Berita Golkar – Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga menyatakan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor melindungi industri tekstil nasional.
Hal itu disampaikan Jerry Sambuaga merespons pernyataan Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta terkait kekhawatiran akan potensi banjir impor tekstil pasca Permendag Nomor 8 tahun 2024 itu. Penerbitan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 itu dimulai berlaku pada 17 Mei 2024 yang merupakan tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo pada rapat internal tanggal 17 Mei 2024.
“Berdasarkan Permendag 8/2024, terdapat 7 komoditas yang tidak perlu lagi menggunakan Pertek dalam penerbitan Persetujuan Impor (PI), dan produk tekstil tidak termasuk dalam komoditas yang tidak memerlukan Pertek dalam pengurusan PI,” ujar Jerry Sambuaga dalam keterangannya, Jumat (24/5/2024).
Dengan demikian, tegas Jerry Sambuaga, akan banjirnya impor barang tekstil tidak perlu dikhawatirkan karena untuk produk tekstil khususnya tekstil, karpet, dan penutup lantai tekstil lainnya serta barang tekstil sudah jadi lainnya, tidak dibebaskan dari kewajiban Pertek.
“Dengan kata lain untuk mengimpor komoditas tersebut tetap membutuhkan Pertek dari kementerian teknis tepatnya Kementerian Perindustrian,” tegas Jerry Sambuaga.
Adapun Pertek merupakan surat yang diterbitkan oleh kementerian teknis untuk menerangkan pemenuhan persyaratan tertentu dalam rangka importasi barang. “Pertek tersebut merupakan salah satu bentuk kontrol Pemerintah dalam proses impor barang ke Indonesia,” ujar Jerry.
Sehubungan dengan hal tersebut, impor terhadap produk tekstil tetap dapat terkendali. “Sehingga para pelaku usaha tekstil tidak perlu khawatir dengan banjirnya impor tekstil mengingat produk tekstil masih tergolong produk yang dibatasi impornya,” ujar Jerry Sambuaga.
Sebelumnya, pengusaha tekstil di dalam negeri sedang kesal. Penyebabnya, keputusan pemerintah merombak lagi aturan impor dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Dengan revisi ini, aturan impor direlaksasi. Tak lagi mengharuskan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai syarat memperoleh Persetujuan Impor (PI).
Pemerintah beralasan, revisi ini dilakukan karena adanya penumpukan kontainer barang impor di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Penumpukan terjadi karena efek domino pemberlakuan Pertek oleh aturan impor Permendag Nomor 36/2023. Hal itu kemudian dibantah oleh Kemnterian Perindustrian (Kemenperin), yang mengaku tak tahu isi kontainer-kontainer yang menumpuk tersebut.
Dia meminta agar dibuktikan jika kontainer menumpuk itu berisi bahan baku dan bahan penolong yang berakibat pada gangguan supply chain manufaktur di dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakna, Permendag No 36/2023 memang jadi penyebab penumpukan kontainer impor di pelabuhan.
“Namun, (Permendag No 36/2023) sudah disosialisasikan sejak Desember 2023 dan berlaku 10 Maret 2024. Jadi ini memang importir bandel yang berani dan sengaja memasukkan barang tanpa mau urus izin sesuai Permendag, akhirnya barang numpuk,” kata Redma, Selasa (21/5/2024).
“Nah, di tekstil kalau API-P (angka pengenal impor-produsen) harus ada izinnya. Nggak ada yang terhamat di pelabuhan. Ini kan API-U (importir umum) atau pedagang yang nggak mau urus izin dan tetap bandel masukin barang,” ujar Redma. Oleh karena itu, dia mengkritik sikap pemerintah.
“Jadi, kan aneh. Masa pemerintah memfasilitasi importir nakal? Ya sudah, pemerintah enggak usah berharap investasi dari tekstil, dan jangan harap lagi kita akan serap karyawan yang kemarin dirumahkan. Tinggal kita lihat akan banyak lagi karyawan yang di PHK, biar Bu Sri Mulyani yang akan bertanggung jawab mencarikan mereka pekerjaan,” kata Redma.
Dia kemudian menyinggung lagi arahan Presiden Jokowi yang pada 6 Oktober 2023 justru meminta agar dilakukan pembatasan dan pengendalian impor. Kini, Kemenperin justru seolah dibiarkan sendiri mengurus industri di dalam negeri. “Kami kan bicara hilirisasi dan penguatan hulu. Artinya, visi integrasi industri agar industri tumbuh kuat. Ini jelas visi pengembangan dan integrasi industri dari Kemenperin tidak didukung kementerian lain,” ujar Redma.
“Jadi, kalau terjadi deindustrialisasi ya. Bu Sri harus tanggung jawab karena Bu Sri telah gagal menangani permasalahan di BC (Bea Cukai) dan korbannya adalah industri,” ujar Redma.
Dia pun yakin, 26.000 lebih kontainer yang menumpuk tersebut sebagian besar berisi barang impor pedagang. “Itu 26.000 kontainer yang tertahan saya yakin 85 persen barang importir pedagang relasinya oknum BC, hanya 15 persen yang benar-benar untuk kepentingan industri manufaktur,” katanya.
Yang 85 persen ini yang mengganggu rantai pasok, karena barang-barang jadi. Ini membanjiri pasar domestik jadi rantai pasok industri hulu terganggu karena industri hilirnya terganggu barang impor ini. (Yang bahan baku-bahan penolong) hanya 15 persen.
“Kalau TPT (tekstil dan produk tekstil) itu banyak pakaian jadi dan lain-lain yang diimpor oleh API-U, yang sebenarnya di dalam negeri banyak produsennya,” ungkap Redma.
Oleh karena itu, dia mempertanyakan keberpihakan pemerintah dalam memacu perkembangan industri manufaktur di dalam negeri. “Memang memang lagu lama, alasan klasik. Kalau seperti ini terus kapan industri dalam negerinya bisa berkembang? Bagaimana bisa ada investment di sektor manufaktur,” ujar Redma. {sumber}