Berita Golkar – Setiap kali Pemilu usai dihelat, akan selalu ada cerita panjang, mengenai partai politik tertua di Indonesia, Partai Golkar. Cerita itu bisa menjadi suram, bisa menjadi temaram. Pada akhirnya, semua menantikan bagaimana Partai Golkar merengkuh masa depan.
Sebetulnya hampir semua partai di Indonesia, pasca Pemilu pasti akan menampilkan suguhan tontonan politik dengan latar yang beragam. Mereka biasanya bakal menggelar forum internal yang menjadi puncak pengambilan keputusan tertinggi lembaga kepartaian. Semacam Munas, Muktamar, Kongres, Mubes ataupun istilah sejenis dengan definisi tak jauh berbeda.
Dari semua tontonan panggung politik yang tersaji itu, agaknya hanya Partai Golkar yang memberikan tontonan sekaligus hiburan. Pasalnya, setiap kali Partai Golkar menggelar Munas sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan di tingkatan pengurus pusat, akan selalu ada drama yang disajikan. Meski kemudian, Partai Golkar pula yang membentuk akhir cerita menjadi membahagiakan.
Tak perlu jauh melirik ke belakang ketika Partai Golkar secara implisit menjadi kendaraan politik Orde Baru, cukup melihat sesaat setelah era reformasi dan demokrasi dilaksanakan dengan tegak. Beberapa kali dalam agenda Munas yang turut pula melakukan pembahasan pergantian kepemimpinan, ada pembelahan yang berbekas di tubuh Partai Golkar. Tengok saja Gerindra, Hanura, Nasdem atau PKPI, partai-partai yang menjadi saksi sejarah dari perbedaan fundamental yang tak kunjung ada penyelesaian saat forum Munas Partai Golkar berakhir.
Hanya saja, beruntung dalam lima tahun terakhir ini, sesaat setelah Pemilu 2014 usai, Partai Golkar tidak lagi melahirkan partai baru atas akibat ketidakpuasan elit politiknya dalam pertarungan pergantian kepemimpinan di Munas. Tak bisa dikatakan beruntung sebenarnya, karena meskipun tidak ada pembelahan secara kelembagaan yang sistematis, pertarungan justru mengerucut ke dalam partai dengan adanya dualisme kepemimpinan saat 2014 sampai 2016 silam.
Tanpa adanya pembelahan keluar, periode kepengurusan yang normalnya berjalan 2014 sampai 2019 ini malah menimbulkan riak cerita paling dramatis sepanjang sejarah Partai Golkar. Bisa dibayangkan, bagaimana dalam satu periode kepengurusan bisa berganti tiga kali pucuk pimpinan. Bahkan empat jika menghitung sahnya secara hukum kepengurusan Agung Laksono dalam Munas Partai Golkar 2014 di Ancol, Jakarta.
Mulai dari Munas 2014 yang digelar di Bali dan menyepakati ARB sebagai ketua umum partai, Munas di Ancol pada tahun yang sama hanya selang beberapa hari kemudian dari Munas Bali dan menghasilkan Agung Laksono sebagai ketua umum, lalu Munas 2016 di Bali yang menyepakati Setya Novanto sebagai ketua umum serta terakhir Munas di Jakarta pada 2017 yang menyetujui secara bulat Airlangga Hartarto menahkodai Partai Golkar.
Dengan konflik yang sedemikian getir, melalui alur yang rumit serta plot cerita yang sempit. Pun hanya tersisa waktu dua tahun kepengurusan, kepemimpinan Airlangga Hartarto mampu menerjang semua hantaman ombak dan badai politik tersebut. Kita tidak bisa berkata tidak, Airlangga Hartarto datang tepat waktu mengatasi krisis di Partai Golkar hingga partai ini terselamatkan, minimal tidak terlalu tenggelam ke dasar lautan.
“Tidak tenggelam ke dasar lautan” itu mengacu pada output dari kepengurusan yang dipimpin Airlangga Hartarto. Hasil, output atau indikator itu dapat terlihat pada dua agenda besar. Pertama, raihan suara Partai Golkar di DPR RI yang menempati peringkat ketiga di bawah PDIP dan Gerindra dan kedua berhasilnya Partai Golkar memenangkan calon presiden yang diusungnya pada Pemilu 2019.
Sebagai catatan, meski berada di posisi ketiga dengan raihan prosentase 14,78% suara, Partai Golkar tetap meraih kursi kedua terbanyak di DPR RI, yakni 85 kursi. Padahal, merunut pada pembahasan sebelumnya, konflik internal sampai pada dualisme kepemimpinan partai sangat telak menghantam jantung Partai Golkar.
