Berita Golkar – Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi membantah bahwa Rancangan Undang-undang Penyiaran akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Dewan Pers.
Bobby pun mengatakan, kewenangan antara KPI dan Dewan Pers diatur dalam peraturan sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sementara penyiaran ada pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“(Posisi) Dewan Pers ada di UU Pers, dia mengawasi urusan pers dan lembaga pers dan lembaga pers yang memiliki izin pers, izin pers yang mengeluarkan ya Dewan Pers,” kata Bobby dalam diskusi bertajuk ‘Menakar Urgensi RUU Penyiaran’ yang digelar Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta Selatan, Jum’at (14/6/2024).
Selain itu, Bobby juga menjelaskan terkait penyelesaian sengketa jurnalistik yang belakang menuai polemik dalam RUU Penyiaran tersebut. Dan dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik, Dewan Pers masih jadi lembaga yang berwenang untuk menuntaskan persoalan tersebut.
“Karena tidak semua lembaga penyiaran itu industri pers, dengan adanya format digital sekarang agak berbeda dengan lembaga pers, insan pers, ada lembaga penyiaran, ada insan penyiaran, ini semua sudah ada Dewan Pers ada KPI,” jelasnya.
“Nah, kami mau membedakan hal tersebut dengan Citizen Jurnalism atau ranah masyarakat,” sambungnya.
Selain itu Bobby juga menekankan bahwa proses mediasi di Dewan Pers akan tetap berlaku bagi seorang Jurnalis atau wartawan apabila terkena sengketa dalam setiap tugas jurnalistiknya.
Namun hal itu berbeda jika seorang mengerjakan tugas jurnalistik namun tidak dinaungi perusahaan pers yang tersertifikasi atau memenuhi syarat.
“Itu artinya dia tidak dilindungi oleh UU Pers atau UU Penyiaran maka masuklah UU ITE langsung Criminal Justice. Itulah yang membedakan Citizen Jurnalism dengan The Jurnalis, kalau Jurnalis ada mediasi tapi kalau Citizen dia ada Criminal Justice,” pungkasnya. {sumber}