DPP  

78 Tahun Aburizal Bakrie – Paradigma Baru Partai Golkar (XI)

Berita GolkarDi masa Orde Baru, Partai Golkar sangatlah identik dengan peran militer di dalam gerakan politiknya. Partai Golkar bahkan seringkali dilihat oleh publik sebagai Subordinat dari kelompok militer yang berkuasa. Sejarah perjalanan Golkar membuktikan bahwa kekuatan politik Golkar dalam suatu masa memang dapat bergandengan erat dengan salah satu kekuatan yang menopangnya, yaitu militer. Namun dalam masa yang lain, khususnya era reformasi Golkar bisa tumbuh dengan kekuatan politik yang mandiri.

Tentu adaptasi perubahan politik Partai Golkar tidak berangsur dalam satu malam. Butuh proses yang panjang dan berliku hingga Partai Golkar masih bertahan hingga detik ini. Keringat, air mata, bahkan tangisan darah pun pernah dirasakan Partai Golkar terutama ketika peralihan kekuasaan di masa Orde Baru tumbang. Meski akar-akarnya masih berada dalam kekuasaan, tetapi sistem telah berubah, aturan main tidak lagi berpihak, dan perubahan-perubahan lainnya yang jelas tidak menguntungkan bagi Golkar.

Untuk Aburizal Bakrie, ketika reformasi terjadi ia justru melihat sebuah anomali di perpolitikan tanah air. Entah mengapa ia merasa partai yang paling siap menghadapi reformasi justru adalah Partai Golkar. Ada beberapa alasan bagi Aburizal Bakrie mengapa ia menilai Partai Golkar sebagai partai paling siap menghadapi reformasi serta menempatkan Paradigma Baru Partai Golkar yang dirumuskan pada periode kepengurusan tahun 1998-1999 dan dilanjutkan lagi untuk masa kepengurusan 1999-2004.

Pertama tentu akan sulit bagi Partai Golkar melepaskan dari tiga pilar penyokong utama, yakni kekuatan politik militer, PNS dan Golkar sendiri. Tetapi perlu diingat, pengorganisasian partai ini sangat kuat, nilai dan ideologi kekaryaan sudah melekat terutama di masyarakat pedesaan. Sementara itu reformasi adalah konsep yang masih mengawang-awang kala itu bagi masyarakat pedesaan. Jika pun bisa kita katakan bahwa PDIP adalah partai yang menangguk untung dari reformasi, mereka tentu melupakan satu hal, yakni mengorganisir masyarakat pedesaan agar mereka mengerti dan paham makna dari reformasi.

Geliat reformasi yang terjadi di kawasan perkotaan, terutama Pulau Jawa telah membawa dampak marginalisasi nilai tersendiri bagi kelompok sosial masyarakat di pedesaan. Tetapi marginalisasi itu tentu lama kelamaan akan terkikis seiring semakin terbukanya media informasi di masa reformasi. Jika tidak memanfaatkan momentum dan waktu untuk mengikat sisa-sisa energi yang ada, mungkin Partai Golkar benar-benar habis setelah era reformasi, persis seperti apa yang dikatakan Amien Rais sebelumnya.

Faktor kedua tentu adalah kecakapan dari fungsionaris dan elit Partai Golkar di masa reformasi. Aburizal Bakrie memberikan kredit khusus kepada sosok Akbar Tanjung, figur yang memimpin Partai Golkar melalui badai politik pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Aburizal Bakrie menilai Akbar Tanjung adalah sosok yang patut diberi bintang jasa oleh Partai Golkar, pun dengan produk yang dihasilkan di masa kepemimpinan Akbar Tanjung.

Oleh karenanya, Aburizal Bakrie tidak pernah sekalipun terlihat berseberangan dengan Akbar Tanjung. Ia tidak ingin menjadikan Akbar Tanjung sebagai lawan politiknya. Akan sangat mengerikan melawan Akbar Tanjung dengan segala kapasitasnya. Karenanya, sampai detik ini, Aburizal Bakrie senantiasa mendiskusikan hal-hal penting dengan Akbar Tanjung, apalagi ketika Aburizal Bakrie memimpin Partai Golkar di periode 2009-2014.

Akbar Tanjung pun memiliki rasa hormat yang serupa pada sosok Aburizal Bakrie. Ia melihat Aburizal Bakrie sebagai orang yang loyal dan memiliki kesetiaan berlebih pada Partai Golkar. Aburizal Bakrie memang absen saat Golkar berkuasa di era Orde Baru, justru hal itu malah menaikkan poinnya sebagai figur yang tak hanya melihat Partai Golkar sebagai kendaraan meraih kekuasaan semata, tetapi alat untuk mewujudkan perjuangan.

Perjalanan dan perjuangan Akbar Tanjung pun terekam pada sekelumit cerita ini. Dimulai pada Munaslub Partai Golkar di tahun 1998, kemenangan Akbar Tandjung dianggap sebagai jalan pembuka tabir baru Golkar dalam pentas politik nasional. Sebagai wujud keseriusan dirinya dalam upaya melakukan reformasi dan pembenahan di tubuh Partai Golkar, pada struktur kepengurusan DPP Partai Golkar yang dipimpinnya, Akbar Tandjung hanya memasukkan 2 orang dari kalangan militer yakni Letjen (Purn) Tuswandi yang duduk sebagai Sekretaris Jenderal dan Mayjen (Purn) Afifudin Thaib yang duduk sebagai salah satu Ketua DPP Golkar. Hal ini penting menurut Akbar Tanjung, yakni untuk membentuk persepsi publik bahwa Partai Golkar serius berbenah dengan perlahan melepaskan diri dari dominasi institusi militer pada kepengurusan yang dibentuknya di masa awal reformasi.

Alhasil, komposisi kepengurusan Golkar pada periode Akbar Tandjung nampak rupa Golkar baru dengan seragam sipil dominan saat itu. Beberapa nama tenar dari kalangan sipil yang masuk dalam kepengurusan era Akbar Tanjung antara lain, Agung Laksono, Theo L Sambuaga, Fahmi Idris, Mahadi Sinambela, Marzuki Darusman, Freddy Latumahina, Slamet Effendi Yusuf, Marwah Daud Ibrahim, Rambe Kamarulzaman, Andi Mattalata, Syamsul Maarif dan beberapa lainnya. Sementara dari unsur pengusaha, nama-nama lama masih menghiasi struktur kepengurusan, mereka antara lain adalah, M.S. Hidayat, Fadel Muhammad, Enggartiasto Lukita, Setya Novanto dan Marimutu Manimaren.

Selain menghasilkan kepemimpinan baru di tubuh Golkar, agenda pembahasan juga banyak dilakukan di komisi sidang Munaslub Partai Golkar tahun 1999 yang merekomendasikan beberapa hal termasuk di dalamnya menghasilkan keputusan-keputusan Munaslub. Keputusan Munaslub tersebut antara lain:

– Akbar Tandjung terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar masa bakti 1998-2003 melalui pemungutan suara secara bebas dan rahasia, mengalahkan saingannya Edie Sudrajat dan Sri Sultan Hamengkubuwono X;
– Dibentuk formatur yang diketuai oleh Ketua Umum terpilih dengan empat anggota Ketua DPD I Riau, Kalteng, Maluku, dan NTT, untuk menyusun pengurus lengkap DPP Golkar;
– Golkar memperjuangkan agar segera dilaksanakan pemenuhan sembilan bahan pokok rakyat sebagai prioritas utama agenda nasional;
– Golkar siap menyukseskan Sidang Istimewa MPR 1998 Golkar siap menyukseskan pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur, demokratis, dan adil dalam sistem multipartai yang berpegang teguh pada Pancasila dan UUD ‘45;
– Golkar siap mensukseskan pelaksanaan Sidang Umum MPR dalam waktu secepatnya;
– Golkar akan memberdayakan rakyat terutama dalam hal kehidupan ekonominya;
– DPP Golkar tidak akan me-recall Harmoko sebagai Ketua MPR dan Abdul Gafur sebagai Wakil Ketua MPR RI.

Bukan hanya pada komposisi struktur kepengurusan dan hasil Munaslub berdasarkan rekomendasi komisi sidang saja yang menjadi wujud keseriusan Ketua Umum DPP Partai Golkar Golkar, Akbar Tandjung untuk melakukan reformasi di tubuh Partai Golkar. Namun pada tataran visi dan misinya, Akbar Tandjung juga mengedepankan ‘Paradigma Baru Golkar’. Konsep Paradigma Baru Golkar ini menuntut adanya pembaharuan dalam cara pandang Golkar di dunia politik.

Disadur dari website PartaiGolkar.com, Paradigma Baru Partai GOLKAR ini berisi pokok-pokok doktrin, visi, misi, dan platform politik kepartaian. Di dalam perumusan Paradigma Baru ini terkandung aspek pembaruan sekaligus kesinambungan. Aspek pembaharuan ditunjukkan melalui perubahan struktur atau kelembagaan, dan aspek kesinambungan tampak pada kekukuhan Partai Golkar untuk tetap berideologi Pancasila dan doktrin karya dan kekaryaan.

Pembaharuan ini disamping dimaksudkan untuk meluruskan sejumlah kekeliruan lama, juga diarahkan untuk mewujudkan Partai Golkar yang mandiri, demokratis, kuat solid, berakar, dan responsif. Dengan Paradigma Baru maka Partai Golkar diharapkan menjadi partai politik yang modern dalam pengertiannya yang sebenarnya. Yakni, tidak lagi sebagai “Partainya Penguasa” (the ruler’s party) yang hanya menjadi mesin pemilu atau alat politik untuk melegitimasi kekuasaan.

Pembaharuan paradigma itu sendiri didorong oleh faktor utama yang berasal dari diri Partai Golkar sendiri, yakni jatidiri dan watak Golkar sebagai kekuatan pembaharu. Sebagaimana disebutkan pada point keempat dari Ikrar Panca Bhakti Golongan Karya, etos atau semangat pembaruan pada sejatinya merupakan fitrah atau sikap dasar Partai Golkar sejak kelahirannya. Fitrah inilah yang mendorong dilakukannya pembaruan ini. Dengan demikian, pembaruan paradigma ini merupakan pengejawantahan belaka dari fitrah tersebut.

Paradigma Baru Partai Golkar ini telah mulai diwujudkan melalui pembaharuan internal, terutama terhadap struktur atau kelembagaan organisasi yang selama ini mempunyai akses yang terlalu besar terhadap organisasi yang membatasi kemandirian Partai Golkar.

Jika selama ini Golkar dikenal dengan partai penguasa yang eksklusif maka Akbar Tandjung membuat roadmap pembangunan Golkar yang selaras dengan semangat reformasi. Esensi yang kemudian diterapkan pada Golkar dalam pergaulan sosial politiknya jelas menjadikan Golkar sebagai institusi politik yang inklusif (terbuka), mandiri, demokratis, moderat, solid, mengakar dan responsif terhadap persoalan masyarakat pada kehidupan berbangsa bernegara. Penegasan paradigma baru golkar ini diulangi kembali pada Deklarasi Partai Golkar tanggal 7 Maret 1999 di Stadion Utama Senayan (Gelora Bung Karno-sekarang).

Pada saat penutupan Munaslub 1998, dalam pidatonya, Akbar Tanjung menunjukkan komitmen serta ikrarnya untuk menjaga keberadaan Partai Golkar dari gangguan-gangguan eksternal dan pengeroposan yang terjadi di dalam tubuh Partai Golkar. Ia menegaskan bahwa posisi Partai Golkar kini ada untuk mendukung tegaknya reformasi serta mendukung penuh Indonesia tanpa otoritarian.

“Munaslub 1998 adalah momentum penting dalam perjalanan Golkar. Golkar dengan sadar melakukan awal reformasi dirinya, untuk kembali ke jati diri, visi dan misi perjuangannya seperti yang dipatrikan pada saat kelahirannya. Munaslub telah mengembalikan Golkar yang selama Orde Baru telah terperosok hanya sekadar menjadi mesin politik penguasa, menjadi alat pengumpul suara dalam Pemilu, dan sekadar alat legitimasi penguasa yang otoriter,” ucap Akbar Tanjung dalam pidatonya di Munaslub Golkar 1998.

Manuver Akbar Tanjung ini bagi sebagian pengamat kala itu dianggap sebagai langkah gila. Terlepas dari bagaimana proses politik di Partai Golkar, jejaring Soeharto di partai ini masih cukup banyak dan kuat di masa itu, anak-anaknya pun masih berjaket kuning Partai Golkar. Sementara pidato Akbar Tanjung itu jelas-jelas telah membuka front peperangan dengan mantan Presiden Soeharto dan kroninya. Jika salah-salah dalam mengambil langkah, bagi para pengamat saat itu, Golkar justru bisa diharakiri oleh mantan Presiden Soeharto beserta loyalisnya di dalam tubuh Partai Golkar.

Sebaliknya, Aburizal Bakrie menilai pidato Akbar Tanjung tersebut sebagai langkah cerdas dan bisa jadi sebagai sebuah maklumat bahwa keberadaan Partai Golkar secara kelembagaan dengan mantan Presiden Soeharto adalah dua akar yang berbeda. Mantan Presiden Soeharto di masa lengser keprabon tidak akan mungkin mengusik Partai Golkar seiring marwahnya yang telah dihantarkan turun oleh Harmoko pada SI MPR 1998.

Sejak saat itu, Partai Golkar menjelma sebagai partai yang terdepan menjemput reformasi secara aktual dalam tubuh kepartaian. Tak heran Aburizal Bakrie menilai bahwa di bawah tangan dingin Akbar Tanjung, Partai Golkar dan paradigma baru Partai Golkar menjelma sebagai konsep modern sebuah partai politik dibangun.

Terkait dengan kroni-kroninya, Aburizal Bakrie memandang bahwa kepentingan berlaku surut di politik. Bagian terpenting dari episode berikutnya bagi kroni mantan Presiden Soeharto bukanlah mengambil jalur kekuasaan kembali melalui Partai Golkar, tetapi menyelamatkan mantan Presiden Soeharto dari ancaman pidana yang siap membelitnya.

Karena itu, secara politik posisi mantan Presiden Soeharto sudah layu dan tidak siap untuk menembus tembok tebal yang telah dibuat oleh Akbar Tanjung dalam Munaslub 1998. Kroni-kroninya juga tentu dapat berpikir lebih strategis, bahwa mereka bisa berkontestasi kembali dalam politik asal selamat dari krisis ekonomi dan politik di tahun 1998.

Aburizal Bakrie benar, kroni mantan Presiden Soeharto tidak bergeming terhadap proses politik di Partai Golkar. Tampaknya Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum Partai Golkar saat itu juga sudah sangat berhitung matang tentang langkah-langkah strategis menyelamatkan Partai Golkar dari jurang kehancuran hantaman persepsi publik. Sebuah gagasan disertai pernyataan penting posisi politik Partai Golkar membuat situasi berangsur kondusif. Soliditas internal Partai Golkar sekali lagi menjadi kunci saat itu. Andai saja kala itu elit-elit Partai Golkar mengedepankan ego mereka, maka bukan tidak mungkin partai berlambang beringin ini akan menemui kehancurannya lebih awal saat itu.

Bahkan anak-anak mantan Presiden Soeharto berhasil menemui kata sepakat dengan Akbar Tanjung. Yang tidak sepakat lantas memilih untuk keluar dan membuat partai tersendiri. Seperti Siti Hadijanti Rukmana misalnya. Anak tertua mantan Presiden Soeharto ini keluar dari Partai Golkar dan membuat Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) sebagai kendaraan politiknya. Praktis hanya tinggal Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto dan Tommy Soeharto yang tergabung dalam Golkar. Keberadaan keluarga mantan Presiden Soeharto pada akhirnya benar-benar terlepas kala Tommy Soeharto mendirikan Partai Berkarya, Titiek Soeharto pun ikut bergabung di dalamnya sebagai pengurus partai.

Pidato Akbar Tanjung tersebut juga menegaskan posisi Partai Golkar sebagai partai yang inklusif. Bersamaan dengan keinginan melepaskan diri dari cengkraman Orde Baru, Golkar telah memposisikan diri untuk terbuka bagi semua golongan dan lapisan masyarakat tanpa adanya perbedaan kelas sosial ekonomi, latar belakang keagamaan, maupun suku dan bahasa.

