir setelah tata tertib menetapkan bahwa mereka yang memiliki hak suara atau hak memilih adalah, DPP (1 suara), 33 DPD I, 494 DPD II, dan 10 ormas (masing-masing 1 suara). Dengan demikian, total suara yang diperebutkan sebanyak 538 suara.

Selain penentuan peserta Munas, pembahasan yang juga tak kalah panas adalah mekanisme terkait dengan penentuan bakal calon sampai pada pemilihan ketua umum. Pada Pasal 39 AD/ART Partai Golkar diatur bahwa bakal calon harus didukung oleh 30 persen hak suara. Sementara itu, perdebatan dipicu oleh, tidak disebutkannya secara terperinci di dalam redaksi pasal mengenai apakah pemilik suara bisa mengajukan lebih dari satu nama atau hanya harus memilih satu nama.

Informasi yang berkembang pada saat itu, sudah ada upaya penggalangan agar pemilik suara hanya bisa mengusulkan satu nama sehingga dari empat bakal calon yang ada bisa langsung dikerucutkan, bahkan bisa langsung ditetapkan menjadi ketua umum. Karena, di dalam pasal itu kemudian menyebutkan, jika ada bakal calon yang didukung lebih dari 50 persen pemilik hak suara, bakal calon itu dapat langsung ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan apabila tidak ada bakal calon yang mendapatkan dukungan lebih dari 50 persen, baru kemudian diadakan pemilihan para calon. Calon yang mendapat suara terbanyak dengan perolehan suara 50%+1 barulah ditetapkan sebagai ketua umum.

Tetapi perdebatan itu pun tak berujung lama, kondisi peserta yang mayoritas didominasi oleh pendukung Aburizal Bakrie tampaknya cukup dapat mengendalikan diri dan menguasai forum. Oleh karenanya, berbagai tawaran yang diberikan oleh pimpinan sidang tak butuh waktu lama untuk dapat sama-sama disepakati oleh para peserta. Dari berbagai perdebatan tersebut, dapat terlihat jika kondisi peserta pun sudah mengalami pembelahan sejak hari pertama Munas VIII dilangsungkan.

Tetapi ada nuansa yang terlihat agaknya kurang mengenakkan disamping perbedaan dan pembelahan pada peserta Munas VIII Partai Golkar. Atas sebab setiap kandidat melakukan klaim telah mendapatkan dukungan yang besar dari para peserta Munas, banyak pengurus daerah bermain dua kaki dan ”bermuka dua” atau banyak yang bukan pemegang mandat masing-masing membuat surat mandat sendiri sebagai pengakuan secara administratif kalau dirinya adalah pemilik suara pada Munas VIII Partai Golkar. Beberapa kali kekisruhan sempat terjadi karena keberadaan surat mandat ganda yang diberikan kepada panitia penyelenggara Munas. Tetapi semua dapat dikendalikan dengan verifikasi yang mendalam terhadap surat mandat di panitia penyelenggara.

Satu hari sebelum masuk pada agenda pemilihan Ketua Umum Partai Golkar yang akan dilakukan secara voting, 34 DPD 1 se-Indonesia maju ke podium untuk memberikan pandangan umumnya terkait dengan pelaksanaan Munas dan pembahasan beberapa agenda. Dari 34 Dewan Pimpinan Daerah (DPD I) yang hadir dalam Munas tersebut, melalui pemandangan umum yang disampaikan, 20 daerah ternyata secara terbuka menyebutkan akan mendukung Aburizal Bakrie sebagai ketua umum.

Delapan organisasi massa yang berhimpun di Golkar yakni AMPI, KPPG, MDI, Kosgoro, MKGR, HWK, Satkar Ulama dan AMPG juga secara tegas ikut pula bersepakat untuk mencalonkan Aburizal Bakrie. Sementara bagi yang tersisa, terdapat 7 DPD 1 yang secara terbuka mencalonkan Surya Paloh dan 7 DPD lainnya belum menentukan pilihan. Dari hasil pemandangan umum ini, walaupun belum secara sah ditetapkan, tetapi gambaran sementara siapa yang kelak menjadi Ketua Umum Partai Golkar telah terlihat. Minimal, pernyataan di pemandangan umum oleh DPD 1 dapat mempengaruhi secara psikologis DPD 2 yang berada di bawah naungan mereka.

