Berita Golkar – Sepekan setelah Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum Partai Golkar, tepatnya pada 20 Oktober 2009 seketika itu pula dirinya kemudian memproklamirkan kebijakan partai yang mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Terkait dengan keputusan tersebut, Aburizal Bakrie menjelaskan bahwa keputusan itu diambil karena adanya kesamaan pandangan dan platform antara Partai Golkar dengan Susilo Bambang Yudhoyono terkait upaya mensejahterakan rakyat.
Dalam kesempatan itu Ia pun menyatakan meskipun berada dalam koalisi pemerintahan, Partai Golkar akan tetap mengambil posisi strategis untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah. Partai Golkar pun, sesuai dengan apa yang disampaikannya, menegaskan diri untuk tetap menjadi partai yang mandiri, dalam pengertian tidak akan tergantung pada pemerintah dalam mengambil sikap. Namun sikap kritis Partai Golkar tetap dilakukan dengan memberikan solusi alternatif dan dibicarakan semua koalisi.
Pilihan Aburizal Bakrie ini berdasar, sebab merunut pada apa yang disampaikannya dalam forum Munas Partai Golkar sebagai partai kekaryaan haruslah mengawal pembangunan bangsa Indonesia, entah siapapun pemimpinnya. Posisi ini membuat Partai Golkar akan selalu berada di sisi pemerintahan siapapun yang memegang tampuk kuasa. Semisal saat ini (Red- Periode Tahun 2019-2024), meskipun PDIP yang dirasa adalah rival politik dari Partai Golkar yang memegang kekuasaan, di bawah komando kepemimpinan Airlangga Hartarto, partai beringin tetap berada di dalam pemerintahan Presiden Jokowi.
Pun dengan Aburizal Bakrie kala memimpin Partai Golkar di periode 2009-2016. Meski saat itu Jusuf Kalla adalah kompetitor politik SBY pada periode keduanya, dengan jentikkan jari, arah perpolitikan pun berubah. Aburizal Bakrie mengambil alih komando dan mulai mengarahkan agar Partai Golkar menjadi partai koalisi pemerintahan SBY-Boediono.
Komunikasi yang terbangun antara Aburizal Bakrie dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun cukup baik. Partai Golkar mendapat tiga pos menteri di era ini, yakni Agung Laksono yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), lalu M.S. Hidayat yang menjabat sebagai Menteri Perindustrian (Menperin) dan Syarif Tjitjip Soetardjo di pos Menteri Kelautan. Diwujudkannya tiga pos menteri ini menjadi prestasi tersendiri dari komunikasi politik yang dibangun Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Kita tentu bisa membayangkan betapa resistensinya posisi Partai Golkar di hadapan para partai koalisi yang memenangkan SBY-Boediono seperti PAN, PKS dan PKB, termasuk Partai Demokrat yang menjadi partai pengusung utama. Alasannya karena Partai Golkar tidak berkeringat dalam memenangkan SBY-Boediono. Keberadaan Partai Golkar di Pemilu 2009 yang mengusung pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto justru menjadi kompetitor politik bagi SBY-Boediono. Sementara berkat komunikasi politiknya yang efektif, pada akhirnya Partai Golkar bisa diterima keberadaannya di dalam koalisi.
Bagi Presiden SBY, Aburizal Bakrie bukan figur yang baru dikenalnya kemarin sore. SBY sudah cukup lama mengenal Aburizal Bakrie, terlebih pada periode pertama kepemimpinannya saat SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie menempati pos menteri strategis dari Partai Golkar. Aburizal Bakrie menjabat sebagai Menko Kesra dan Menko Perekonomian RI di satu masa jabatan SBY.
SBY begitu mempercayai figur Aburizal Bakrie atas sepak terjang dan kapasitasnya di bidang perekonomian. Penempatan Aburizal Bakrie sebagai menteri sedikit banyak memang karena rekomendasi Partai Golkar. Tetapi andai pun Partai Golkar tidak memberikan rekomendasi, Aburizal Bakrie pasti mendapatkan posisi strategis di pemerintahan SBY.
