DPP  

78 Tahun Aburizal Bakrie – Pengusaha, Era Reformasi dan Kemerdekaan Berpendapat (VII)

Berita GolkarEkonomi Indonesia sedang berada pada puncaknya di penghujung 1996. Hampir semua indikator kemakmuran terpenuhi: Pertumbuhan ekonomi mengesankan, inflasi terkendali, investasi mengalir deras, ekspor tumbuh pesat, kemiskinan berkurang, dan cadangan devisa terus meningkat. Puja-puji terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalir, termasuk dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia.

Maka dari itu, pada awal tahun 1997, Aburizal Bakrie berani mencanangkan diri bersama perusahaan yang dikelolanya Bakrie & Brothers untuk menjadi perusahaan dunia. Segala yang dikatakannya merupakan gambaran optimisme seorang pengusaha terhadap iklim bisnis di dalam negeri. Saat itu, ikrar Aburizal Bakrie untuk menjadikan Bakrie & Brothers sebagai perusahaan raksasa dunia dipercayai oleh berbagai kelompok elemen bangsa.

Mulai dari pengusaha, investor, insan pers, bahkan mereka yang duduk di pemerintahan. Aburizal Bakrie dianggap sebagai simbol dari keberhasilan bagaimana pembangunan era Orde Baru mengangkat derajat pribumi.

Bukan masa Orde Baru yang sebenarnya memulai mengistimewakan para pengusaha pribumi, kebijakan nasionalisme aset pasca penjajahan Belanda sudah dimulai sejak era Orde Lama Presiden Soekarno sebagaimana dijelaskan oleh Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Takbir Perselingkuhan dan Penguasa (2017).

Saat itu banyak pengusaha pribumi yang mendapat keuntungan dari adanya nasionalisasi aset kolonial, Bakrie Grup yang kala itu dipimpin Achmad Bakrie merupakan salah satu grup manufaktur pribumi yang besar. “Achmad mendapat keuntungan dari Program [ekonomi] Benteng yang diberikan kepada pengusaha pribumi setelah kemerdekaan dideklarasikan pada 1945, dan mengambil bisnis baja yang dinasionalisasi dari Belanda,” tulis Joe Studwell.

Pada tahun 1966, Indonesia diguncang oleh krisis politik akibat adanya Gerakan 30 September di tahun 1965. Selain itu, kondisi ekonomi di tahun 1966 juga tak ubahnya neraka bagi Indonesia.

Hiperinflasi terjadi, kenaikan harga bisa mencapai lebih dari 600% ketika itu. Pemerintahan Orde Lama tergagap menghadapinya, apalagi ada instabilitas politik pasca Gerakan 30 September. Kondisi ini sempurna untuk terwujudnya sebuah perubahan secara sistemik dari rezim pemerintahan. Orde Lama runtuh, berganti dengan Orde Baru.

Dalam menghadapi tingginya inflasi dan menggerakkan kembali roda perekonomian, pemerintah menyusun rencana program stabilisasi ekonomi komprehensif yang diberi nama Paket Kebijakan Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (Paket Oktober 1966).

Paket tersebut terdiri dari 4 fokus kebijakan antara lain, kebijakan ‘dekontrol’ merombak sistem komando menjadi mekanisme pasar, dengan Dengan membekukan peran investasi asing dan dalam negeri serta menerbitkan UU Penanaman Modal Asing/PMA (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN (1968).

Kebijakan Disiplin Fiskal dan Anggaran Berimbang yang menekankan penghematan belanja Negara dan subsisi, kemudian kebijakan moneter sebagai pengendali uang beredar, yakni dengan menaikkan suku bunga bank, suku bunga kredit (rata-rata naik 6-9 persen per bulan), Suku bunga simpanan (rata-rata naik 5 persen perbulan).

Memulihkan neraca pembayaran juga menjadi kebijakan ekonomi dengan cara memperlancar ekspor impor, sistem kurs tunggal melalui mekanisme pasar, meningkatkan arus dana masuk, dan negosiasi utang luar negeri.

