Berita Golkar – Jejak digital bisa jadi acuan ketika SDM mencari karyawan atau saat masyarakat sedang mencari pekerjaaan.
Jejak digital bagaikan dua sisi mata uang karena dapat membantu memperkuat potensi, namun di sisi lain bisa merugikan diri sendiri jika tidak berhati-hati dalam menggunakannya.
Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin, dalam diskusi daring “Literasi Digital untuk Masyarakat: Hati-hati Rekam Jejak Digital” Minggu (28/4).
“Jejak digital dapat mengungkap begitu banyak hal tentang diri kita. Karena berasal dari aktivitas daring, jejak digital dapat dilacak, dianalisis, dan digunakan untuk membangun gambaran profil yang sesuai lokasi, kelompok sosial, perilaku, dan minat kita,” ucap dia.
Nurul mengingatkan, jejak digital kemungkinan besar akan tersimpan secara permanen di internet, baik unggahan positif maupun yang negatif. Hal itu semua akan jadi semua acuan ketika SDM mencari karyawan atau saat masyarakat sedang mencari pekerjaaan.
Dia mengatakan, jejak digital berperan penting dalam dunia kerja karena sering dijadikan sebagai tolok ukur SDM Perusahaan dalam menyeleksi kandidat. Indikator yang dilihat antara lain, kalimat yang sering diunggah, foto-foto, interaksi yang dilakukan, serta lingkaran pertemanan calon karyawan.
Berdasarkan riset YouGov yang dikeluarkan World Economic Forum, 1 dari 5 penyedia pekerjaan akan menolak pelamar karena perilaku mereka di media sosial. Untuk itu, Nurul Arifin pun memberikan tips untuk melindungi rekam jejak digital. Pertama, pintar dalam menggunakan internet.
“Selalu pikirkan ulang apa yang akan diunggah di medsos agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. jangan mengunggah informasi sensitif seperti nomor KTP, PIN, kata sandi, alamat rumah, nomor telepon, tanda tangan, dan sebagainya,” tutur mantan pengajar Ilmu Politik di Universitas Nasional.
Kedua, pengguna harus kuat dalam hal keamanan. Pastikan membuat password yang sulit ditebak dan tidak membagikan ke orang lain. Pengguna juga disarankan mengaktifkan verifikasi dua langkah untuk menjaga keamanan akun digital mereka.
“Ketiga, periksa ketersediaan informasi pribadi di internet. Masukkan namamu di kolom pencarian dan lihat apakah ada identitasmu di dalamnya. Seperti identitas media sosial FB, Twitter, Instagram, Linkedin, YouTube, dsb. Untuk menghapus namamu dari mesin pencarian harus meminta izin kepada pengelola data,” ujarnya.
Nurul mengingatkan, masyarakat soal UU Pelindungan Data Pribadi yang sudah selesai dibahas oleh DPR RI bersama Pemerintah.
“Salah satu sasaran UU PDP adalah untuk ‘terlindunginya dan terjaminnya hak dasar warga negara melalui regulasi pelindungan data pribadi. Sehingga seluruh warga negara Indonesia dapat semakin aman dalam berinternet, tanpa harus takut data pribadi yang mereka bagikan kepada pengendali data disalahgunakan,” terang politikus Partai Golkar yang baru saja terpilih kembali untuk duduk di DPR RI tersebut.
“Termasuk rekam jejak digital, karena akan diatur kewajiban pengendali data untuk menghapus data yang sudah tidak terpakai,” sambungnya.
Setelah mengenal rekam jejak digital, diharapkan kita dalam semakin bijak dalam membagi dan mengunggah data ataupun konten saat berinternet. Meskipun memiliki banyak peluang untuk memperkuat potensi diri, jangan sampai rekam jejak digital menjadi bumerang untuk masa depan kita.
“Pastikan segala sesuatu yang dipublikasikan memiliki manfaat yang positif, agar terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Gunakan medsos secara bijak. Pikirkan sebelum tayang, jangan berpikir setelah tayang. Ini penting sekali. Semua hal yang kita tayangkan bisa berpengaruh terhadap kehidupan kita kelak,” imbaunya.
Sementara itu, praktisi literasi digital, R Wijaya Kusuma Wardhana menambahkan, jejak digital itu tak lepas dari disrupsi teknologi digital. Di mana platform media informasi dan komunikasi semakin beraneka ragam sebagai dampak pemakaian teknologi digital.
Di mana telah terjadi pergeseran pola pikir, pola sikap, dan pola tindak masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. “Sehingga perlu edukasi kepada masyarakat dalam menata kelola informasi yang diperoleh,” kata Staf Ahli Kominfo ini.
Hal senada disampaikan Head of Center of Excellence Policy and Technology Ethic Telkom University, Dr Helni Mutiarsih Jumhur. Bahwa rekam jejak digital ini harus menjadi hal yang mendapat perhatian khusus masyarakat. Terlebih dalam sejumlah kasus yang dia temukan, masalah rekam jejak digital ini terjadi akibat kesengajaan maupun ketidaksengajaan. “Untuk itu, self awareness menjadi kunci agar kita terhindar dari masalah terkait rekam jejak digital,” tegasnya.
Helni kemudian mencontohkan salah satu mahasiswanya yang memiliki nilai tinggi, lulus cumlaude, dan sudah lolos tes kerja di sebuah perusahaan ternama. Tapi dia akhirnya gagal gara-gara terlalu sering komentar di media sosial. Sehingga perusahaan tersebut menilai dia sebagai provokator.
“Yang paling penting adalah dalam rekam jejak digital, kita harus punya standar diri, screening dari diri kita sendiri. Sebagus apapun regulasinya, sebagus apapun teknologinya, tapi kalau perilaku kita tidak baik akhirnya akan merugikan,” tandasnya.
Gunakan waktu untuk literasi digital lebih banyak, bukan hanya sekadar bermain di media sosial. {sumber}