Walaupun menjadi orang kepercayaan SBY di bidang perekonomian, Aburizal Bakrie sebenarnya tidak pernah terpikir sama sekali menempati jabatan publik sebagai seorang menteri. Ia terkadang berkelakar bahwa tidak ingin menjadi menteri karena sang istri, “Ibu Tatty Murnitriati tidak suka jika harus bersanggul,” begitu kelakar Ical dengan jenakanya.
Sanggul memang menjadi pembeda bagi para perempuan yang berada di level atas ekonomi. Dengan menggunakan sanggul, seorang istri pejabat atau perempuan yang menempati jabatan publik akan menunjukkan keanggunan dan kemuliaannya. Tatty Murnitriati yang sedari dulu tidak terbiasa tampil formal agaknya keberatan jika sang suami, Aburizal Bakrie menjadi pejabat publik dan menuntut dirinya untuk berpakaian resmi ala ibu-ibu pejabat.
Tetapi tentu orang-orang tidak bisa mempercayai begitu saja, apalagi Aburizal Bakrie mengatakan itu dalam konteks tidak dalam kondisi yang serius. Dalam berbagai kesempatan, Aburizal Bakrie seringkali ditanyakan mengenai ambisinya masuk kabinet, menyusul teman-temannya di HIPMI seperti A. Latief yang menjadi Menteri Tenaga Kerja di Kabinet Pembangunan VI dan Siswono Yudohusodo yang sudah menjabat sebagai Menteri sejak Kabinet Pembangunan Kelima.
Kalau Aburizal Bakrie tidak bisa secara eksplisit mengungkapkan apakah ia betul-betul tidak berambisi sebagai menteri, lain halnya dengan Tatty Murnitriati. Ia justru mengerti mengapa Aburizal Bakrie tidak hendak menerima jika ada tawaran sebagai menteri masuk padanya. “Rasanya Ical tidak akan bahagia bila duduk di Kabinet. Dia orang bebas, independen, kreatif, dinamis, sehingga apabila terbelenggu oleh birokrasi dia tidak akan bahagia karena tidak dapat melaksanakan gagasan-gagasannya,” tutur Ibu Tatty Murnitriati.
Pada akhirnya, Aburizal Bakrie tidak bisa menghindari takdir. Tidak baik rasanya menolak permintaan SBY langsung dan Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Jusuf Kalla yang memintanya menempati salah satu pos menteri bidang ekonomi. Apalagi ini soal panggilan pengabdian terhadap rakyat. Sang ayah, Achmad Bakrie sejak dulu selalu mewanti-wanti Aburizal Bakrie, untuk mendahulukan kepentingan rakyat banyak dibanding kepentingan dirinya sendiri.
Demi menghindari adanya peluang penyalahgunaan wewenang atas jabatan publik dirinya sebagai menteri, beberapa waktu sebelum Aburizal Bakrie dilantik sebagai menteri ia mengorbankan jabatannya sebagai pimpinan PT. Bakrie & Brothers. Jabatannya sebagai Direktur Utama Bakrie & Brothers kemudian dilimpahkan kepada sang adik, Nirwan Bakrie.
Dalam persoalan mengundurkan diri sebagai pimpinan Bakrie & Brothers dan segala yang menyangkut mengenai bisnis keluarga, Aburizal Bakrie menunjukkan sikap ksatria dan negarawan. Ia mengorbankan hal pribadinya untuk sesuatu yang dianggapnya bisa menjadi kiprah terbesarnya dalam kehidupan, yakni sebagai menteri. Dengan pengunduran dirinya sebagai pimpinan Bakrie & Brothers, jelas Aburizal Bakrie rela kehilangan pendapatan milyaran bahkan triliunan rupiah per bulannya. Ia lebih memilih jabatan menteri negara yang pendapatannya tidak lebih dari 40 jutaan per bulan. Namun, bukan hal material yang dilihat Aburizal Bakrie hingga ia menerima tawaran SBY, tetapi keinginan untuk memberikan akal, pikiran dan hatinya untuk nusa bangsa.