Pada saat penghitungan suara, Surya Paloh masih terlihat mengikuti jalannya proses demokrasi di Partai Golkar wajah optimisnya masih begitu terlihat, namun begitu selesai penghitungan dan kemenangan jatuh ke tangan Aburizal Bakrie Surya Paloh mulai berdiri dari kursinya, ia bermaksud menepi dari riuh redam perayaan kemenangan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Aburizal Bakrie pada Munas VIII Partai Golkar berhasil mendapatkan 296 suara, sementara, pesaing terdekatnya, Surya Paloh hanya mampu meraih 240 suara atau terpaut 56 suara. Sedangkan, dua calon lainnya Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto, seperti yang telah diprediksikan berbagai kalangan sebelumnya, keberadaan mereka dianggap hanya sebagai penggembira saja, maka hasil yang didapat dari penggalangan suara DPD 1 dan DPD 2 Partai Golkar pun nihil adanya. Bereaksi atas kemenangan yang diraihnya semua pendukung Ical (panggilan akrab Aburizal Bakrie) sontak berdiri, termasuk di dalamnya adalah Akbar Tanjung.

Penetapan Aburizal sebagai ketua umum itu pun sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Tata Tertib soal mekanisme pencalonan. Di situ disebutkan bahwa calon yang maju harus didukung 30 persen suara. Jumlah pemilih dalam Munas ini sebanyak 538 suara yang terdiri dari DPD I, DPD II, DPP dan Organisasi Massa (Ormas) yang bernaung di bawah Golkar. Setiap pemilih hanya mengajukan satu calon. Dari total pemilih sebanyak 538 suara tersebut, yang ikut memilih sebanyak 537 suara karena ada satu suara tidak diperkenankan memilih karena perwakilan yang dikirim ke sana dianggap tidak sah.

Dari jumlah 537 itu satu suara dianggap tidak sah pada proses pemilihan. Jadi jumlah suara yang dihitung sebanyak 536 suara. Jumlah 50 persen plus satu dari jumlah itu adalah 269 suara. Dan suara Aburizal Bakrie pun jauh melampaui ketetapan tersebut, yakni 296 suara. Setelah Aburizal dipastikan keluar sebagai pemenang, suasana Ballroom Hotel Labersa terlihat meriah oleh berbagai tepukan dan ekspresi kegembiraan dari para pendukung Aburizal Bakrie. Pendukung Aburizal yang terlihat di ruangan itu antara lain Akbar Tanjung, Agung Laksono, Theo Sambuaga dan beberapa petinggi Golkar lainnya. Di sela kondisi riuh redam perayaan kemenangan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum, Surya Paloh “menghilang” dari riuhnya kemenangan Ical.

Dalam pidato kemenangannya, Aburizal Bakrie menyampaikan posisi penting Partai Golkar di era reformasi. Pidato kemenangan ini sekaligus memberikan arti penting kepemimpinan dan harapan baru yang diejawantahkan oleh Aburizal Bakrie kepada Partai Golkar. Melalui figurnya, Partai Golkar menatap optimis masa depan dalam mengarungi kancah perpolitikan tanah air. Aburizal Bakrie pun saat itu dianggap sebagai formulasi terbaik dan jalan tengah dari desakan kader terhadap reformasi struktural di tubuh Partai Golkar.

“Saya tidak akan pernah berhenti untuk menegaskan bahwa Partai Golkar adalah partai kekaryaan yang ingin memberi bukti konkret dalam pembangunan kesejahteraan buat semua. Saya juga akan terus menekankan bahwa partai kita adalah pengawal terdepan kebhinekaan dan semangat toleransi dari negeri yang kita cintai ini. Golkar bukanlah alat politik orang per orang, bukan pula kendaraan sekelompok kepentingan. Partai Golkar adalah alatnya Indonesia, kendaraan politik seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita bersama menjadi sebuah negeri yang membanggakan kita semua!” seru Aburizal Bakrie dengan semangat yang menggebu saat menyampaikan hal ini dalam pidato kemenangannya.

Sumber: