DPP  

78 Tahun Aburizal Bakrie – Munas dan Pertaruhan Masa Depan (XVII)

Berita GolkarMasa depan haruslah dibentuk sejak hari ini. Hari ini adalah hasil pembentukan upaya kemarin hari. Segalanya saling terkait dan mengait. Sukses sebagai seorang pengusaha dan menjadi triliuner di usia muda tampaknya tidak menjamin perjalanan hidup Aburizal Bakrie begitu mulus pada bidang lainnya. Dalam menjalani karir politik misalnya, hingga usia senja, Aburizal Bakrie masih harus belajar banyak hal. Salah satunya menerima kenyataan bahwa kehendak manusia tidak dapat memenuhi semua hal yang diinginkan.

Sejak awal, posisi politik Aburizal Bakrie memang sulit. Daya tarik kebesaran sejarah dan perolehan suara Partai Golkar di Pemilu 2014 nyatanya tidak otomatis membuat figur Capres yang bakal diusung partai ini bisa melenggang dengan mudah. Aburizal Bakrie harus pertaruhkan masa depan partai dan harga dirinya sebagai seorang pribadi untuk bisa menempatkan Partai Golkar dalam posisi terbaik.

Posisi terbaik itu datang dari Prabowo Subianto kemudian. Tidak dalam posisi sebagai orang nomor 2, Aburizal Bakrie harus terima kenyataan bahwa ia berada di nomor tiga. Biayanya juga cukup mahal, menaruh dukungan Partai Golkar kepada pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Tentu tidak mudah bagi Aburizal Bakrie untuk menaruh sauh kapal bersama pasangan ini. Bagaimanapun ceritanya, Prabowo Subianto adalah mantan kader Partai Golkar, mereka pernah bertarung bersama-sama dalam konvensi Capres di tahun 2004 dan sekarang, Prabowo harus berada di atasnya. Tetapi demi bangsa dan negara, Aburizal Bakrie meminggirkan masa lalu. Ia mencoba menggapai posisi terbaik yang bisa diterima Partai Golkar di masa depan.

Tapi pilihannya itu berujung pada pesakitan. Prabowo Subianto – Hatta Rajasa harus kalah di balik bilik suara dari pasangan Jokowi – JK. Sorak sorai kemenangan Jokowi – JK terdengar amat sumbang di telinga Aburizal Bakrie. Ia membayangkan bahwa posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar sangat berisiko. Sebelum pemilihan saja sudah banyak suara yang menyebut langkah politiknya salah karena telah berada di sisi Prabowo Subianto hingga banyak kader yang menyeberang. Aburizal Bakrie bahkan harus mengeluarkan sikap tegas terhadap tiga kader yang kemudian dipecat dari keanggotaan sebagai kader Partai Golkar. Aburizal Bakrie tidak memiliki pilihan lain, ia harus terima pukulan balik dari para kader yang pernah terpinggirkan saat Pilpres 2014.

Dan memang benar, konflik berlanjut pasca Pilpres, kali ini pertarungan terlokalisir hanya ke dalam gugusan internal Partai Golkar tanpa melibatkan pihak luar lagi (terlihatnya). Sisa-sisa kekalahan saat mengikuti gelaran Pemilu 2014 kemarin masih menggelayuti sebagian besar kader dan simpatisan Partai Golkar, tetapi sebagian lagi mampu membaca situasi dan mengambil start lebih awal untuk merapatkan diri pada pihak yang menang dan berkuasa.

Di bawah komando JK, pihak yang menang bersorak dan mulai menyoraki pihak yang kalah agar segera pertanggung jawabkan kekalahannya akibat salah dalam bersikap. Hal ini tentu mengingatkan kita pada pengulangan peristiwa saat SBY-JK mengalahkan figur Wiranto-Salahuddin Wahid dalam gelaran Pilpres 2004. Jelas ini adalah pengulangan sejarah yang menyakitkan bagi Partai Golkar. Bibit-bibit perpecahan pun mulai muncul ketika Aburizal Bakrie dalam momentum kekalahan justru bersikap bahwa Partai Golkar tetap solid di bawah satu komando KMP. Sikap tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa Aburizal Bakrie menempatkan Partai Golkar sebagai partai oposisi.

Dikutip dari pemberitaan merdeka.com yang berjudul, ‘Macam-Macam Alasan Elite Golkar Tak Bisa Jauh Dari Kekuasaan’ pada 1 Februari 2016, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad mengatakan, Akbar Tandjung dan Aburizal Bakrie (Ical) menyampaikan dengan tegas bahwa Golkar siap menjadi oposisi jika Jokowi-Jusuf Kalla memimpin negeri ini. “Ya saya dengar siap (oposisi). Waktu kami Shalat Idul Fitri di kantor DPP Partai Golkar, mereka berdua mengeluarkan statement siap beroposisi,” tegas Fadel di kediamannya, Jalan Patra Kuningan, Jakarta Selatan.

Tetapi belakangan Aburizal Bakrie berbalik badan dari KMP, ia menyadari telah salah jalan dalam menentukan sikap partai. Aburizal bakrie menyebut partainya tidak terlahir untuk menjadi oposisi. Golkar begitu dekat kekuasaan sehingga memutuskan berbalik arah mendukung pemerintahan Presiden Jokowi. “Keahlian kita pengelolaan kekuasaan bukan pada perlawanan kekuasaan. Golkar adalah partai karya kekuatan positif, peningkatan kesejahteraan rakyat,” ujar Aburizal Bakrie bersumber pada kutipan pemberitaan yang sama.

Segala pembalikan sikap yang ditunjukkan tidak hanya Aburizal Bakrie, tetapi mayoritas elit Partai Golkar tentu bukan tanpa sebab. Ada faktor daya tarik dan daya dorong yang membuat sikap elit Partai Golkar terhadap Pemerintahan Jokowi-JK berubah. Pertama adalah desakan kader yang menginginkan Partai Golkar untuk melepaskan diri dari KMP dan mulai menjajaki kemungkinan untuk berkoalisi dengan Jokowi-JK. Kedua, adalah desakkan mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar yang juga datang dari kader, apabila Aburizal Bakrie ngotot mempertahankan sikap untuk berada di bawah KMP.

Menjelang Munas (Musyawarah Nasional) suara tersebut makin nyaring terdengar, makin sering berbising. Terdapat kembali perbedaan pendapat soal Munas, mengenai jadwal dan waktu Munas. Melibatkan kubu-kubu yang juga berlawanan sejak Pilpres 2014 lalu. Kali ini dapat teridentifikasi ada 2 kubu yang berlawanan soal Munas. Yakni, kubu Ketua Umum Aburizal Bakrie dan kubu Wakil Ketua Umum Agung Laksono.

Dasar dari konflik ini adalah perdebatan soal pasal 30 ayat 2a pada Anggaran Dasar partai Golkar, yang menyebutkan bahwa: Musyawarah Nasional adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. Mengingat Munas Riau 2009 berakhir pada tanggal 8 Oktober 2009, maka Munas Partai Golkar selanjutnya seharusnya diadakan selambat-lambatnya tanggal 8 Oktober 2014. Meskipun ada hasil rekomendasi Munas sebelumnya yaitu, Munas Riau yang menyatakan bahwa masa kepengurusan bisa atau akan diperpanjang sampai tahun 2015.

Masalah lainnya juga masih terus ada dan berlanjut, kali ini terjadi dalam lingkaran pengurus DPP Partai Golkar secara struktural. Para Pengurus DPP yang nyatanya mencoba mempertahankan biduk kekuasaan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar untuk kedua kalinya, telah mencuatkan stimulus konflik kembali timbul. Masalah semakin rumit ketika kandidat-kandidat Calon Ketua Umum Partai Golkar untuk Munas ke IX di luar Aburizal Bakrie dibatasi langkahnya. Bahkan atas nama alibi revitalisasi kepengurusan, sejumlah Ketua Partai Golkar di DPD 1 dan 2 digeser atau dicopot dari jabatan. Saat konflik Pra Munas ini terjadi, Partai Golkar masih berada satu barisan dengan KMP yang menyatakan diri sebagai oposisi pemerintahan Jokowi-JK.