Golkar juga bertekad dalam era reformasi menjadi partai yang mandiri dan independen, baik secara struktural maupun kultural. Nilai moderat yang disampaikan dalam prinsip reformasi Golkar mengartikan bahwa partai ini akan selalu mengambil posisi jalan tengah dalam ideologi perjuangan dan pembangunan.

Maka kecenderungan akan adanya sikap ekstrim bukan menjadi sikap Golkar maupun kadernya. Nilai moderat ini pula lah yang membuat Golkar bersikap anti sektarian ataupun non sektarian. Pada pengembangan dan pola kaderisasi, Golkar harus mengakar. Karena itu Golkar mengembangkan metode merit system agar para anggota dan kadernya bisa tumbuh berkembang dari level paling bawah berdasarkan azas prestasi, bukan semata berdasarkan KKN yang primitif.

Golkar tidak hendak membawa partai ini ke masa Orde Baru lagi. Para elit dan fungsionaris menyadari bahwa citra positif partai harus dibangun. Sisa-sisa energi dan tepatnya momentum menjadi kunci dari penyelamatan Partai Golkar dari rongrongan kekuatan politik eksternal yang ingin Partai Golkar dibubarkan ataupun geliat kekuatan di dalam Golkar sendiri.

Konsekuensi dari adanya Paradigma Baru Golkar ini juga berimplikasi pada dirombaknya struktur organisasi dengan menghapus struktur Dewan Pembina yang sejak Munas Golkar 1978 telah menjadi institusi internal yang ‘sangat berkuasa’. Struktur Dewan Pembina ini dilekatkan pada figur mantan Presiden Soeharto dari sejak 1978. Melalui struktur ini, mantan Presiden Soeharto menjadi penguasa di atas bayang-bayang struktural Partai Golkar. Figurnya terlihat kurang berperan, padahal tidak ada satupun keputusan Ketua Umum Golkar yang tidak melewati Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Soeharto.

Akbar Tandjung pun berpendapat terkait dengan keputusan penghapusan struktur Dewan Pembina di tingkatan DPP Golkar. Dirinya menilai, struktur Dewan Pembina kontradiktif dengan semangat kemandirian organisasi karena sifatnya yang terlalu dominan dan sangat eksesif di masa lalu.

Otoritas Dewan Pembina yang terlalu besar dalam Paradigma Lama Golkar menurutnya sebagai penyebab bangunan politik menjadi monopolistik, bertumpu pada satu orang figur, yakni di figur Ketua Dewan Pembina. Politik modern ke depan diyakini Akbar Tanjung akan membentuk pola kekuatan isu, citra dan juga nilai perjuangan dari suatu partai menjadi yang terdepan.

Struktur Dewan Pembina kemudian digantikan oleh Dewan Penasihat dengan kewenangan yang lebih terbatas tentunya. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 19 Anggaran Dasar Partai Golkar Hasil Munaslub 1998. Sedangkan pada Pasal 22 Ayat 1 Anggaran Dasar Partai Golkar disebutkan bahwa, Penasihat merupakan badan yang bersifat kolektif yang bertugas memberikan saran dan nasehat, baik diminta maupun tidak diminta kepada Pimpinan Partai sesuai tingkatannya dalam menjalankan dan mengendalikan segala kegiatan dan usaha partai. Munaslub juga mengamanatkan pergantian nama bagi Golkar menjadi Partai Golkar. Selanjutnya perubahan nama ini kelak akan dideklarasikan pada 7 Maret 1999.

Langkah politik lain yang dilakukan secara strategis dan taktis oleh Akbar Tandjung yang kini memegang tampuk kepemimpinan di Partai Golkar adalah memutus jalur-jalur atau saluran-saluran pendukung Golkar yang terdiri dari, Jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan Jalur G (Golkar) atau yang dikenal publik dengan sebutan Jalur ABG. Jalur A ini terkait dengan keterlibatan ABRI dalam politik praktis sebelum adanya kebijakan internal terkait dengan Dwifungsi ABRI.