Aburizal Bakrie mengakui bahwa meskipun ia melepaskan segala posisinya pada Bakrie & Brothers, Aburizal Bakrie tidak menafikan bahwa dalam keluarga besar dirinya sebagai anak tertua masih sering memberi nasehat dan pertimbangan. Namun Aburizal Bakrie tidak memiliki hak veto terhadap keputusan yang dibuat oleh keluarganya. Ini merupakan implikasi logis dari pilihan Aburizal Bakrie mengambil peran sebagai menteri. Saudara-saudaranya pun mafhum dengan keputusan Aburizal Bakrie. Mereka mengenal Aburizal Bakrie sejak kecil, meskipun Ical adalah sosok yang menghendaki kebebasan dalam dirinya, tetapi untuk rakyat Indonesia, Aburizal Bakrie bisa melakukan apapun.
Ia harus menegaskan posisinya di Bakrie & Brothers seperti itu setelah banyak sorotan publik yang diarahkan kepadanya terkait posisi sebagai menteri sekaligus pengusaha. Sebab publik menilai tidak etis rasanya menjadi seorang pejabat publik sekaligus aktif sebagai pebisnis. Alasannya rawan konflik kepentingan dan bisa saja mengambil keuntungan terhadap kebijakan yang dikeluarkannya.
Aburizal Bakrie pun menegaskan, baik sebagai Menko Perekonomian maupun Menko Kesra dirinya tidak pernah membuat peraturan yang menguntungkan usaha Bakrie. “Tidak ada satu pun tindakan dan kebijakan pemerintah yang secara sengaja saya buat untuk menguntungkan bisnis keluarga saya,” katanya.
Ia juga mengatakan selalu menjaga batas antara apa yang pantas dan tidak pantas. Termasuk ketika perusahaan Bakrie menghadapi berbagai cobaan berat baik, ketika itu Bakrie & Brothers tengah mendapat cobaan kala insiden Lumpur Sidoarjo merebak. Mengenai persoalan ini, kita akan bahas di lain bagian.
Atas pemberitaan yang begitu masif dan ofensif terhadap dirinya, oleh media terkait dengan keberadaan dirinya di kabinet sekaligus posisinya sebagai pengusaha, Aburizal Bakrie berharap supaya insan pers Indonesia bisa terus berbenah diri agar dapat menjadi pilar demokrasi di Tanah Air. Hal ini juga yang patut diteladani dari seorang Aburizal Bakrie. Meskipun saat itu ia adalah pemilik media, Aburizal Bakrie tidak pernah mencari permusuhan dengan menebar berita buruk terhadap siapapun. Apalagi sampai meminta media-media miliknya melakukan serangan secara sporadis yang hanya berisi asumsi sebagai upaya menggalang opini publik.
Kembali pada masa-masa di mana Aburizal Bakrie didapuk sebagai menteri kabinet pemerintahan SBY sebagai Menko Perekonomian. Pada awalnya, penunjukannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menimbulkan kegelisahan. Aburizal Bakrie oleh banyak pengamat dan masyarakat dianggap bukan figur yang tepat menempati posisi Menko Perekonomian. Meski sudah teruji sebagai pengusaha sukses, bukan berarti Aburizal Bakrie menguasai persoalan ekonomi makro. Terlalu besar pertaruhannya bagi SBY untuk menempatkan Aburizal Bakrie di posisi tersebut.
Segera setelah menjadi bagian dari kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, Aburizal Bakrie melancarkan kebijakan baru yang pro kontra bagi publik. Kebijakan yang dimaksud adalah menaikkan harga BBM di Indonesia. Kenaikan harga BBM tersebut dimaksudkan untuk mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 3% dan sebagai gantinya memberi bantuan keuangan kepada sekitar enam juta orang.
Saat itu kenaikan harga BBM bukan semata karena Aburizal Bakrie ingin mendorong kebijakan yang ambisius terhadap penurunan jumlah kemiskinan di Indonesia. Namun, kenaikan harga BBM juga terjadi karena lompatan harga minyak dunia. Indonesia yang banyak mengimpor BBM dari luar terdampak dengan kenaikan harga minyak dunia hingga sangat membebani APBN. Jika tidak dinaikkan, maka APBN akan keropos, terkikis, dan sulit bagi pemerintahan SBY merealisasikan program-program pembangunan nasional.
Situasi yang sedemikian sulit tersebut, memaksa Aburizal Bakrie untuk segera mengambil pilihan kebijakan. Sebelumnya ia tentu berdiskusi dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan juga tim ekonominya. Baru setelah dirasa hanya dengan jalan menaikkan harga BBM ekonomi Indonesia dan APBN bisa diselamatkan, ia melapor kepada SBY. Dalam laporannya, Aburizal Bakrie meyakini bahwa pemerintah perlu meningkatkan harga BBM secara perlahan agar subsidi BBM tidak membebani APBN.
Wacana kenaikan BBM ini memancing demonstrasi besar. Isu kenaikan BBM memanglah cukup strategis bagi pangsa politik di Indonesia. Sebabnya, BBM merupakan fundamental gerak ekonomi masyarakat, mulai dari kelas ekonomi menengah ke bawah sampai tingkatan elit. Kenaikan BBM pasti juga akan memicu inflasi secara kumulatif. Masyarakat khawatir jika BBM naik, maka harga kebutuhan pokok juga naik, sementara pendapatan mereka tetap. Alhasil ekonomi lesu, pertumbuhan tertahan cenderung stagnan, dan krisis ekonomi seperti tahun 1998 bisa saja kembali terjadi. Hal itu yang disampaikan oleh para politisi, terutama mereka yang mengambil jalur oposisi menyikapi kenaikan harga BBM.
Padahal Aburizal Bakrie sudah merancang sedemikian rupa agar subsidi BBM yang dikurangi ini bisa dialihkan ke program padat karya, termasuk menanggung beban anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bagi oposisi saat itu, kebijakan BLT merupakan wujud program yang tidak mendidik dari pemerintahan SBY. Mereka berpendapat bahwa daripada memberi ikan seperti BLT, lebih baik masyarakat diberikan pancingnya. Mereka (oposisi) bahkan meminta masyarakat untuk menolak program BLT dengan cara tidak mengambil uangnya.
Ia tak mengambil pusing terkait dengan provokasi yang dilakukan oposisi serta partisan politik yang kontra terhadap kenaikan harga BBM dan kebijakan BLT. Baginya masyarakat perlu mendapat ikan secara langsung untuk meminimalisir rapuhnya ekonomi mikro di tingkat keluarga kurang mampu. Aburizal Bakrie menjelaskan bahwa program BLT adalah hak untuk masyarakat yang paling terkena dampak kenaikan BBM. Oleh karena itu, menanggapi mereka termasuk masyarakat yang menolak pemberian BLT, Aburizal Bakrie hanya mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah memaksa warga untuk menerimanya.
“Kalau orang mau dikasih BLT berupa uang Rp 300 ribu untuk 3 bulan lalu ada yang tidak mau, kita tidak bisa memaksa. Kalau hak boleh diambil, boleh nggak,” ujar dia di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta pada 22 Mei 2008.
Menyinggung penolakan yang disampaikan beberapa kepala daerah, terutama dari mereka yang berafiliasi dengan partai oposisi, Aburizal Bakrie berharap mereka tidak melarang warga untuk menerima BLT. Jika para kepala daerah ini nekat melakukan pelarangan, maka hal tersebut bisa dilihat sebagai upaya menghalangi warga mendapatkan hak-nya dan ganjarannya tentu pidana. “Bila rakyatnya ingin menerima, itu hak mereka. Tidak siapapun bisa mengatakan mereka tidak boleh menerima. Tidak boleh ada orang yang memaksa orang untuk tidak menerima,” kata Ical.
Pada Oktober 2005, setelah dua kali dinaikkan, harga BBM masih terus meningkat sebesar 126% dari harga di awal pemerintahan SBY. Lembaga penilai kebijakan publik internasional, Standard & Poor’s menganggap kenaikan tersebut diperlukan untuk mengurangi tekanan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. Kebijakan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomian saat itu dianggap tepat dan efektif. Jika BBM tidak dinaikkan saat itu, maka devisa negara akan tergerus habis, risiko besar menanti karena tidak ada yang tahu kapan harga minyak dunia akan kembali melandai.
Dalam kinerjanya sebagai Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie juga mencoba mengakhiri perseteruan antara ExxonMobil Corporation dan PT Pertamina. Kedua perusahaan tersebut berselisih mengenai pembagian keuntungan dan pengoperasian di Blok Cepu. Aburizal Bakrie berjanji bahwa pemerintahan yang baru di bawah komando SBY berkomitmen menyelesaikan masalah di Cepu dan masalah lain yang terkait dengan perusahaan internasional untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
Di tengah pertarungan Aburizal Bakrie menghadapi gejolak ekonomi global yang berdampak pada Indonesia, Presiden SBY mewacanakan reshuffle kabinet. Wacana reshuffle kabinet ini tak terlepas dari desakan publik dan stakeholder terkait kinerja para menteri di bidang ekonomi. Utamanya masyarakat berpendapat, tim ekonomi SBY kurang bisa diandalkan dalam menguar kebijakan menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Aburizal Bakrie disasar atas wacana ini, ia disebut-sebut sebagai salah satu figur yang akan direshuffle. Bukan karena ia kurang mampu menjalankan pekerjaannya, tetapi belakangan diketahui Aburizal Bakrie lebih dibutuhkan pada bidang lain.
Sebelumnya, wacana reshuffle tim ekonomi di kabinet Presiden SBY ini sempat ditentang oleh Ketua Umum partai koalisi, salah satunya PAN. Soetrisno Bachir yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PAN tidak secara utuh menentang reshuffle kabinet, ia hanya menggaris bawahi figur Aburizal Bakrie yang tidak setuju posisi Ical sebagai Menko Perekonomian direshuffle.
“Saya katakan bahwa yang ambil keputusan departemen adalah menteri teknis. Saya kasih pandangan mengenai desakan-desakan bahwa seolah-olah menteri koordinator yang bertanggung jawab. Padahal, menteri koordinator hanya menampung dari sana sini. Sedangkan yang memutuskan sesuatu adalah menteri teknis, bukan koordinator,” kata Soetrisno Bachir dikutip dari pemberitaan Detikcom berjudul ‘PAN Setuju Tim Ekonomi Diganti, Tapi Jangan Ical Dong!’ pada 22 Oktober 2005.
Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyusun kembali kabinetnya pada tahun 2005, ternyata benar, Aburizal Bakrie tidak dilempar keluar kabinet. Presiden SBY masih membutuhkan pikiran dan gagasan Aburizal Bakrie di dalam kabinet. Ia lantas diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Republik Indonesia. Terkait pergeseran jabatan dari Menko Perekonomian ke Menko Kesra, Aburizal Bakrie menganggap bahwa Presiden SBY telah secara objektif menempatkan orang yang tepat pada posisi yang benar. Baginya, pergeseran jabatan ini merupakan apresiasi yang diberikan Presiden SBY kepada kinerja dan kapasitasnya sebagai seorang menteri.
“Saya terima kasih kepada presiden, ini adalah peningkatan dari kinerja saya selama ini yang telah dikerjakan sebagai Menko Perekonomian,” kata Ical di rumah pribadinya dikutip dari pemberitaan Detikcom berjudul, ‘Ical: Menko Kesra Adalah Peningkatan Kinerja Saya’ pada 5 Desember 2005.