Atas kebijakan tersebut, Di era Soeharto Inflasi mengalami penurunan dari angka 635,3 persen pada tahun 1966 menjadi 9,9 persen pada tahun 1969. Uang yang beredar pun berkurang dari 763 persen (1966) menjadi 121 (1968). Pengurangan beredarnya uang dilakukan dengan cara menekan penciptaan uang melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan kredit bank.

Meski perlahan paket kebijakan itu bisa memadamkan api penderitaan rakyat, tetapi, skandal kontroversial penumpasan mereka yang terlibat dalam Gerakan 30 September menjadi bensin tambahan dari amuk rakyat. Orde Lama tidak sanggup menahan dinamika politik dan ekonomi yang datang secara bersamaan. Alhasil, Presiden Soekarno melimpahkan kekuasaan dan perintah untuk menjaga keamanan pada Soeharto.

Entah ini yang dinamakan karma atau apa, yang jelas sejarah itu kembali terulang. Keruntuhan rezim akibat gejolak ekonomi juga menimpa Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

Indikator makro ekonomi memang tidak menunjukkan tanda kekurangan. Hanya tingkat inflasi yang menjadi perhatian, tetapi itu dianggap sebagai efek dari pertumbuhan ekonomi tinggi. Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru terus berada dalam tren meningkat. Jika pada akhir 1995 di level 514, pada Juli 1997 berada di level 720.

Tingkat kemiskinan juga turun tajam. Di awal pemerintahan Soeharto, tingkat kemiskinan mencapai 60%. Tiga puluh tahun kemudian, pada 1996, tingkat kemiskinan sudah berhasil ditekan menjadi 11% dan Indonesia sedang bersiap menyambut zaman baru yang dinamakan ‘Era Tinggal Landas’.

Semua angka-angka membanggakan itu lantas luluh lantak menjadi kepingan-kepingan penderitaan dalam waktu satu malam. Pada Juli 1997 Thailand dilanda krisis. Mata uang baht tiba-tiba anjlok. Sebelumnya, selama 25 tahun, Thailand mematok mata uangnya sebesar 25 baht per dolar AS. Memasuki 1996, defisit neraca berjalan Thailand meroket. Baht dinilai sudah overvalued.

Pemerintah Thailand pun melakukan devaluasi baht pada 2 Juli 1997 dan langsung memicu aksi spekulasi besar-besaran. Pemerintah Thailand berupaya mempertahankan pematokan mata uang dengan melakukan intervensi membeli baht, namun upaya ini tak berhasil. Thailand kemudian menurunkan pematokan mata uang dan mengenalkan sistem mengambang. Baht langsung anjlok terhadap dolar. Krisis di Thailand merembet ke negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.

Thee Kian Wie dalam The Emergence of A National Economy (2002: 236) menyebutkan negara-negara Asia Tenggara menjadi sasaran spekulan internasional. Ada dua hal yang memicu yakni pematokan mata uang yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini dan terjadinya “gelembung ekonomi”.

Serangan para spekulan membuat mata uang di Asia Tenggara semakin jatuh. Pada 11 Juli Filipina akhirnya ikut-ikutan pula mengambangkan mata uang peso untuk mengatasi kejatuhan mata uangnya. Sementara Indonesia baru sebatas memperlebar range pergerakan rupiah dari 8% menjadi 12%.

Setelah kisaran pergerakan rupiah diperlebar, mata uang ini malah anjlok hingga 7%. Ketidakstabilan mata uang di kawasan Asia Tenggara membuat para manajer keuangan internasional menarik dana mereka termasuk kelompok George Soros yang membuat pasar modal dan pasar uang kehilangan daya belinya. Pasar kompak menjual mata uang rupiah. Praktis mata uang ini makin terpuruk.

Memasuki pertengahan tahun 1997 Indonesia meninggalkan sistem kurs terkendali. Penyebabnya, cadangan devisa Indonesia rontok karena terus-terusan menjaga dolar AS bisa bertahan di Rp 2.000-2.500. Setelah memakai kurs mengambang, dolar AS secara perlahan mulai merangkak ke Rp 4.000 di akhir 1997, lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998. Setelah sempat mencapai Rp 13.000, dolar AS sedikit menjinak dan kembali menyentuh Rp 8.000 pada April 1998.

Di Mei 1998 Indonesia memasuki periode kelam. Penembakan mahasiswa, kerusuhan massa, dan kejatuhan Orde Baru membuat rupiah ‘terkapar’ lagi. Dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di Rp 16.650 pada Juni 1998. Anjloknya nilai tukar dan geger ekonomi membuat inflasi 1998 melambung menjadi 77,63%. Pertumbuhan ekonomi di 1998 bahkan -13%.

Selama periode 1992 hingga Juli 1997, sekitar 85 persen dari kenaikan utang luar negeri berkaitan dengan pinjaman sektor swasta. Per Desember 1997 utang yang akan jatuh tempo selama kurang dari satu tahun mencapai 20,8 miliar dolar AS. Rata-rata jatuh tempo utang itu adalah 18 bulan.

Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) menyebutkan yang membuat kondisi ekonomi semakin parah adalah karena data terkait utang swasta tidak tersedia secara akurat pada saat itu. Hal ini menyulitkan pemerintah untuk melakukan restrukturisasi. Saat pemerintah menyiapkan program dengan IMF, diadakan survei cepat untuk mengetahui besaran dan komposisi utang.

Hasilnya, utang luar negeri swasta jangka pendek yang harus dibayar kurang dari 1 tahun mencapai 33 miliar dolar AS. Nilai ini jauh lebih besar ketimbang cadangan devisa pemerintah. Parahnya lagi, utang swasta itu sebagian besar tidak diproteksi lindung nilai. Korporasi malas menerapkan hedging untuk menekan biaya dan meraup untung besar.

Kondisi lain yang memperburuk keadaan, menurut Boediono, adalah lemahnya tata kelola perbankan. Sistem perbankan tidak memiliki mekanisme “early warning” atas kondisi kesehatan finansial perbankan. Banyak pelanggaran terjadi tanpa penegakan aturan yang tegas. Banyak bank yang tidak memiliki kecukupan modal, beberapa dalam kondisi insolvent menjelang krisis.

Saat rupiah mulai terdepresiasi, bank dalam kondisi yang buruk untuk menyerap pelemahan pada portofolionya. Krisis finansial membuka borok lemahnya sistem perbankan di Indonesia. Perbankan yang merupakan jantung perekonomian Indonesia sekaligus menjadi titik terlemah. Saat krisis keuangan terjadi, sistem perbankan yang lemah akhirnya tumbang dan efeknya merembet ke berbagai lini perekonomian Indonesia.

Keruntuhan rezim Orde Baru yang kemudian menghantam pula kondisi ekonomi dan fundamental politik bangsa membuat segala dimensi kebangsaan berubah. Rakyat menyambut dengan gegap gempita kala era reformasi mulai digulirkan. Bagi rakyat, reformasi hanya bermakna tunggal, ‘kebebasan’, begitu rakyat memaknai mengapa mereka harus turun ke jalan mendukung gerakan reformasi yang hendak menuntut mundur Presiden Ke-2 RI, Soeharto.

Dengan lengsernya Presiden Soeharto, rakyat berharap tatanan baru terwujud, era reformasi yang didengungkan barisan gerakan mahasiswa berhasil mengisi relung hati dan pikiran masyarakat kalau rezim ini memang sudah selayaknya disudahi. Pertaruhannya besar, Indonesia benar-benar limbung kala itu.

