Puteri Komarudin: Transformasi Struktural Jadi Kunci Atasi Hambatan Utama Pembangunan

Berita GolkarIndonesia memiliki cita-cita menjadi negara maju pada 2045, melalui Visi Indonesia Emas 2045. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah telah merancang program yang disusun secara sistematis.

Namun, dalam pelaksanaannya ternyata tak mudah. Sejumlah kendala datang baik dari dalam maupun luar negeri. Masih ada tiga hambatan utama (three gaps) yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan ekonomi yaitu terbatasnya ketersediaan SDM (human capital gap), terbatasnya infrastruktur (infrastructure gap), serta kualitas tata kelola pemerintahan dan sistem regulasi yang belum memadai (institutional gap).

Untuk menyelesaikan tantangan tersebut, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Puteri Komarudin menekankan perlunya pemerintah untuk terus melakukan transformasi secara struktural.

“Kita harus tingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui perbaikan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelatihan. Alokasi 20 persen anggaran pendidikan yang diperkirakan menyentuh Rp741,7 triliun pada 2025 harus digunakan secara tepat sasaran untuk program beasiswa, kesejahteraan guru, sarana pendidikan, serta link and match dengan kebutuhan industri,” kata Puteri kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (18/6/2024).

Kemudian, anggaran kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp217,8 triliun pada 2025 juga harus diarahkan untuk percepatan penanganan stunting, transformasi sistem kesehatan, pengembangan industri farmasi, dan penyediaan fasilitas kesehatan yang andal. Dengan begitu, kita bisa mencetak generasi yang cerdas dan sehat untuk menunjang produktivitas.

Selain, pemerintah juga harus mempercepat pemerataan pembangunan infrastruktur secara terukur sebagai penunjang transformasi ekonomi. Dari mulai infrastruktur konektivitas, logistik, irigasi, energi, pangan, hingga digital. Terutama di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal).

Untuk itu, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur yang diproyeksi mencapai Rp433,9 triliun pada 2025 harus diarahkan untuk peningkatan mobilitas, kapasitas produksi, efisiensi sistem logistik, dan daya saing.

Selanjutnya, upaya reformasi birokrasi perlu dilanjutkan untuk peningkatan iklim investasi dan kemudahan berusaha. Diantaranya melalui UU Cipta Kerja yang menjawab obesitas regulasi hingga lebih dari 43 ribu peraturan tingkat pusat dan tingkat daerah. Obesitas regulasi tersebut menyebabkan inefisiensi birokrasi yang menjadi faktor utama masalah dalam berusaha di Indonesia, sebagaimana hasil survei World Economic Forum (WEF) Executive Opinion Survey tahun 2017.

Terakhir, Indonesia perlu lanjutkan reformasi di bidang perpajakan dan sektor keuangan. Terlebih, sekarang, kita telah memiliki UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan maupun UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan.

“Selain itu, kita juga memiliki UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang dapat menjadi instrumen untuk menata arsitektur keuangan di Indonesia,” imbuhnya.

APBN 2025

Menurut Putri, perlu desain agar APBN 2025 dapat menjawab permasalahan fundamental soal terbatasnya ketersediaan SDM (human capital gap), terbatasnya infrastruktur (infrastructure gap), serta kualitas tata kelola pemerintahan dan sistem regulasi yang belum memadai (institutional gap)

APBN 2025 berperan strategis, tidak hanya karena APBN pertama di masa pemerintahan Prabowo-Gibran dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. “ APBN ini juga menjadi landasan untuk mencapai visi Indonesia Emas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045,” kata Puteri.

Untuk itu, saat pembahasan Asumsi Dasar Ekonomi Makro dan Target Pembangunan dalam RAPBN 2025, kita letakkan dalam konteks untuk meraih visi tersebut.

Misalnya, pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,1-5,5 persen, inflasi dijaga 1,5-3,5 persen, tingkat pengangguran ditekan hingga 4,5-5,0 persen, tingkat kemiskinan diturunkan 7-8 persen, serta kemiskinan ekstrem dijaga hingga 0 persen. Dengan begitu, APBN 2025 diharapkan mampu membangun fondasi yang kuat dari segi perekonomian dan sumber daya manusia untuk mencapai target sebagai Indonesia Maju 2045.

Revitalisasi Sektor Manufaktur

Saat ini, sektor industri memang menjadi tumpuan utama bagi perekonomian kita karena kontribusinya terbesar sekitar 19 persen. Namun, kontribusi ini justru trennya mengalami penurunan.

Tapi, hal ini bahkan sudah terjadi pascakrisis 1997-1998, yang membuat pertumbuhan sektor manufaktur nasional masih berada dibawah tingkat pertumbuhan ekonomi secara agregat. Artinya, kondisi ini bukan terjadi sekarang. Tapi sudah sejak beberapa tahun lalu. Kendati demikian, posisi kita cenderung masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Filipina (17,64%) atau bahkan Kamboja (17,86%) yang share sektor industri di bawah kita.

“Karenanya, kita perlu melakukan revitalisasi industri untuk mengatasi stagnasi pertumbuhan dan kontribusi industri pengolahan terhadap perekonomian kita,” ucapnya.

Selain itu, pemerintah perlu juga terus mendorong upaya revitalisasi sektor manufaktur yang diantaranya dengan melanjutkan program hilirisasi, sebagaimana telah digaungkan oleh Prabowo-Gibran. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dengan fokus pada tahapan produksi, terutama dalam meningkatkan kemampuan daya saing di pasar global dan menciptakan lapangan kerja baru.

“Upaya ini sudah terlihat manfaatnya. Berkat hilirisasi, menurut Kemenkeu, kita mampu mencatat peningkatan ekspor industri pengolahan non migas sebesar 16,5 persen di tahun 2022. Bahkan ke depan, Kemenko Perekonomian mencatat proyeksi nilai investasi dalam peta jalan hilirisasi Indonesia mencapai USD 545,3 miliar,” jelasnya.

Hilirisasi, kata dia, perlu terus teruskan untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur ke depannya.

“Bahkan, Pak Prabowo dan Mas Gibran akan mendorong perluasan hilirisasi di sektor lain, seperti pertanian, perkebunan, maupun perikanan. Dimana, hal ini diharapkan dapat menciptakan multiplier effect bagi perekonomian, perpajakan, dan penyerapan tenaga kerja yang jauh lebih besar. Dengan begitu, kita bisa mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas, serta keluar dari jebakan middle income trap,” pungkasnya. {sumber}