Menduduki posisi Menko Kesra, Aburizal Bakrie merasa berada di tempat yang tepat. Tapi lagi-lagi, ia disudutkan oleh persepsi publik yang menilainya tidak memiliki cukup empati untuk menduduki posisi ini. Memang butuh telinga yang tebal untuk duduk sebagai pejabat publik. Aburizal Bakrie paham betul, untuk menjawab tudingan seperti itu, rasanya tidak akan selesai jika hanya mengeluarkan klarifikasi, yang ada orang-orang yang tidak menyukainya justru makin jadi. Ical tak bergeming menghadapi tudingan persepsi negatif tentangnya. Dengan segala niat baik dan tekadnya, Aburizal Bakrie justru ingin menjawab fitnah yang terlontar kepadanya dengan prestasi.
Sejak awal ketika Presiden SBY mengumumkan posisi kabinet hasil reshuffle pertama kalinya, Aburizal Bakrie langsung menyiapkan ancang-ancang untuk merancang program pemberdayaan dan pembangunan ekonomi masyarakat. Tetapi sebelumnya, terlebih dahulu ia menjelaskan dalam timbang terima dengan penggantinya, Boediono, terkait apa-apa saja yang sudah dikerjakannya saat menjabat sebagai Menko Perekonomian. Seperti masalah pembangunan infrastruktur, masalah pelabuhan, dan masalah-masalah lainnya.
Aburizal Bakrie menatap visi ke depan, sebagai Menko Kesra ia akan segera melakukan perbaikan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada berbagai sektor. Utamanya yang dilihat Aburizal Bakrie selama ini adalah bidang pendidikan. Saat SBY memimpin Indonesia di periode pertama, dunia pendidikan masih meratap. Banyak gedung sekolah rusak, angka anak putus sekolah amat tinggi, rasio buta aksara pun cukup mengkhawatirkan. “Termasuk di penanggulangan kemiskinan, bagaimana harapan hidup dapat bertambah, serta jumlah kematian dapat dikurangi,” jelasnya.
Terkait masalah kesehatan, misalnya, Ical berencana membentuk pusat penelitian untuk penanganan flu burung serta penyakit menular lainnya. Sebab, saat itu sedang marak masalah flu burung yang hampir dikategorikan sebagai pandemi. Tetapi berkat koordinasinya dan Menkes, persoalan flu burung perlahan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk persoalan pendidikan, Aburizal Bakrie menekankan mengenai pentingnya peningkatan kualitas pendidik dan juga sarana prasarana institusi pendidikan. Oleh karenanya kebijakan peningkatan kesejahteraan guru menjadi perhatian serius bagi Aburizal Bakrie di saat ia menjabat sebagai Menko Kesra.
Pada Mei 2008, di tengah masa jabatannya, Aburizal Bakrie melaporkan gagasannya yang pernah dieksekusi dulu saat kenaikan harga BBM terjadi, bahwa pemerintah telah memberikan bantuan langsung tunai senilai 14,1 triliun rupiah kepada 19 juta keluarga miskin untuk membantu mereka menghadapi kenaikan harga BBM.
Saat menjabat sebagai Menko Kesra, jabatan itu membuatnya jadi rajin berkeliling ke seluruh wilayah Nusantara, terutama wilayah pelosok dan daerah-daerah terpencil, untuk memberikan bantuan dan menjumpai masyarakat yang menderita dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai menteri. Dari berbagai kunjungannya ke daerah, Aburizal Bakrie menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ternyata masih banyak rakyat yang miskin, minim pendidikan, kesehatan, air minum, listrik, dan berbagai kekurangan lainnya terutama di timur jauh Indonesia. Dia mengaku prihatin dan miris melihat kondisi tersebut.
“Saya pernah ke pegunungan di Puncak Jaya. Mungkin satu-satunya menteri dalam sejarah Republik Indonesia yang pernah ke puncak gunung tersebut adalah saya. Di sana saya melihat ada masyarakat kita yang hidup seperti di zaman batu. Ini tidak boleh ada,” ujar Aburizal Bakrie menceritakan mengenai kondisi masyarakat Indonesia di timur jauh.
