Berita Golkar – Pakar hukum tata negara, Prof Jimly Asshiddiqie gemes melihat ruwetnya pembentukan koalisi Pilpres 2024. Salah satu yang paling disorot Jimly, terkait ribetnya Capres yang sudah diusung koalisi parpol untuk memilih Cawapres.
Agar keribetan ini, tak terulang pada Pilpres 2029 dan selanjutnya, Jimly yang pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, mengusulkan agar Cawapres dipilih MPR saja. Pilpres cukup memilih Capres.
Saat ini, ada tiga bakal Capres yang muncul: Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Semua partai koalisi Capres, rebutan ingin jagoannya jadi Cawapres.
Banyak drama dalam penentuan Cawapres. Yang terbaru adalah keputusan Anies berduet dengan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Keputusan Anies ini membuat Demokrat marah. Pasalnya, Ketua Umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) gagal jadi Cawapres. Kondisi ini membuat Koalisi Perubahan acak-acakan. Demokrat memilih mundur dari koalisi Anies.
Sebagian masyarakat pun gemes melihat proses yang seperti ini. “Nonton ribetnya transaksi jabatan Capres dan Cawapres,” kata Prof Jimly, membuka ulasannya, di akun Twitternya @JimlyAs.
Dia mengusulkan, instrumen Pilpres untuk 2029 diubah. Pertama, setiap parpol atau gabungan parpol peserta Pemilihan Legislatif, diberikan hak untuk mengajukan Capres sendiri-sendiri.
Kedua, hanya Capres yang dipilih rakyat. Cawapresnya dipilih MPR. “Cawapres lebih baik dipilih MPR, dari dua calon yang diajukan Presiden terpilih,” usul mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.
Lantas, bagaimana politisi melihat usulan ini? Berikut wawancara dengan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Firman Soebagyo mengenai hal ini.
Jimly Asshiddiqie mengusulkan agar Cawapres dipilih MPR. Tanggapan Anda?
Tidak sesederhana itu cara berpikirnya. Pemilihan Capres-Cawapres secara langsung oleh rakyat, adalah konsekuensi dari sistem politik yang telah kita sepakati saat reformasi.
Bukankah usulan ini bertujuan baik, menghindari polemik penentuan Cawapres?
Penentuan Cawapres dalam koalisi, memang tidak mudah.
Untuk mengatasinya, koalisi harus punya kesamaan ideologi, dan ada persyaratan lain. Baik yang tersurat maupun tersirat.
Yang tersurat itu gampang. Tinggal diketik dan ditandatangani, selesai. Tapi, yang tersirat itu kita tidak tahu pasti.
Apa persoalan mendasar di balik kesulitan ini?
Presidential threshold, 20 persen kursi DPR. Partai politik, mau tidak mau harus melakukan koalisi untuk memenuhi syarat itu. Lalu, terjadilah kesulitan menentukan Cawapres dalam koalisi.
Kalau pun ada partai yang memiliki 20 persen sendiri, Pilpres itu tidak hanya soal kekuatan figur, tapi perlu kekuatan politik praktis di lapangan yang dapat digerakkan menjadi tim sukses. Kalau tidak mau ribet, apakah presidential threshold-nya dinolkan, atau ada mekanisme lain.
Perubahan seperti itu, sulit ya?
Pemilihan Wakil Presiden oleh MPR itu kan mengubah konstitusi lagi. Memilih langsung kan esensinya adalah memilih dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Itu pemahamannya.
Apa yang Anda khawatirkan jika usulan ini terwujud?
Apakah nanti kalau dipilih oleh MPR tidak akan ribet juga. Di MPR juga akan ada bergaining yang dilakukan anggota MPR. Misalnya kalau DPD (Dewan Perwakilan Daerah) ingin mengusung calonnya, dari partai ingin mencalonkan kelompoknya. Akhirnya saling kuat-kuatan.
Mungkinkah pemilihan di MPR itu bisa meminimalisir politik transaksional?
Apakah di MPR itu tak ada transaksional. Kami ini kan politisi tiga zaman. Zaman Orde Baru, reformasi sampai saat ini. Kami sedang berusaha menghindari politik transaksional. {sumber}