Lalu di mana Aburizal Bakrie berada kala masa reformasi? Sebagian sudah dibahas pada bab sebelumnya. Aburizal Bakrie turut bertarung dalam upaya memulihkan perekonomian bangsa, tidak secara langsung memang. Tetapi kontribusi dari perusahaannya amat dirasakan oleh bumi pertiwi. Andai saat itu Bakrie & Brothers ikutan collapse maka berapa ribu karyawan yang dirumahkan? Mereka akan menambah daftar panjang orang-orang yang harus ditanggung negara. Tetapi negara juga sedang sulit, pada akhirnya nanti, mereka korban PHK akan ikut turun ke jalan untuk bersuara bersama mahasiswa menuntut mundurnya rezim Orde Baru.

Selain berusaha menyelamatkan bisnisnya dari ancaman bangkrut, Aburizal Bakrie pada reformasi 1998 turut aktif di parlemen sebagai anggota MPR RI. Ia menjadi anggota MPR RI dari jalur utusan golongan, bukan membawa nama partai politik. Aburizal Bakrie duduk di MPR pada periode 1988-1993 dan 1993–1998.

Maka sudah jelas ada di mana ia saat reformasi terjadi. Sikapnya pun serupa dengan rakyat yang berada di gedung parlemen saat itu. Tidak secara implisit menginginkan runtuhnya Orde Baru, tetapi Aburizal Bakrie sepakat pemerintah Indonesia melakukan pembenahan struktural dalam bidang ekonomi agar situasi terkendali.

Namun sayang, akibat situasi yang berlarut-larut ditambah isu politik tentang demokrasi menggema di sela tuntutan mahasiswa. Pembenahan struktural tak kunjung terjadi. Pada Mei 1998, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional yakni tanggal 21 Mei, karena situasi yang tak kunjung bisa dikendalikan, Presiden RI Ke-2 Soeharto menyatakan pengunduran dirinya.

Pengunduran diri Soeharto itu disambut gegap gempita mahasiswa yang memenuhi pelataran gedung DPR-MPR Jakarta. Mereka pun bersorak, berpesta, berbahagia dengan pernyataan pengunduran diri Presiden Soeharto. Hal yang selama ini mereka nantikan, yakni kebebasan berpendapat ada di depan mata. Maklum saja, di masa Orde Baru, pendapat dan opini publik sangat dibatasi geraknya. Orde Baru menginginkan stabilitas politik untuk menjaga gerak ekonomi dan pembangunan tetap pada jalurnya. Alhasil saluran suara publik dibendung.

Bagi Aburizal Bakrie, pergantian rezim dan sistem ini bisa jadi sebuah petaka, bisa pula menjadi sebuah berkah. Ia melihat dari bagaimana sisi dunia usaha akan berjalan nantinya. Petaka akan datang apabila sosok pengganti setelah Soeharto tidak lebih baik dari presiden yang telah 32 tahun itu berkuasa. Ekonomi akan semakin jatuh, kerusuhan terjadi di mana-mana, bayangan terparah adalah separatisme merebak, tuntutan daerah memisahkan dari Indonesia bisa saja mengemuka ke permukaan.

Untungnya Indonesia memiliki seorang teknokrat sekaliber BJ. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Soeharto. Ketika Soeharto lengser, Habibie lah yang menggantikannya.

Optimisme kembali terpancar dari mata Aburizal Bakrie ketika mendapati BJ Habibie memimpin Indonesia. Insinyur yang sangat ingin mengembangkan dunia kedirgantaraan di Indonesia itu mengubah wajah Indonesia dalam waktu singkat, kurang dari 2 tahun ia menjadi presiden sampai pada rumusan Pemilu selesai dibahas di Parlemen pada tahun 1999.

Selama masa dua tahun itu, BJ Habibie kebebasan pers dibuka luas. Pemerintah tidak bisa lagi melakukan pembredelan media, tidak perlu SIUPP lagi untuk menjadi usaha penerbitan pers. Selain itu, dalam waktu masa jabatan yang cukup singkat, Habibie berhasil menurunkan nilai tukar rupiah dari sebelumnya 17.500 per dollar saat di ujung masa jabatan Soeharto menjadi Rp6.500 sebelum dirinya digantikan oleh Abdurrahman Wahid. Selain itu, di masa pemerintahannya, Bank Indonesia (BI) dilepas dari pemerintahan, sehingga bisa independen dalam membuat kebijakan.