Selain Puncak Jaya, Papua, Aburizal Bakrie juga pernah mengunjungi pegunungan Tangma, Tolikara, Kurima, dan Yahukimo, yang semuanya ada di Papua. Kondisi yang hampir sama di Puncak Jaya terjadi di sana. Dari kunjungan-kunjungannya inilah Aburizal Bakrie berusaha memetakan persoalan mendasar bagi rakyat Indonesia, utamanya masyarakat Papua yang seolah selama ini kehilangan sentuhan kesejahteraan dari pemerintah Indonesia.
Ia pun berpendapat bahwa pendekatan pemerintah terhadap rakyat Papua selama ini salah kaprah, hingga sebabkan banyak separatisme tumbuh subur di tanah Papua. Bukannya menghadirkan kesejahteraan, Papua malah dibatasi oleh status darurat keamanan. Aburizal Bakrie menyesalkan hal ini.
Kemudian dia pernah pula mengunjungi wilayah-wilayah terpencil di NTT, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi. Hal serupa juga hampir terjadi di sana, yakni air bersih, kesehatan, listrik, jalan raya, dan jembatan, praktis tidak tersedia. Maka, dia membantu masyarakat yang masih terbelakang tersebut. Caranya adalah dengan merumuskan program-program pro rakyat seperti kepastian penyediaan air bersih untuk warga masyarakat, jaminan kesehatan gratis, PNPM Desa Mandiri sebagai upaya meningkatkan infrastruktur pedesaan, program KUR (Kredit Usaha Rakyat) sebagai bagian dari pemberian stimulus pinjaman lunak dari pemerintah kepada para pegiat usaha setingkat UMKM dan program lainnya.
Tak hanya itu, sebagai menko kesra, Aburizal Bakrie juga harus menangani para penderita AIDS. Dia menemukan bagaimana ribuan, bahkan jutaan, penderita AIDS yang tidak tertangani baik dan berakhir dengan kematian. Ia merasa prihatin dengan banyaknya kasus AIDS yang terjadi di Indonesia. Karena hingga detik ini AIDS belum ada obatnya, ia hanya bisa mengupayakan agar tidak terjadi penambahan penderita AIDS di Indonesia.
Dari perjalanannya ke berbagai penjuru Tanah Air, dan perjumpaannya dengan masyarakat, terutama rakyat golongan menengah ke bawah, Aburizal Bakrie melihat ada kerinduan seperti saat zaman Presiden Soeharto berkuasa. “Masyarakat ingin ketenangan, keamanan, dan kesejahteraan. Dulu pendapatan masyarakat kecil, tidak sebesar sekarang. Tetapi, biaya hidup juga kecil. Dengan kata lain, daya beli masyarakat dulu lebih baik dari sekarang. Saya melihat ada kerinduan masyarakat akan kondisi seperti zaman Pak Harto dulu,” tuturnya.
Untuk itulah, dia menyusun program pembangunan yang dirangkumnya dalam “Catur Sukses Pembangunan Nasional”, yang terdiri dari konsep Trilogi Pembangunan sebagaimana diterapkan era Presiden Soeharto, ditambah prinsip nasionalisme baru. Partai Golkar sendiri menangkap ini sebagai wujud program kepartaian yang harus diperjuangkan di masa Aburizal Bakrie memimpin partai berlambang beringin ini.
Menurutnya untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan, pertumbuhan ekonomi harus konsisten dan simultan di atas angka enam persen. Selain itu, dia menekankan pentingnya peran negara untuk mengambil inisiatif dalam pembangunan terutama di bidang strategis. “Pemerintah bukan bank, yang mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya. Tugas pemerintah harus membangun. Mengapa kita harus membatasi pembangunan dengan menetapkan defisit anggaran hanya 1,5 persen (dari PDB), padahal UU mengizinkan kita sampai 3 persen. Tidak masuk akal Bandara Kuala Namu (Sumut) kini terbengkalai hanya karena belum ada jalan,” ujarnya.