Golkar dan ABRI memang seperti dua wajah yang serupa tetapi tak sama pada periode masa perpolitikan era orde baru. Dalam tubuh institusi politik berlambang beringin tersebut, kalangan ABRI banyak mengisi pos dalam struktur Golkar. ABRI atau elemen militer pun dikenal sebagai salah satu inisiator kelahiran Golkar, oleh sebab itu posisi militer dalam gerak aktivitas Golkar memiliki tempat yang istimewa.

Sementara, pada Jalur B atau birokrasi perannya dalam tubuh Golkar bisa dikatakan didukung oleh regulasi melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 12 Tahun 1969 tentang larangan bagi Pegawai Negeri Sipil aktif dalam partai politik. Sedangkan Golkar tidak berbentuk partai kala orde baru berkuasa. Peraturan tersebut pada akhirnya mendorong azas monoloyalitas PNS pada Golkar.

Dengan azas monoloyalitas tersebut, maka secara tidak langsung unsur birokrasi telah menjadi instrumen politik orde baru. PNS dan aparatur negara diintervensi pilihan politiknya bahwa mereka harus selalu menjadi konstituen Golkar. Aburizal Bakrie secara pribadi tak menafikkan fakta tersebut.

Kekuatan militer dan birokrasi memang sangat kentara saat Golkar mengarungi masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di era Orde Baru. Hampir tidak ada ruang bagi pengusaha seperti dirinya ikut berkecimpung di dunia politik. Apalagi pengusaha yang sudah kadung matang seperti dirinya. Namun, di era reformasi, baik militer maupun PNS dituntut untuk netral dalam urusan politik.

Ada alasan tersendiri mengapa pengusaha dipersempit ruang geraknya di Golkar semasa Orde Baru berkuasa. Mantan Presiden Soeharto menghendaki ruang-ruang bagi setiap sektor. Jika pengusaha memasuki ruang politik utamanya Golkar sebagai mesin politik Orde Baru, maka ia khawatir gerakan politik akan sulit dikendalikan akibat adanya tambahan amunisi dan sumber daya atas perlawanan kebijakan politik.

Amunisi yang dimaksud mantan Presiden Soeharto adalah logistik partai. Jika logistik diluncurkan tidak satu pintu dan mulai banyak kepentingan yang bermain maka faksi akan terbentuk, mereka akan bersifat cair dan perlahan menghanyutkan pusat komando. Lalu bagaimana dengan para pengusaha yang sudah tergabung dalam Golkar? Mereka bukan Aburizal Bakrie, figur mereka memiliki cara pandang sendiri terhadap kedekatan dengan Orde Baru. Aburizal Bakrie bukannya tidak dekat, ia cukup dekat untuk berjabat tangan, tetapi kemandirian yang terbangun dari diri Aburizal Bakrie membuatnya sulit diintervensi, termasuk dalam gerakan politik. Ia memahami dirinya sendiri karenanya akan sulit untuknya jika masuk ke gelanggang politik kala Orde Baru masih erat dengan Golkar.

Pasca deklarasi pada 7 Maret 1999, yang merubah nomenklatur secara kelembagaan dari Golkar menjadi Partai Golkar konsolidasi organisasi dan politik terus dilakukan. Upaya tersebut dirasa perlu untuk menguatkan mesin politik dan mempertahankan akar Partai Golkar yang sudah kadung mengakar hingga ke desa-desa.

Golkar bergerak cepat memisahkan dari embrio utamanya Orde Baru sebelum gagasan besar mengenai reformasi yang turut menjadikan Golkar sebagai musuh utama sampai ke desa-desa. Hanya kawasan pedesaan yang terpelihara dari fitnah betapa Golkar secara kelembagaan telah tercemar Orde Baru. Padahal tidak begitu pada kenyataanya, buktinya Akbar Tanjung berani melepaskan diri dan membuka front terhadap keberadaan kepemimpinan yang otoriter.

Sebagai pendukung mesin utama partai, Partai Golkar pun membentuk organisasi sayap guna menjangkau keperluan politik praktis yang segmentatif dan memiliki stratifikasi pandangan berbeda di era reformasi. Terdapat dua organisasi sayap yang dibentuk Partai Golkar setelah deklarasi dilakukan, yakni Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) dan Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG).

