DPP  

78 Tahun Aburizal Bakrie – Pelita Harapan, Kelahiran Sang Ical Kecil (I)

Berita GolkarMenyambut HUT ke-78 tokoh senior Partai Golkar, Aburizal Bakrie pada 15 November 2024, kami redaksi Golkarpedia menghadirkan catatan tulisan mengenai perjalanan kehidupannya. Kami menganggap, perjalanan hidup Aburizal Bakrie memiliki nilai bagi kita semua. Sehingga catatan yang kami sadur dari berbagai sumber baik media online maupun buku, berhasil tersusun menjadi sebuah narasi yang memiliki banyak pembelajaran di dalamnya.

Membicarakan figur besar seperti Aburizal Bakrie tidak akan lengkap jika tidak membahas mengenai akar dari mana dirinya berasal. Darimana kemahsyuran, kejayaan hingga kerayaannya berasal? Segala cerita mengenai kemahsyuran seorang Aburizal Bakrie hari ini tentu memiliki awal. Awalan itu dimulai oleh sang ayah, Achmad Bakrie.

Keberadaan sang ayah tentu tidak akan pernah dilupakan oleh Aburizal Bakrie. Bahkan pada 23 November 2012, Aburizal Bakrie (Ical) pernah membuat cuitan di Twitter yang membanggakan ayahnya. Cuitan itu mengesankan ayahnya sebagai orang sukses yang hanya berpendidikan rendah di zamannya. “Ayah saya Achmad Bakrie cuma lulusan sekolah rakyat (sekarang SD) bisa sukses bangun Grup Bakrie,” cuit Ical.

Memang benar apa yang dikatakan Aburizal Bakrie terhadap kesan sang ayah, Achmad Bakrie. Achmad Bakrie hidup di sebuah daerah terpencil, yang menjadi cerita awal bermula. Kalianda, sekarang bagian dari Provinsi Lampung adalah tempat Achmad Bakrie memulai kehidupannya. Lahir pada 1 Juni 1916, Achmad Bakrie seperti anak pada umumnya. Ia menyukai permainan, menyukai hujan dan sering bermain di bawahnya, juga menyukai keriangan tawa berkumpul bersama teman sebaya.

Dari semua kesamaan itu, Achmad Bakrie memiliki satu perbedaan yang menonjol. Ia adalah sosok yang gigih dan pekerja keras. Berdasar pembahasan dalam buku Achmad Bakrie: Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan (1992), Achmad Bakrie, ayahanda Aburizal Bakrie, dan pendiri Bakrie Grup, sudah terbiasa menjaga kemandirian dirinya sedari kecil.

Bahkan mungkin atas berkat namanya, yang mirip pelafalan roti dalam bahasa Inggris yakni Bakery, Achmad Bakrie pernah benar-benar berjualan roti semasa kecil. Usianya kira-kira baru beranjak 10 tahun ketika ia harus bertarung dengan kerasnya kehidupan. Di saat yang bersamaan, Achmad Bakrie masih harus bersekolah di sekolah dasar untuk pribumi bernama Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Menggala.

Jangan dibayangkan bahwa Kalianda, Lampung jaman itu sama seperti sekarang. Jangan bayangkan pula jalanan beraspal, mulus dan bisa dijejaki dengan sepeda motor atau mobil. Tidak sama sekali, jaman itu, daerah tempat tinggal Achmad Bakrie masih beralaskan tanah merah dengan perkebunan di sekelilingnya.

Sang kecil itu kemudian keliling kampung menjajakan roti dagangannya kepada masyarakat lokal maupun pendatang, para tuan tanah Belanda. Tidak sampai di situ, Roti tersebut kemudian dijual lagi ke Teluk Betung, sebuah distrik perniagaan di selatan kota Bandar Lampung. “Dengan modal beberapa gulden dibelinya roti lalu ditumpangkan pada supir,” tulis penyusun buku itu.

Meski begitu, HIS, sekolah yang dijadikan tempat menuntut ilmu bagi Achmad Bakrie bukanlah sekolah rendah macam Volkschool (sekolah rakyat tiga tahun). Tidak semua anak di masa itu bisa bersekolah di HIS.

Ketika Indonesia merdeka, baru 10 persen orang Indonesia yang melek huruf. Bahkan jika merujuk buku Achmad Bakrie: Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan (1992), Achmad Bakrie tak hanya lulusan HIS, tapi juga pernah belajar di Handels-instituut Schoevers.

Hal ini bisa mengartikan bahwa Achmad Bakrie bukanlah anak jelata, ia memang anak yang lahir dari keluarga kelas menengah pribumi. Namun yang patut disyukuri, meski lahir di tengah keluarga kelas menengah, Achmad Bakrie sejak kecil sudah memiliki kesadaran bahwa membangun karakter pribadi adalah satu-satunya cara bertahan di masa sulit seperti era kolonial. Oleh karenanya, ia tak segan untuk berjualan roti.

Karakter kemandirian yang sudah terbentuk sedari kecil membuat Achmad Bakrie berhasil berkembang. Seiring waktu, sebelum membuka sendiri usahanya, berkat ijazah HIS tentu saja, Achmad Bakrie sempat bekerja di Kantor Kontrolir Lampung Tengah di Sukadana. Lalu sebentar kemudian sempat bekerja di Perusahaan Swasta Belanda NV Van Gorkom di Bandar Lampung. Tentu ia bekerja bukan sebagai kuli panggul.

Namun tekad putra dari H. Osman Batin Timbangan ini sangat besar untuk menimba ilmu. Di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai di NV Van Gorkom, ia rela menyisihkan waktu luangnya untuk bersekolah dagang di Hendles Institute Schoevers pada rentang waktu tahun 1937-1939. Bersekolah dan membaca buku memang menjadi kegemarannya sedari kecil.

Sepanjang perjalanan hidupnya, Bakrie tak lepas dari kegiatan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Dalam setiap kesempatan, apakah di perjalanan, saat menunggu atau di waktu senggang, membaca adalah kegiatan utamanya. Buku-buku sejarah, sastra, ekonomi maupun berita terkini menjadi temannya sehari-hari. “Saya paling kesal kalau tidak bisa membaca,” kata Bakrie suatu ketika.

Ia percaya, pengetahuan yang luas membuat orang semakin mandiri dan percaya diri. Bagi Bakrie, berilmu adalah jalan kita untuk memerdekakan diri. Dan seseorang yang lebih pintar harus dihormati. Bakrie yakin betul dengan kutipan yang disimpannya.

Freedom makes opportunities,
Opportunities makes hope,
Hope makes life and future.

Kepercayaan dan penghargaan Bakrie terhadap kekuatan ilmu pengetahuan dan orang yang berpengetahuan menyatu dengan caranya menyikapi keberhasilannya sebagai seorang pengusaha. Hal ini selaras dengan kata bijak yang ia sukai: One cannot help the poor by discouraging the rich.

Dua tahun bekerja di NV Van Gorkom, Achmad Bakrie banyak mendapat pengalaman tentang organisasi modern yang dikembangkan oleh kolonial Belanda. Ia tidak bekerja untuk sekadar mendapat upah bayaran, lebih dari itu, ada hal penting dari proses pembelajaran dalam pekerjaan. Semangat ini yang perlahan mulai luntur dari orang-orang modern yang menganggap uang adalah tujuan. Achmad Bakrie berbeda, uang baginya hanyalah hadiah, yang utama adalah ia bisa mengambil nilai dan manfaat untuk dapat dikembangkannya lagi sebagai bekal di kehidupannya kelak.

Setelah belajar ke Handels Instituut Schoevers di Jakarta, dia bekerja lagi di apotek Zuid Sumatra Apotheek di Teluk Betung. Menjelang kedatangan Jepang, apotek itu bangkrut, sebab orang-orang sibuk dengan isu peperangan disertai dengan krisis ekonomi yang membuncah, mereka mencoba menahan pengeluaran yang tak perlu termasuk untuk membeli obat-obatan. Pada akhirnya apotek tempat Achmad Bakrie bekerja harus menghadapi kenyataan kesulitan dalam membiayai operasional dan memutar modalnya. Obat-obat yang tersisa dan tak laku dijual saat itu karena harga yang kadung mahal, dibeli oleh Achmad Bakrie. Setelah kondisi mulai stabil dan harga obat-obatan perlahan mulai naik, obat itu dijual lagi.

Dari sini bisa terlihat betapa karakter kemandirian yang dibangun oleh seorang Achmad Bakrie mampu membuat naluri bisnisnya sangat tajam. Kemampuannya terasah oleh jam terbang, pengalaman dan dikombinasikan dasar ilmu pengetahuan semasa bersekolah. Tidak mudah untuk menentukan keputusan, sebuah keahlian mendasar dari seorang pengusaha, ketika membeli obat dari apotek yang hampir bangkrut. Ia juga bisa menilai bagaimana situasi akan beranjak nanti. Tentu krisis akibat transisi kekuasaan akan mendera Indonesia, tetapi tidak akan lama krisis bergejolak. Penguasa baru tentu memiliki formula untuk membentuk skema baru ekonomi di negara yang didudukinya.

Achmad Bakrie benar, uang hasil penjualan obat itu ternyata mampu mendatangkan keuntungan baginya dan ia jadikan modal usaha. Pada 10 Februari 1942, usahanya sudah mulai merambah jual beli kopi, lada, tepung singkong, dan hasil bumi lain. Komoditas itu ia dapatkan dari perkebunan keluarga dan orang-orang sekitar yang hanya menjadi buruh perkebunan. Sementara tuan tanahnya, orang Belanda entah berada di mana. Karena sejak saat itu, sejak Belanda pergi dari bumi Indonesia, banyak tanah-tanah produktif tanpa pemilik yang ditinggalkan. Keuntungan bagi pribumi jelas dirasakan, tanah yang ditinggalkan jika tidak diambil paksa oleh Jepang, bisa mereka manfaatkan untuk lahan kebun bercocok tanam secara pribadi.

Achmad Bakrie sekali lagi berhasil melihat peluang ini. Dari sanalah cikal bakal Bakrie & Brother General Merchant And Commission Agent di Teluk Betung berasal. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan umum. Achmad Bakrie mendirikan perusahaan ini bersama sang kakak, Abuyamin.

Keberuntungan demi keberuntungan turut menaungi kehidupan seorang Achmad Bakrie. Tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang karena pasukan Jepang berhasil menguasai Batavia dan seluruh Pulau Jawa. Pernyataan menyerah Belanda terhadap Jepang terjadi di rumah dinas seorang perwira di kawasan Landasan Udara Kalijati, Subang. Dalam perundingan tersebut, Ter Poorten, Panglima Angkatan Darat Belanda dan Gubernur Jenderal Tjarda resmi menandatangani dokumen kapitulasi atau penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda kepada Jepang.

Ketika zaman sedang berubah, kala tentara kolonial Belanda mulai meninggalkan Indonesia dan berganti menjadi zaman pendudukan Jepang. Saat itu banyak mobil dan biskuit ditinggalkan oleh orang-orang Belanda yang lari meninggalkan aset-asetnya karena takut dengan kedatangan Jepang di sekitar Teluk Betung. Achmad Bakrie dan Abuyamin, saudaranya, secara kebetulan tahu di mana barang-barang tersebut ditinggalkan oleh orang Belanda yang berada di Teluk Betung. Mereka menemukan di mana barang-barang tersebut disembunyikan. Ada mobil, pernak-pernik hiasan seperti guci, karpet dan sebagainya, ada pula berkaleng-kaleng biskuit dan sisa makanan yang sepertinya akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Setelah menimbang, mereka akhirnya memilih mengambil biskuit dan mengabaikan mobil.

Ada alasan rasional mengapa mereka lebih memilih mengambil biskuit daripada mobil. Achmad Bakrie berpikir bahwa meski harga mobil jauh lebih mahal daripada harga sekaleng biskuit, tapi di masa krisis, mobil tidak akan banyak membantu. Perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang jelas akan membuat transisi ekonomi mengalami de-kontraksi. Bisa jadi setelah pendudukan Jepang, masa sulit lainnya akan menimpa rakyat Indonesia. Saat Jepang datang dan disambut dengan gegap gempita mulai didengungkan di pelabuhan-pelabuhan tempat kedatangan, dianggapnya oleh masyarakat saat itu, Jepang yang masih merupakan bangsa Asia datang untuk membebaskan penderitaan mereka. Namun kenyataan itu berkebalikan dengan harapan.

Alih-alih membantu Indonesia bangkit, Jepang justru datang membawa kesulitan baru. Hal yang paling dirasakan tentu adalah gejolak ekonomi. Unit-unit usaha yang tadinya dioperasikan oleh orang Eropa dan Belanda, setelah Jepang datang dibiarkan mati begitu saja tanpa ada penerus. Akibatnya ekonomi tidak bergerak. Rakyat mulai berteriak kelaparan. Akibat unit ekonomi orang Eropa mati, tidak ada kesempatan bagi rakyat pribumi untuk bekerja. Mereka benar-benar ada dalam masa gelap saat itu.

Jepang sendiri lebih menitikberatkan pendudukan pada aktivasi militer dibanding membangun unit ekonomi di daerah yang diduduki. Beruntung masih ada warga keturunan China yang menetap di Indonesia dan menjadi penggerak ekonomi. Meski begitu, gerakkan mereka juga terbatas, Jepang dengan sangat ketat mengawasi sebisa mungkin siapa saja yang menjalankan unit usaha termasuk kelompok warga keturunan dan rakyat Indonesia sendiri.

Sekali lagi, untuk pendudukan Jepang akan membawa dampak krisis, analisis Achmad Bakrie, berhasil. Meski ia harus meratapi rakyat yang kesusahan setelah Jepang duduki Indonesia, dengan biskuit peninggalan Belanda, ia dan orang-orang di sekelilingnya masih bisa bertahan. Ada sebagian biskuit yang dijualnya lagi, tentu kepada rakyat Indonesia dengan harga yang miring, sebagian dijualnya kepada warga keturunan dengan harga mahal. Meski di masa sulit, nasionalisme Achmad Bakrie tetap bergelora di dadanya. Ia tidak akan meninggalkan rakyat Indonesia dalam kesulitan, apalagi saat dirinya menjadi orang yang cukup berpunya.

Bayangkan jika Achmad Bakrie saat itu mengambil mobil peninggalan Belanda yang ditinggalkan, besi karat jelas tidak akan bisa mengenyangkan perutnya dan masyarakat yang membutuhkan. Dalam kondisi krisis, sepotong biskuit akan lebih berharga daripada seonggok mobil bekas yang ditinggalkan pemiliknya. Itu pelajaran penting bagaimana seorang Achmad Bakrie memiliki hitungan matang dalam menghadapi situasi.

Berbicara mengenai mobil, Achmad Bakrie juga pernah memiliki pengalaman unik. Tanpa disengaja ia pernah menolong seorang petinggi Polisi Jepang yang mobilnya mogok. Atas pertolongan tersebut Achmad Bakrie mendapat imbal lisensi trayek angkutan meski tak memiliki mobil. Dengan memakai mobil milik Oei Kian Tek, trayek itu pun berguna. Trayek itu ia gunakan untuk mengangkut komoditas minyak kelapa yang digeluti saudaranya, Abuyamin. Bisnis minyak kelapa milik Abuyamin yang diangkut dari Kalianda ke Teluk Betung pun lancar. Achmad Bakrie turut mendapat keuntungan dari hasil izin trayek yang ia dapatkan dari polisi Jepang.

Di zaman pendudukan Jepang, perusahaannya sempat berganti nama menjadi Jasumi Shokai agar tidak terkesan Eropa. Sebab di masa pendudukan Jepang, segala sesuatu yang berbau Eropa atau kolonial akan diberangus. Jepang datang ke Indonesia selain membawa pasukan militer, nyatanya juga membawa keangkuhan.

Pada zaman pendudukan Jepang, Achmad Bakrie memutuskan hijrah ke Batavia atau Jakarta masa kini. Bisnisnya sudah jauh lebih berkembang, meluas dan bahkan sudah mulai melakukan perdagangan ke luar negeri. Sementara Achmad Bakrie hijrah ke Jakarta yang menjadi pusat perdagangan sejak era kolonial. Sementara Achmad Bakrie hijrah ke Jakarta, Abuyamin tetap berada di Kalianda untuk meneruskan bisnis keluarga.

Di tahun 1945, kondisi sudah semakin kondusif. Akibat ledakan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, kekuatan militer Jepang sedikit melemah. Mereka perlahan-lahan menarik pasukan dari negara yang didudukinya. Sampai kemudian Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Di Indonesia, keriuhan terjadi, seiring dengan kabar menyerahnya Jepang terhadap sekutu, keinginan untuk memerdekakan diri datang dari para tokoh pejuang bangsa. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan, gegap gempita kemerdekaan didengungkan. Rakyat Indonesia merasa berbahagia saat itu.

Pada tahun 1945, di saat rakyat Indonesia sedang berbahagia, begitu pula isi hati seorang Achmad Bakrie. Pasalnya, Achmad Bakrie berhasil bertemu dengan sosok pujaan hatinya, seorang gadis cantik yang berasal dari tanah Batak bermarga Nasution. Perempuan itu bernama Roosniah Nasution. Ia lantas memberanikan diri menyunting perempuan yang dikasihinya itu untuk menjadi istrinya, menemaninya dalam merintis segala jerih payah yang sedang ia dermakan saat itu.

17 November 1945, atau tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan didengungkan oleh Soekarno dan Hatta, Achmad Bakrie juga memproklamirkan kemerdekaan dirinya sebagai manusia merdeka untuk mencintai manusia lainnya dalam komitmen seumur hidup yang disebut sebagai pernikahan.

Sebuah keberuntungan bagi Achmad Bakrie mendapat pendamping seorang Roosniah Nasution. Ibunda dari Aburizal Bakrie itu senantiasa menemani sang suami dalam kondisi apapun, termasuk ketika kehidupan sedang tidak berpihak pada mereka. Ia adalah sosok keibuan yang bisa menjadi penyeimbang bagi kehidupan Achmad Bakrie. Tentu dalam kehidupan menjadi seorang pebisnis, tidak selalu kelancaran yang ia temukan. Seringkali hambatan yang membuat kepala pusing tujuh keliling juga ditemukan. Di saat-saat seperti itulah Ibu Roosniah Nasution menjadi penyeimbang dengan cara membesarkan hati seorang Achmad Bakrie, hingga dirinya bersemangat lagi dan tak patah arang dengan kegagalan.

“Saya senang, dan saya tak merasa salah pilih. Istri saya sangat membantu dan selalu mengoreksi kepincangan-kepincangan dalam norma-norma hidup, bukan dalam bidang usaha. Roos dan Odi, dua wanita yang selalu saya dengar,” begitu tutur Achmad Bakrie dalam Buku “Achmad Bakrie: Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan”.

Kehidupan keluarga dua sejoli ini sangat membahagiakan dan terasa sempurna. Tetapi tidak lengkap rasanya kehidupan sebuah keluarga jika hanya dilewati berdua bersama orang terkasih. Harus ada buah cinta sebagai pelengkap kebahagiaan, sebagai inspirasi dan penambah harapan dalam kehidupan. Hingga selang satu tahun kemudian pada 15 November 1986, seorang bayi kecil nan lucu hadir di tengah-tengah mereka.

Adzan dikumandangkan oleh Achmad Bakrie di telinga anak pertamanya ini, anak yang ia harapkan akan memberinya kebahagiaan yang tiada tara sebagai orang tua. Saat diadzankan di telinganya, bayi Aburizal Bakrie hanya bisa tersenyum, menikmati panggilan Illahiah yang terdengar pertama kali ketika ia keluar di muka bumi. Achmad Bakrie meneteskan air mata kala mengumandangkan kalimat Illahiah ke telinga anaknya. Ia bersyukur sekaligus merasa bahwa Allah SWT sangat menyayangi dirinya dan keluarganya. Ini kenikmatan yang tiada tara, seakan seluruh penantiannya terhadap hidup terbayar tunai hari ini. 15 November 1946 tidak akan pernah dilupakan oleh Achmad Bakrie sebagai hari paling diberkati selama ia hidup di dunia ini.

Anak bayi menggemaskan itu kemudian diberi nama Aburizal Bakrie oleh sang ayah, Achmad Bakrie. Anak itu menjadi pelita harapan dari kehidupan yang begitu gempita dari pasangan Achmad Bakrie dan Roosniah Nasution. Segalanya telah lengkap sekarang dengan kehadiran Aburizal Bakrie kecil. Anak kecil ini yang kelak akan menjadi nadi dari kehidupan ribuan orang di Indonesia. Anak kecil ini yang kelak akan menjadi salah satu motor penggerak dari dunia perpolitikan di Indonesia.

Aburizal Bakrie atau yang seringkali disapa dengan nama Ical ini benar-benar menjelma menjadi kebanggaan Achmad Bakrie dan Roosniah Nasution. Saban kali berkunjung ke rumah sanak saudara atau teman, Achmad Bakrie selalu membawa Ical kecil. Ia selalu membicarakan Ical kecil yang sudah bisa berjalan, bisa tertawa, bisa memainkan mata dengan berkali kedipan dan kebisaan-kebisaan lainnya yang sebenarnya normal bagi manusia biasa.

Tetapi bagi seorang ayah, ketika sang bayi dengan jemari kecilnya bisa menggenggam tangannya saja sudah menjadi sebuah hal yang menakjubkan. Sang ayah akan mengumumkan ini ke seluruh dunia sebagai sebuah fatamorgana dari keajaiban Tuhan kepadanya. Ical Bakrie pun menjadi objek dari ketakjuban dari kedua orang tuanya, Achmad Bakrie dan Roosniah Nasution. Selain itu, kehadiran Ical kecil benar-benar membuat daya seorang Achmad Bakrie berkali lipat lebih besar. Otak dan energinya sebagai manusia dioptimalkannya untuk mengembangkan usaha lebih besar lagi. Harapannya satu, anak pertamanya ini akan mendapat kehidupan yang baik, kehidupan yang paling layak. Seperti itulah cara Achmad Bakrie membalas karunia Tuhan yang telah diberikan padanya.

Setelah tahun 1950, atas dorongan motivasi yang besar dengan kehadiran si kecil Ical, putra pertamanya, bisnis yang dirintis Achmad Bakrie semakin berkembang. Pada 1952, perusahaan yang didirikan secara pribadi bernama NV Bakrie & Brother didirikan. Dua dekade kemudian, status NV berubah menjadi PT atau perseroan terbatas. Modal yang disetor kepada negara semakin besar, Achmad Bakrie menjelma menjadi salah satu pengusaha kakap di Indonesia. Bisnisnya juga termasuk penggilingan beras di Lampung dan getah karet hingga pabrik pipa baja serta kawat. Bakrie termasuk pengusaha yang mulai menonjol lini bisnisnya di zaman Orde Lama, seperti juga Gobel.

Achmad Bakrie, menurut Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Takbir Perselingkuhan dan Penguasa (2017), adalah salah satu grup manufaktur pribumi yang besar. “Achmad Bakrie mendapat keuntungan dari Program [ekonomi] Benteng yang diberikan kepada pengusaha pribumi setelah kemerdekaan dideklarasikan pada 1945, dan mengambil bisnis baja yang dinasionalisasi dari Belanda,” tulis Joe Studwell.

Ical kecil dididik seperti anak kebanyakan, yang membuat didikan kedua orangtuanya spesial adalah nilai-nilai dan spirit yang selalu dikatakan Achmad Bakrie dan Roosniah Nasution kepadanya. Nilai dan spirit yang seringkali disampaikan oleh kedua orang tuanya itu membekas benar di kepala seorang Aburizal Bakrie. Ia masih memegang nilai dan prinsip itu sampai sekarang. Bagi Aburizal Bakrie, tiada warisan yang lebih bermanfaat dibanding dengan nilai atau ajaran dari orang tua kita.

“Apa yang mereka ajarkan itu harus kita laksanakan. Mereka selalu mengatakan untuk baik hati pada semua orang. Tidak ada perbedaan harkat derajat, jangan sombong, tidak pantang menyerah, dan itu teladan-teladan yang harus kita ajarkan kepada cucu-cucu kita,” begitu dikatakan Ical seperti dikutip dari pemberitaan viva.co.id berjudul “Ical Berbagi Cerita Masa Kecil” tanggal 3 Mei 2012.

Selain nilai-nilai tersebut, Aburizal Bakrie juga menyebut bahwa suasana keluarga yang harmonis dan kasih sayang memiliki peran penting untuk membentuk karakter diri. Ia yang sekarang berdiri sebagai seorang pengusaha sukses seperti sekarang merupakan hasil dari keluarga yang harmonis. Keluarga yang harmonis akan membentuk pribadi yang tenang, pribadi yang seimbang antara logika dan kemampuan hati.

Di samping itu, Aburizal Bakrie sejak kecil oleh orang tuanya juga diajarkan mengenai cara berdisiplin waktu. Hal itu menjadi penting di kemudian hari kala Aburizal Bakrie menjadi seorang pengusaha sukses. Ia jadi tahu bagaimana cara mengatur waktu tanpa harus menyiakan sedetik pun yang dimilikinya. Atas kedisiplinan yang sudah ditanamkan oleh orang tuanya sedari kecil, Aburizal Bakrie jadi memahami dirinya sendiri, memahami batas dan apa yang harus dilakukannya ketika masalah sedang mendera. Salah satunya adalah pribadinya menjadi tidak mudah menyerah, karakter satu ini jelas diturunkan dari Achmad Bakrie kepada Aburizal Bakrie, baik secara genetik ataupun secara langsung melalui teladan sikap.

“Masalah bagi waktu udah biasa dari dulu ya, 24 jam sehari. Tergantung kita cara bagi waktunya gimana. Insya Allah, manajemen waktu bisa. Saya dididik dari kecil, satu jam ngaji, satu jam belajar, dan sebagainya. Selain itu, jangan pantang menyerah, kalau ada kegelapan, jangan mengeluh, tapi kita ambil pelita untuk menerangi kegelapan itu,,” tuturnya.

Dalam perjalanan waktu, Achmad Bakrie tidak hanya memiliki Aburizal Bakrie sebagai putra. Ia juga memiliki tiga anak lainnya. Ketiga anak tersebut adalah Roosmania Odi Bakrie sebagai anak kedua, Indra Usmansyah Bakrie anak ketiga dan Nirwan Dermawan Bakrie. Keempat anak Achmad Bakrie tersebut menjadi orang yang sukses di bidang masing-masing. Sempurnanya hidup keluarga ini tentu tidak semulus yang terlihat, selalu ada masalah dan kegelapan yang terkadang menaungi, tetapi prinsip serta nilai yang diajarkan oleh Achmad Bakrie dan Roosniah Nasution membuat keempat anaknya berdiri tegak hingga hari ini. Seperti yang Aburizal Bakrie katakan kalau ada kegelapan, jangan mengeluh, tapi kita harus ambil pelita untuk menerangi kegelapan itu.

Sumber:
– Petrik Matanasi, “Achmad Bakrie dan Kejayaan yang Bermula dari Jualan Roti” (https://tirto.id/achmad-bakrie-dan-kejayaan-yang-bermula-dari-jualan-roti-cw51, diakses pada Desember 2023)
Syafruddin Pohan, “Achmad Bakrie : Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan”, (Jakarta : Kelompok Usaha Bakrie, 1992)
NN, “Tentang Haji Achmad Bakrie”, (https://www.viva.co.id/arsip/82078-tentang-haji-achmad-bakrie, diakses pada Desember 2023)
NN, “Saat Roosniah Bakrie Terkekeh karena Ical”, (https://www.viva.co.id/berita/nasional/297955-saat-roosniah-bakrie-terkekeh-karena-ical, diakses pada Desember 2023)
Finalia Kodrati, “Ical Berbagi Cerita Masa Kecil” (https://www.viva.co.id/showbiz/310073-aburizal-bakrie-berbagi-cerita-masa-kecil, diakses pada Desember 2023)