BJ Habibie bagi seorang Aburizal Bakrie memiliki tempat yang istimewa di hatinya. Tidak hanya dipandang sebagai senior di kancah perpolitikan, banyak hal yang Aburizal Bakrie teladani dari sosok seorang Habibie. Salah satunya adalah sifat suportif. Bagaimana tidak, Habibie menepati janjinya untuk hanya mengawali pemerintahan transisi ini. Padahal ia bisa saja memperpanjang masa jabatannya saat itu. Tapi Habibie memilih untuk komitmen terhadap janjinya kepada rakyat. 2 tahun kemudian, Habibie berhasil melaksanakan Pemilu demokratis pertama di Indonesia.

Dikatakan demokratis karena saluran publik dibuka lebar, partai-partai yang ada tidak hanya berjumlah tiga. Pada Pemilu 1999, ada 48 partai politik yang mengikuti kontestasi. Meskipun sebagian dari partai-partai politik itu hanya menjadi penghibur, setidaknya Habibie berhasil mempertahankan citranya yang amanah.

Era reformasi bagi Aburizal Bakrie justru menjadi peluang baru, bisnisnya pun perlahan kembali menanjak. Reformasi ternyata membuka lebih banyak lagi kesempatan baru. Bisnis media dan informasi telah menarik minatnya. Nalurinya mengatakan bahwa di masa depan, bisnis media dan informasi menjadi sekrup usaha yang primer. Hal itu sejalan dengan pemahaman Aburizal bakrie bahwa dunia semakin maju, teknologi semakin berkembang. Jika teknologi berkembang, maka yang akan terciprat profit secara ekonomi tentu adalah perusahaan media informasi, teknologi, dan sebagainya.

Terkait dengan dibukanya saluran publik dan semakin mudahnya mengurus perusahaan media, Aburizal Bakrie yang sebelumnya telah memiliki satu stasiun televisi yakni ANTV kembali melirik bisnis di bidang media. Kali ini sebuah televisi milik Abdul Latif yang bernama Lativi ia akuisisi pada medio tahun 2008, Bakrie Grup resmi memiliki stasiun televisi ini. Televisi Lativi yang tadinya bernuansa saluran hiburan disulap oleh Aburizal Bakrie sebagai stasiun televisi berbasis pemberitaan. Namanya pun berubah, dari Lativi menjadi TVOne di bawah pengelolaan PT. Visi Media Asia.

Sejak awal pergantiannya dari Lativi menjadi TVOne, Aburizal Bakrie bercita-cita menyajikan informasi dan kebenaran yang utuh dengan media yang dimilikinya. TV One kemudian menjelma dengan 70% program berita, sisanya gabungan program olahraga dan hiburan. Praktis hingga kini, ada tiga saluran televisi yang berbasis pada konten dengan dominasi pemberitaan, yakni MetroTV, TVOne, dan MNC TV.

Terkait dengan potensi bisnis di bidang media, informasi dan teknologi, Aburizal Bakrie berdasarkan naluri yang ia miliki, sebelumnya juga telah mendirikan sebuah perusahaan telekomunikasi yang bernama PT. Bakrie Telecom. Perusahaan ini yang kelak memproduksi telepon genggam harga rakyat dengan merek Esia.

Bakrie Telecom didirikan pada 13 Agustus 1993, sahamnya dimiliki secara patungan oleh PT Bakrie Electronics (yang sahamnya dimiliki oleh Bakrie & Brothers) dan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) dengan masing-masing saham sebesar 55% dan 45%.

Didirikannya perusahaan ini, tidak lain merupakan bentuk dari liberalisasi pada industri telekomunikasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak awal 1990-an. Awalnya, Bakrie mendapatkan izin pada 1989 untuk melengkapi jaringan telekomunikasi di Jakarta dengan skema bagi hasil dengan Telkom, tetapi sepertinya baru pada 1993 kerjasamanya bisa terwujud.

Dan era reformasi yang membuka kesempatan baru membuat Bakrie Telecom pernah sangat sukses di masanya. Ketika era smartphone generasi pertama bermunculan, Bakrie Telecom justru mengambil pangsa pasar lain, yakni masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan penawaran harga ponsel dan biaya pengiriman SMS yang sangat murah. Esia pernah menjadi favorit pelajar pada masanya.

Aburizal Bakrie memang serupa dengan ayahnya, ia selalu cerdas dalam membaca peluang. Pada masa krisis pun ia bisa membalikkan keadaan dengan sisa-sisa energi yang tidak seberapa. Banyak yang mengatakan bahwa bukan bakat bisnis yang membuat Aburizal Bakrie bisa bangkit dari keterpurukan, tetapi analisisnya terhadap keadaan lah yang membuat ia mampu bertahan dalam segala cuaca dan kondisi. Keadaan yang dimaksud adalah lekat dengan kekuasaan.

Lekat dan dekat dengan kekuasaan membuat seorang Aburizal Bakrie bisa muncul dan bersembunyi di balik tembok tebal dinding kekuasaan. Jika merasa posisinya terancam, ia bisa menggunakan jejaringnya di lingkaran kekuasaan untuk melindunginya. Pun sebaliknya, jika ia sedang berada di atas awan, Aburizal Bakrie yang menarik lingkaran kekuasaan untuk terbang bersamanya. Itu simbiosis mutualisme yang Aburizal Bakrie jalankan. Benarkan demikian? Apakah ia hanya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya? Atau justru Aburizal Bakrie memiliki maksud lain yang tidak banyak orang lain ketahui. Maksudnya baru diketahui dan terbaca oleh orang banyak ketika secara praktis ia terjun ke dunia politik.

Sumber:
Petrik Matanasi, “Achmad Bakrie dan Kejayaan yang Bermula dari Jualan Roti”, Tirto.id
Andrean W. Finaka, “Masa Pemerintahan Soeharto : Ekonomi Pembangunan”, (https://indonesiabaik.id/infografis/masa-pemerintahan-soeharto-ekonomi-pembangunan, diakses pada Januari 2024)
Nurul Qomariyah Pramisti, “Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia”, (https://tirto.id/krisis-moneter-1997-1998-adalah-periode-terkelam-ekonomi-indonesia-f6YV, diakses pada Januari 2024)
– Prof. DR. Boediono, “Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah” (Bandung, Mizan Pustaka: 2016)
– Sukma Kanthi Nurani, “Peran BJ Habibie di Masa Pemerintahannya: Kebebasan Pers, Reformasi Hukum, hingga Pelepasan Timor Timur”, (https://nasional.tempo.co/read/1884006/peran-bj-habibie-di-masa-pemerintahannya-kebebasan-pers-reformasi-hukum-hingga-pelepasan-timor-timur, diakses pada Januari 2024)
Hendrik Khoirul Muhid, “25 Tahun Silam, 7 Juni 1999 Kali Pertama Pemilu Digelar di Era Reformasi Diikuti 48 Partai Politik”, (https://nasional.tempo.co/read/1877182/25-tahun-silam-7-juni-1999-kali-pertama-pemilu-digelar-di-era-reformasi-diikuti-48-partai-politik, diakses pada Januari 2024)
– NN, “Lativi Segera Beralih ke ANTV”, (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-651035/lativi-segera-beralih-ke-antv, diakses pada Januari 2024)
– Wikipedia, “Bakrie Group”, (https://id.wikipedia.org/wiki/Bakrie_Group, diakses pada Januari 2024)
Wikipedia, “tvOne”, (https://id.wikipedia.org/wiki/TvOne, diakses pada Januari 2024)