Kemudian untuk mencari jalan keluar dari masalah-masalah tersebut diadakanlah Rapat Pleno pertama yang menetapkan agar Rapimnas VII Partai Golkar sama sekali tidak membahas agenda Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu aktual. Namun ketika saatnya tiba, penyelenggaraan Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta ternyata diramaikan dengan pelanggaran keputusan yang sudah ditetapkan pada Rapat Pleno, yakni dibahasnya agenda Munas yang diinisiasi oleh Aburizal Bakrie dan beberapa pengurus DPP lainnya sebagai penyelenggara Rapimnas VII Partai Golkar. Akhirnya melalui Rapimnas VII Partai Golkar disepakati lah keputusan bahwa Munas IX Partai Golkar akan dilaksanakan pada tanggal 30 November-2 Desember 2014.

Setelah Rapimnas VII di Yogyakarta rampung dilaksanakan, Rapat pleno digelar kembali di Kantor DPP Partai Golkar, guna mengesahkan rancangan materi Munas. Namun agenda rapat hari itu dikagetkan dengan kedatangan puluhan kader AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) yang memaksa masuk ruang rapat pleno, sambil berteriak mencari keberadaan Nurdin Halid yang kala itu menjadi pimpinan Rapat Pleno.

Nurdin Halid menjadi sosok yang dicari karena saat melakukan pembahasan agenda Munas, dirinya terkesan tidak demokratis sehingga mengecewakan sebagian pihak, termasuk dari AMPG. Pasukan AMPG dibawah naungan Yorrys Raweyai ini disinyalir akan memicu terjadinya konflik secara terbuka sehingga membuat rapat pleno gagal dilaksanakan.

Acara yang dirancang untuk mendengarkan paparan SC (Steering Committee) dengan Ketua SC Munas, Nurdin Halid disambung kemudian dengan melakukan pengesahan draft Munas Partai Golkar pada masing-masing komisi pun gagal. Pimpinan sidang kala itu Ketua Umum Aburizal Bakrie, Sekjen Idrus Marham dan Ketua SC Nurdin Halid meninggalkan forum tanpa menghasilkan satu keputusan pun. Hal ini membuat Agung Laksono sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar mengambil alih pimpinan Rapat Pleno.

Lantas ditetapkan pada sidang tersebut pembentukan Presidium Penyelamat Partai Golkar yang beranggotakan Priyo Budi Santoso, Hajriyanto Y Thohari, Zainudin Amali, Agus Gumiwang Kartasasmita, Lauren Siburian, Yorris Raweyai, Agun Gunanjar Sudarsa dan Ibnu Munzir dengan Agung Laksono sebagai ketuanya. Pembentukan Presidium Penyelamat Partai Golkar itu dianggap sebagai sebuah langkah taktis guna menyelamatkan Partai Golkar dari kegagalan menyelenggarakan Munas. Karena pembahasan mengenai agenda Munas IX yang sebelumnya dilakukan oleh Aburizal Bakrie, Idrus Marham serta Nurdin Halid tidak tuntas.

Sidang pleno di bawah pimpinan sidang Agung Laksono kali ini sebagai Ketua Presidium Penyelamat Partai Golkar pun menuntaskan apa yang tidak pernah ditetapkan oleh Aburizal Bakrie sewaktu memimpin Rapat Pleno. Mereka (Presidium Penyelamat Partai Golkar) kemudian memutuskan menyelenggarakan Munas selambatnya pada Januari 2015 di Jakarta, merehabilitasi hak keanggotaan kader yang telah dipecat seperti Poempida Hidayatullah, Agus Gumiwang dan Nusron Wahid serta melakukan pemecatan terhadap Ketua Umum, Aburizal Bakrie dan Idrus Marham sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) karena dianggap tidak mampu melanjutkan Rapat Pleno tersebut hingga selesai sebagai syarat legal untuk melaksanakan Munas.