Dia menambahkan, pemerintah jangan terlalu mengandalkan peran swasta dalam bentuk investasi. Pola investasi memang menggiurkan bagi ekonomi, tetapi bukan berarti kita harus mengharapkan investor seperti uluran tangan Tuhan. Bagi Aburizal Bakrie dengan atau tanpa bantuan swasta, pemerintah memiliki hakikat membangun peradaban. “Kalau swasta tidak ada berani yang masuk, pemerintah harus segera membangun,” tegas Aburizal Bakrie.
Atas pengalamannya sebagai Menko Kesra melihat penderitaan rakyat di pelosok Indonesia, Aburizal Bakrie justru merasa bahwa selama lebih dari setengah abad merdeka, bangsa ini salah urus. Terlebih ketika krisis ekonomi 1998 terjadi, Indonesia seperti memulai segalanya dari nol kembali, seperti saat pertama kali Orde Baru memimpin bangsa ini. Ada suara di dalam hati kecilnya yang memanggil-manggil peran lebih besar lagi di masa depan, yakni sebagai Presiden RI. Dengan begitu, ia optimis bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Mungkinkah?
Sumber:
- Bahtiar Effendy, Hajriyanto Thohari, dkk, “Beringin Membangun: Sejarah Politik Partai Golkar”, Op.Cit, Hlm. 225
- Setkab, “Kabinet Indonesia Bersatu”, (https://setkab.go.id/kabinet-indonesia-bersatu/, diakses pada Maret 2023)
- NN, “Menko Kesra: Saya Tidak Pernah Manfaatkan Jabatan”, (https://www.antaranews.com/berita/125405/menko-kesra-saya-tidak-pernah-manfaatkan-jabatan, diakses pada Maret 2023)
- Wikipedia, “Aburizal Bakrie”, (https://id.wikipedia.org/wiki/Aburizal_Bakrie#cite_note-21, diakses pada Maret 2023)
- Zahra Aqilla Oktviona, “Siapa Pembuat Program BLT? Ternyata Bukan Jokowi”, (https://economy.okezone.com/read/2024/08/10/320/3046982/siapa-pembuat-program-blt-ternyata-bukan-jokowi, diakses pada Maret 2023)
- NN, “Pemerintah Tidak Paksa Rakyat Terima BLT”, (https://news.detik.com/berita/d-943222/pemerintah-tidak-paksa-rakyat-terima-blt, diakses pada Maret 2023)
- AFX News, “Indonesia’s Donors Support Latest Fuel Price Hike, Bakrie“, (https://www.finanznachrichten.de/nachrichten-2005-10/1964829-indonesia-s-donors-support-latest-fuel-price-hike-bakrie-020.htm, diakses pada Maret 2023)
- energy-pedia, “Indonesia: ExxonMobil Cepu Oil Field to Begin Full Production”, (https://www.energy-pedia.com/news/indonesia/exxonmobil-cepu-oil-field-to-begin-full-production, diakses pada Maret 2023)
- NN, “PAN Setuju Tim Ekonomi Diganti, Tapi Jangan Ical Dong!”, (https://news.detik.com/berita/d-466825/pan-setuju-tim-ekonomi-diganti-tapi-jangan-ical-dong, diakses pada Maret 2023)
- NN, “Ical: Menko Kesra Adalah Peningkatan Kinerja Saya”, (https://news.detik.com/berita/d-492741/ical-menko-kesra-adalah-peningkatan-kinerja-saya, diakses pada Maret 2023)
- New York Times, “Indonesia to cut fuel subsidies”, (https://www.nytimes.com/2008/05/23/business/worldbusiness/23iht-23indofuel.13168758.html, diakses pada Maret 2023)
- Beritasatu, “Aburizal Bakrie”, (https://www.beritasatu.com/nasional/97683/aburizal-bakrie, diakses pada Maret 2023)
- NN, “AIDS Bikin Sibuk Menteri”, (https://www.jpnn.com/news/aids-bikin-sibuk-menteri?page=2, diakses pada Maret 2023)