Kedua organisasi ini dimaksudkan sebagai mesin politik yang menggarap secara khusus anggota muda dan anggota perempuan Partai Golkar. Akbar Tanjung menilai bahwa dunia politik ke depan akan semakin segmentatif, selain itu akibat adanya reformasi dan mulai masuknya informasi ke khalayak, ia merasa sebuah partai butuh kelompok yang secara khusus masuk ke dunia itu, dan turut serta aktif di dalamnya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gagasan dasar dari terbentuknya kedua organisasi sayap ini adalah sebagai corong berhimpun dan memberdayakan kader-kader muda Partai Golkar. Diharapkan dengan adanya AMPG maka kaderisasi di tubuh Partai Golkar dapat berjalan secara simultan dan lebih sistematis, output atau sasaran yang hendak dicapai pun tidak main-main.

AMPG pada praktiknya bertujuan untuk menghadirkan kader politik yang berdedikasi tinggi, militan serta sebagai garda terdepan dalam menjaga martabat serta kewibawaan partai. Sementara bagi KPPG sendiri, dibentuk guna menghimpun dan memberdayakan kader-kader perempuan Partai Golkar guna menjadi kader yang mandiri, memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap partai, dan mampu menyelenggarakan berbagai aktivitas sosial terkait dengan masalah keperempuanan dan kemasyarakatan.

Selain AMPG dan KPPG, dibentuk pula badan-badan dan lembaga-lembaga fungsional, seperti Lembaga Pendidikan Kader (LPK), Lembaga Pemenangan Pemilu (LPP), Badan Informasi dan Komunikasi (BIK), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Keluarga Intelektual Muda Partai Golkar (KIMPG) serta Forum Komunikasi Tani Nelayan Karya Bangsa (FKTNKB). Partai Golkar pun tidak meninggalkan bangunan kultur dan institusi politik yang telah dibentuk pada era orde baru. Akbar Tanjung, menurut Aburizal Bakrie sangat mampu menjalankan roda organisasi secara efektif saat itu.

Sebagai orang yang masih berada di luar kepengurusan, meskipun tidak memiliki hak apapun, Aburizal Bakrie turut pula mendukung penuh upaya Partai Golkar melakukan reformasi struktural dan kelembagaan, ia juga mendukung langkah-langkah strategis Akbar Tanjung dalam upayanya menyelamatkan Partai Golkar.

Untuk Aburizal Bakrie, Partai Golkar bukanlah warisan Orde Baru, tapi bangunan semangatnya merupakan warisan peradaban Indonesia. Partai yang awalnya merupakan gagasan Soekarno untuk mengkanalisasi aspirasi politik kelompok sektoral ini justru berubah menjadi mesin politik yang tidak pada tempatnya di masa Orde Baru. Modernisasi serta Paradigma Baru Partai Golkar membuat Aburizal Bakrie semakin optimis terhadap keberadaan dan masa depan partai ini.

Konsolidasi dan penguatan peran politik pun dilakukan oleh organisasi pendiri maupun yang telah didirikan oleh Partai Golkar seperti Ormas Soksi, Kosgoro 1957, Ormas MKGR, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Himpunan Wanita Karya (HWK), Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Al-Hidayah dan Satkar Ulama Indonesia.

Jika melihat formulasi yang dilakukan Akbar Tandjung secara kelembagaan di Partai Golkar, maka Aburizal Bakrie mengindikasikan jika ia banyak mengadopsi pola atau sistem pengkaderan termasuk bentuk lembaga yang dimiliki oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Latar belakang Akbar Tanjung sebagai seorang organisatoris jelas memberikan Ia pelajaran bagaimana menggerakan roda organisasi secara baik.

Aburizal Bakrie secara pribadi pun mengenal figur Akbar Tandjung sebagai seseorang yang memiliki visi jauh ke depan dengan semangat bertarung melebihi apa yang dimiliki generasinya pada era tersebut. Karenanya ia lebih memilih bersahabat dengan Akbar Tanjung dibanding harus menjadikannya rival. Aburizal Bakrie tidak ingin merasa kesulitan di kemudian hari jika harus berseberangan dengan seorang seperti Aburizal Bakrie. Bahkan kini di masa senja mereka berdua, Aburizal Bakrie dan Akbar Tanjung bahu membahu menjadikan Partai Golkar kembali lagi ke masa kejayaannya.