Pembuktiannya dapat dilihat pada Pilkada serentak tahun 2015 di kala konflik berlangsung. Saat itu, Partai Golkar hanya memiliki prosentase kemenangan sebesar 34,6% atau meraih kemenangan di 93 daerah dari 269 daerah yang menggelar Pilkada. Sementara, hasil positif justru ditunjukkan saat Airlangga Hartarto memimpin, ia berhasil membawa Partai Golkar kembali menjadi jawara di Pilkada serentak dengan meraih prosentase kemenangan sebesar 53,5% atau meraih kemenangan di 54 daerah dari 101 daerah yang melangsungkan Pilkada (berdasar data Indonesian Strategic Institute-Instrat).
Mengenai Pilpres pun, adalah sebuah prestasi tersendiri jika mengingat Partai Golkar sejak era reformasi belum pernah memenangkan Pilpres melalui figur calon yang diusungnya. Baru di saat era Airlangga Hartarto lah Partai Golkar berhasil memenangkan Pilpres. Walaupun yang dimenangkan bukan merupakan kader Partai Golkar, tetapi sebuah keniscayaan bagi pencapaian politik sebuah partai dapat memenangkan kontestasi Pilpres.
Lalu bagaimana dengan alibi pertanyaan, kepimpinan Airlangga Hartarto patut dikoreksi karena raihan kursi DPR RI milik Partai Golkar yang menurun saat dirinya memimpin partai ini?
Raihan suara maupun kursi DPR RI Partai Golkar memang terus menerus turun sejak Pemilu 1999 sampai sekarang. Berdasarkan data yang penulis dapatkan, pada Pemilu 1999 Partai Golkar meraih 25,97% suara dan di Pemilu tahun 2004 meraih 23,27% suara atau turun sebesar 2,7%. Lalu di Pemilu berikutnya tahun 2009 meraih 19,11% atau turun 4,16% dari Pemilu 2004. Di Pemilu 2014 pun turun sebesar 2,86% dari Pemilu tahun 2009 menjadi 16,25%.
Penurunan yang terjadi rata-rata di atas 2%. Dan sekali lagi Airlangga Hartarto patut mendapat apresiasi, karena di periode kepemimpinannya, penurunan suara Partai Golkar berada di bawah 2%, yakni 1,7% suara atau menjadi 14,78% dari hasil Pemilu periode 2009 silam.
Agaknya konyol jika harus memaksakan istilah apresiasi untuk penurunan suara yang terjadi. Tidak ada kekonyolan apapun sebenarnya. Segala penurunan, pasti akan mengalami kenaikan ketika mencapai trend titik terendah dan timbul gejala depresi angka. Terdapat istilah rebound untuk menggambarkan hal tersebut, dalam teori keuangan juga ada teori reversal (pembalikan).
Lebih jauh, seorang matematikawan asal Italia, Leonardo Fibonacci membuat penemuan aritmatika dengan deret angka sebagai instrumen menghitung potensi terjadinya pembalikan. Jika kembali melihat trend penurunan suara Partai Golkar, maka di era Airlangga Hartarto trendnya sudah terdepresi, sehingga penurunan yang terjadi di bawah rata-rata, 2% dalam hal ini.
Kemungkinan terjadi rebound atau pembalikkan kondisi menjadi trend kenaikan sangat terbuka. Tetapi politik tentu bukan sekadar hitungan matematika. Banyak faktor lain yang mengikutinya, karena itu proyeksi ilmiah berdasarkan trend pembalikkan harus diupayakan bersama agar menjadi kenyataan.
Airlangga dan Tagline
Tagline sempat menjadi tren di kalangan politisi dalam upaya membranding citra diri juga institusi. Penggunaan tagline ini bertujuan agar memudahkan ingatan kepala manusia terhadap sebuah subjek. Misalnya ketika ada kata ‘Oke’ ingatan mungkin akan tertuju pada stasiun televisi RCTI, begitupun ketika ada kata ‘Memang Untuk Anda’ yang dahulu mencuci ingatan kita agar senantiasa mengingat stasiun televisi Indosiar.
Politik Indonesia mengamini itu dan mengadaptasinya untuk memoles citra diri. Melalui tagline, kemasan seseorang langsung bisa tergambarkan juga hingga ke isi, cara hidup, bahkan cara berbicara. Presiden Jokowi pun melekatkan hal yang sama, menggunakan tagline sebagai alat termudah membuat kita ingat padanya. Ia menggunakan istilah ‘Kerja, Kerja, Kerja’ sebagai citra diri. Mau tak mau, ingat kerja kita akan ingat Jokowi.
2014 pun para kontestan Pilpres beramai-ramai menjual tagline dirinya.
Tentu masih segar di ingatan tentang SBY yang menggunakan tagline ‘Lanjutkan!’ atau Jusuf Kalla yang menggunakan tagline ‘Lebih Cepat Lebih Baik’. Tetapi hingga sekarang, belum ada tagline yang menjadi andalan Airlangga Hartarto. Kecuali dalam ruang lingkup institusi kepartaian, Partai Golkar sempat disematkan tagline ‘Golkar Bersih’ oleh Airlangga.
Tagline tidak timbul disaat figur sudah terapung ke permukaan, tagline justru memberikan kesempatan kepada figur yang masih tenggelam untuk dapat beranjak menuju ke permukaan. Airlangga Hartarto memiliki segala potensi untuk menggunakan tagline apalagi melekatkan itu sebagai citra diri guna menguatkan dirinya yang sudah kadung di permukaan.
Jika boleh memberikan masukkan, ada sebuah hal yang menjadi prestasi terbesar bagi Airlangga di luar dari apa yang dituliskan di atas, mengenai output hasil Pilkada 2017, Pemilu dan Pilpres di 2019 kemarin. Harus diakui, Airlangga Hartarto telah berhasil memadamkan gejolak konflik dari periode sebelum masa kepemimpinannya di Partai Golkar, ini adalah keberhasilan terbesarnya. Hingga kemudian output yang dibawanya adalah angka raihan Pilkada 2017, serta Pileg serta Pilpres 2019.
Ketika Airlangga memimpin partai, spontan gerak politik partai menjadi semakin padu. Tiada lagi riak-riak konflik yang mengembung di permukaan, seolah seluruh barisan di Partai Golkar mendukungnya. Dan bagi yang melepaskan dukungan terhadap kepemimpinan Airlangga, mereka tersingkir atau menyingkir dengan sendirinya. Tidak melakukan perlawanan, apalagi pemberontakan seperti gaya Ranggawuni yang membalaskan dendam Anusapati kepada Tohjaya.
Apa yang membuat hal itu terjadi?
Saya melihat gaya kepemimpinan Airlangga yang egaliter mampu membuat semua gerbong di Partai Golkar merasa terakomodir kepentingannya. Airlangga juga mampu membangun soliditas partai secara utuh, melakukan konsolidasi internal secara komprehensif dan terukur bahkan hingga ke dasar akar rumput. Hal inilah yang menjadikan nuansa berpolitik di Partai Golkar tak lagi menjadi keruh.
Airlangga juga tak memiliki patron tertentu di dalam Partai Golkar kecuali mendiang ayahandanya. Ia berjalan sendiri, timbul tenggelam sendiri bersama kebesaran jiwanya. Pada sisi yang tak memiliki patron dan dianggap sebagai kelemahan inilah justru potensi penyatuan tersemai. Akan beda cerita jika Airlangga berpatron kepada ARB, Agung Laksono, Jusuf Kalla bahkan Habibie sekalipun. Kelompok yang bukan patronnya pasti merasa dianak-tirikan dan secara alami konflik perlahan bisa saja muncul kembali.
Mengenai kemungkinan akan terjadi konflik kembali, hal ini sudah tercium tentunya, bahkan oleh Presiden Jokowi yang beberapa waktu silam memanggil secara pribadi salah satu kompetitor kuat Airlangga untuk memperebutkan kursi Partai Golkar 1, yakni Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo. Potensi konflik juga perpecahan harus diminimalisir sedini mungkin, utamanya oleh para calon ketua umum sendiri.
Menilik dari hal tersebut, apalagi ada potensi yang bisa saja mengembalikan Partai Golkar ke dalam jeram konflik menjelang pelaksanaan Munas. Ada kiranya agar tagline Airlangga selain menjadi upaya melekatkan citra diri juga menjadi instrumen himbauan bagi segenap khalayak di Partai Golkar untuk senantiasa bersatu. Karenanya, ada baiknya Airlangga mendengungkan tagline ‘Lanjutkan Kebersamaan!’ bagi dirinya dan Partai Golkar.
Kebersamaan adalah spirit, rekahan jiwa dari persatuan. Rekam jejak Airlangga yang mumpuni merajut kebersamaan pada seluruh potensi konflik akan menjadi nilai tersendiri baginya. Selain itu, soliditas atau kebersamaan pula yang menjadikan Partai Golkar kuat hingga sekarang.
Terminologi ‘Lanjutkan’ sendiri menjadi rujukan agar Airlangga kembali memimpin Partai Golkar. Dan jika terminologi persatuan memiliki kesan kadung ideologis, ‘Kebersamaan’ lebih populis juga kekinian. Anak milenial sangat menggemari segala hal yang berbau kebersamaan. Tagline ‘Lanjutkan Kebersamaan!’ tentu tidak hanya menyasar pemilik suara pada Munas, tetapi juga khalayak umum yang terus memberi pandang pada tingkah polah Partai Golkar.
Terakhir, tagline tidaklah harus berkaca pada hasil, justru tagline semurninya menjelaskan keberhasilan dari proses dan sebisa mungkin tidak memberikan definisi eksklusif pada penggunanya. Meski tagline akan menjadi pembeda, tetapi identifikasi tagline akan lekat ketika bersifat general dan mudah dipahami.
Rezha Nata Suhandi, Sang Gerilyawan Beringin