Sementara itu, Aburizal Bakrie sudah pergi menjauh dari Kantor DPP Partai Golkar. Ia berkilah, apapun yang dilakukan Agung Laksono saat itu tidak sah secara konstitusional. Karenanya, Aburizal Bakrie membiarkan presidium penyelamat Partai Golkar melakukan apapun yang mereka suka. Dan memang tidak ada dasarnya baik AD/ART atau apapun yang menyebut soal Presidium Penyelamat Partai Golkar. Hingga jika forum itu terbentuk dan menghasilkan keputusan, maka tidak sah secara hukum.

Buktinya saja, meski dalam status pemecatan yang dilakukan oleh Dewan atau Presidium Penyelamat Partai Golkar dibawah komando Agung Laksono dan kawan-kawan, Ketua Umum Aburizal Bakrie beserta Sekjen Idrus Marham tetap melaksanakan Munas Partai Golkar di Bali pada tanggal 30 November-2 Desember 2014.

Pada Munas IX Partai Golkar di Bali tersebut suasana panas ketegangan tampak pada raut wajah dan ekspresi peserta Munas, menurut saut suara dari dalam area Munas, telah terjadi pengkondisian yang mengarah kepada intimidasi agar Munas IX Partai Golkar memilih ketua umum secara aklamasi. Artinya jika menghasilkan keputusan, Munas IX Partai Golkar ini jauh dari kata demokratis. Tetapi nyatanya tidak benar. Munas IX Partai Golkar di Bali itu berjalan seperti biasa. Bahkan tidak hanya Aburizal Bakrie yang mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar, tetapi ada pula dua calon lainnya yang ikut maju mencoba melawan Aburizal Bakrie pada forum Munas.

Hingga masa pendaftaran calon ketua umum berakhir, terdapat 3 calon yang mendaftarkan diri pada Munas IX Partai Golkar, yakni Ketua Umum incumbent Aburizal Bakrie, Tokoh senior Golkar M.S. Hidayat dan terakhir tokoh muda Airlangga Hartarto. Airlangga mulanya termasuk dalam tujuh calon ketua umum yang siap bersaing di arena Munas IX Partai Golkar.

Namun, di saat beberapa calon ketua umum lain kompak membentuk Presidium Penyelamat Partai Golkar sebagai bentuk kekecewaan terhadap Aburizal Bakrie dan kawan-kawan, Airlangga memilih jalan sendiri untuk tetap mengikuti Munas Bali yang diadakan DPP Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie. Dirinya pun sempat tercatat sebagai pesaing tunggal Aburizal Bakrie lantaran MS Hidayat yang juga ikut Munas Bali menarik diri dari pencalonan dan mengalihkan dukungan kepada Aburizal Bakrie.

Dari sini kita dapat melihat bahwa sosok seorang Airlangga Hartarto adalah pribadi yang mengerti hukum dan taat terhadap azas Partai Golkar. Tentu ia bisa menilai bahwa secara konstitusional, Munas IX Partai Golkar yang diselenggarakan oleh Aburizal Bakrie ini memenuhi segala syarat yang telah ditetapkan AD/ART Partai Golkar.

Tetapi, pada saat terakhir sebelum pembacaan pemandangan umum, Airlangga Hartarto akhirnya juga memilih mengundurkan diri karena melihat pelaksanaan Munas IX di Bali yang kurang bisa mengakomodir dirinya sebagai kandidat calon ketua umum. Sedikit banyak Airlangga Hartarto merasa ada kesalahan penafsiran beberapa aturan yang dibuat oleh penyelenggara Munas.

Pada kesempatan tersebut, Airlangga menyoroti secara khusus menyoroti soal mekanisme tata tertib atau Tatib Munas ke IX Partai Golkar yang mengharuskan dukungan melalui surat terbaru. Menurutnya, surat-menyurat bukan indikator utama dalam pemilihan ketua umum. Masih menurut Airlangga, pemilihan ketua umum di tubuh Partai Golkar selama ini dilakukan dengan cara voting tertutup, tidak melalui mekanisme pemandangan umum. Akhirnya, Munas IX Partai Golkar yang diselenggarakan di Bali ini pun menetapkan Aburizal Bakrie terpilih kembali untuk periode 2014-2019 secara aklamasi.

Berselang beberapa hari dari Munas Bali usai yang melahirkan keputusan Aburizal Bakrie terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Golkar dengan aklamasi, kubu Presidium Penyelamat Partai Golkar mengadakan Munas yang sama di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014 dan memilih Agung Laksono sebagai Ketua Umum. Perselisihan yang awal mulanya hanya menimbulkan terbentuknya dua kubu dalam satu struktur kepengurusan kini bahkan secara terang-terangan terbentuk dua struktur kepengurusan baru yang kemudian didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM pada hari yang sama yakni 8 Desember 2014.

Konflik masih terus berlanjut ketika kedua belah pihak saling menggugat menuntut keabsahan secara legal formal atas penyelenggaraan Munas Partai Golkar yang diselenggarakan baik itu di Ancol maupun Bali.

Pada tanggal 5 Januari 2015 pihak dari Agung Laksono menggugat Munas Bali yang dilaksanakan oleh kubu Aburizal Bakrie ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan bahwa masalah seharusnya bisa diselesaikan di internal partai sehingga tidak perlu lagi dibawa ke pengadilan. Satu minggu kemudian, yakni pada tanggal 12 Januari 2015 kubu dari Aburizal Bakrie menggugat Munas Ancol yang dilaksanakan oleh kubu Agung Laksono ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat namun gugatan tersebut juga ditolak dengan alasan yang sama, perselisihan harusnya bisa diselesaikan secara internal.

Aksi saling menggugat terus berlanjut di antara kedua kubu. Pada tanggal 10 Maret 2015 Munas Ancol yang dilaksanakan kubu Agung Laksono ternyata disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dan pada tanggal 17 Maret 2015, Ketua Mahkamah Partai Golkar, Prof. Muladi juga menerima pengesahan tersebut. Alhasil kepengurusan sah secara de jure dan de facto dimiliki oleh kubu Agung Laksono yang melaksanakan Munas di Ancol.

Jatuhnya pengesahan kepada kubu Agung Laksono sebagai DPP yang sah oleh Menkumham bisa dianggap adalah sebuah kesewenangan dari penyalahgunaan kekuasaan saat itu. Tentu upaya kubu Agung Laksono untuk dapat disahkan oleh Menkumham patut diapresiasi, tetapi jika jalannya adalah pemerintah melalui Kemenkumham turut melakukan intervensi hukum, maka ini adalah sebuah praktik yang salah.

Namun keputusan tersebut tak dapat diterima begitu saja oleh kubu Aburizal Bakrie, sehingga melayangkan surat gugatan terkait keputusan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH-01.AH.11.01 tahun 2015 yang mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dan hasilnya pada tanggal 18 Mei 2015, PTUN mengabulkan sebagian gugatan Aburizal Bakrie.

Gugatan yang dikabulkan adalah mengenai pembatalan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang AD/ART Partai Golkar dan mewajibkan tergugat intervensi yakni Agung Laksono untuk mencabut SK Menkumham tersebut. Setelah muncul keputusan tersebut, kubu Agung Laksono mengajukan banding karena merasa ada beberapa hal yang ganjil terhadap putusan tersebut.

Kesepakatan tak tercapai dalam silang sengketa gugatan, tak ada kubu yang benar-benar ingin mengalah guna tercapainya kemaslahatan bersama. Kedua kubu baik kubu Aburizal Bakrie maupun Agung Laksono merasa telah membuat langkah yang benar dengan berpegang teguh pada aturan partai yang berlaku dalam hal ini AD/ART.

Namun beda pandangan dan tafsir terhadap ketentuan hukum positif dan AD/ART menjadi pembatas yang jauh terpisah oleh pandangan dari masing-masing kubu. Inilah perspektif kebenaran, nisbi dan subjektif. Apalagi jika berbicara rebut merebut kekuasaan, rasa perkawanan, nilai-nilai kebaikan dan falsafah kehidupan lenyap entah kemana.

Guna meretas konflik yang tak berkesudahan ini, Jusuf Kalla akhirnya turun tangan dan berinisiatif untuk melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik dengan melakukan islah serta moratorium konflik. Hal ini dilakukan agar Partai Golkar tidak terjerembab lebih dalam lagi pada kekalahan, terutama ketika menghadapi Pilkada serentak 2015, konflik dualisme kepengurusan itu secara otomatis akan berdampak pada Partai Golkar yang terancam tak dapat ikut serta dalam Pilkada 2015.

Merunut pada tuntutan daerah jika Partai Golkar haruslah ikut dalam Pilkada 2015. Muncullah kesepakatan sementara yang menggariskan, dibentuknya tim penjaringan bersama antara kedua DPP baik kubu Aburizal Bakrie maupun kubu Agung Laksono. Tim penjaringan ini akan bekerja untuk menetapkan calon-calon kepala daerah di setiap daerah pemilihan. Apabila ada daerah yang berbeda ketetapan calonnya dari masing-masing pihak dan tidak bisa disatukan dalam musyawarah maka ditetapkan dengan menggunakan metode survey atau cara demokratis lain agar dapat disetujui bersama. Dan calon yang paling tinggi suaranya menjadi calon yang otomatis disetujui.

Jalan islah dan damai masih terus diupayakan oleh kedua kubu dengan berbagai solusi konkret yang ditawarkan berbagai pihak, tanpa ada yang harus merasa dikalahkan ataupun disingkirkan. Pada tanggal 15 Januari 2016 Mahkamah Partai Golkar memutuskan membentuk tim transisi Partai Golkar sebagai jalan tengah dari solusi konflik. Tim transisi ini terdiri dari BJ. Habibie selaku pelindung, sementara Jusuf Kalla berperan sebagai ketua, adapun anggota-anggotanya yakni, Ginanjar Kartasasmita, Emil Salim, Abdul Latief, Siswono Yudhohusodo, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Theo Sambuaga dan Sumarsono. Pertemuan lantas diadakan di kediaman BJ. Habibie pada tanggal 22 Januari 2016 guna membicarakan lebih lanjut jalan damai yang akan ditempuh oleh Partai Golkar.

Pada tanggal 24 Januari 2016 diadakanlah Rapimnas yang dihadiri oleh kedua kubu yang berkonflik. Pada Rapimnas kali ini disepakati keputusan bahwa Munaslub harus dilaksanakan sebagai solusi untuk mengakhiri konflik. Namun pada tanggal 2 Maret 2016 MA (Mahkamah Agung) mengesahkan gugatan Aburizal Bakrie dan menolak kasasi kubu Agung Laksono. Hal ini sekaligus menegaskan jika kubu Aburizal Bakrie yang telah melaksanakan Munas Bali 2014 silam sebagai pihak yang benar karena telah memiliki keputusan hukum tetap juga mengikat.

Namun, kedewasaan politik Aburizal Bakrie juga yang akhirnya tidak memperuncing masalah, Aburizal Bakrie tetap melaksanakan poin-poin islah dan jalan damai yang telah ditetapkan sebelumnya oleh tim transisi. Munaslub tetap akan digelar guna mengakomodir seluruh keinginan dari elite, kader maupun simpatisan Golkar. Ia mengalah untuk menang, demi masa depan partai, tidak ada lagi hal yang hendak ia pegang erat-erat kecuali melihat bendera kuning Partai Golkar berkibar di sudut negeri.

Dari persoalan silang sengkarut gugatan hukum dan pertarungan politik ini kita bisa melihat kedewasaan dan kenegarawanan Aburizal Bakrie juga Agung Laksono. Dua orang yang telah sangat berpengalaman dalam berpolitik itu kini mencoba saling bergandeng tangan, tangan keduanya semakin erat jika berbicara mengenai masa depan Partai Golkar.

Kini kader Partai Golkar di seluruh Indonesia tidaklah perlu risau lagi mengenai masa depan partai dan karir politik yang telah mereka bangun. Berkat kebesaran jiwa seorang Aburizal Bakrie yang memilih tetap mengadakan Munaslub meskipun sudah mengantongi keabsahan penyelenggaraan Munas Bali, hari ini Partai Golkar masih kokoh berdiri. Tak perlu lagi ada pertaruhan masa depan, yang perlu dilakukan adalah membangun soliditas sebagai kunci dari kekuatan.

Sumber: