Berita Golkar – Komisi I DPR RI menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono menyebut nanti pada saatnya, RUU Penyiaran bakal dibahas dengan melibatkan media dan jurnalis.
“Jadi sekarang ini belum dimulai pembahasannya ya. Nanti bila mana pembahasan dimulai, kita akan libatkan semua stakeholder dari media.”
“Apakah itu dari aliansi jurnalistik independen, dari dewan pers, semuanya itu akan kita terima masukannya,” ujar Dave, Rabu (19/6/2024).
Dave mengatakan pelibatan banyak pihak terkait bakal menjadi hal positif untuk dunia penyiaran. Tidak hanya media, namun juga konten kreator, pembuat film, dan sebagainya.
“Hal-hal itu semua memberikan masukannya untuk memastikan bahwa perkembangan dunia penyiaran, dan itu bisa jadi industri kreatif dapat berkembang dengan baik, dan juga bisa menyokong kemajuan bangsa dan negara,” jelas Dave.
“Jadi sekarang ini belum dimulai pembahasannya ya. Nanti bila mana pembahasan dimulai, kita akan libatkan semua stakeholder dari media,” imbuhnya.
Dave mengatakan, UU No 32 tahun 2002 itu pada 2012 dilakukan proses revisi untuk mengakomodir perkembangan dunia penyiaran. Tetapi, ia mengakui adanya tarik-menarik kepentingan yang membuat proses revisi UU tersebut belum rampung hingga sekarang.
Beberapa substansi mengenai UU Penyiaran, ungkap Dave, sudah diatur di dalam RUU Cipta Kerja. Tetapi, ada pula beberapa hal yang masih menjadi perdebatan.
“Khususnya sekarang ini di era digitalisasi yang mungkin waktu ketika pertama kali dibuat Undang-Undang Penyiaran tahun 2002 tidak dipertimbangkan, tidak dipikirkan bahwa perkembangan dunia digitalisasi media sosial layanan OTT (Over The Top) ataupun juga terestrial itu berkembang seperti ini,” imbuhnya.
Sehingga, Dave menilai UU Penyiaran perlu direvisi. “Tetapi ketika mau pembahasan ada banyak hal-hal yang menjadi perdebatan. Nah hal inilah yang kita menjadi masukan dan juga kita putuskan untuk kita tunda dulu pembahasannya,” tutup Dave.
Diketahui, draf RUU Penyiaran edisi Maret 2024 mendapat penolakan, terutama dari media dari berbagai daerah di Indonesia. Seperti yang dilakukan sejumlah organisasi jurnalis, konten kreator, dan pegiat seni di Kota Solo, Jawa Tengah.
Mereka menggelar aksi menolak RUU Penyiaran di depan Stadion Manahan Solo, 21 Mei 2024. Aksi ini diikuti perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Solo, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Solo, Forkom Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solo, dan sejumlah jurnalis televisi di Solo.
“Gerakan ini menolak RUU Penyiaran versi Maret 2024 yang di dalamnya terdapat pasal-pasal problematik,” ungkap Ketua AJI Kota Solo, Mariyana Ricky PD.
Tampak sejumlah peserta aksi membawa poster penolakan RUU Penyiaran. Seperti ‘RUU Penyiaran = Pemberangus Demokrasi’ dan ‘Jegal Sampai Gagal Pasal Problematik RUU Penyiaran’.
Selain orasi dan pembentangan poster penolakan, dilakukan pula aksi teatrikal. Para jurnalis juga mengumpulkan kartu pers mereka di atas banner penolakan RUU Penyiaran. “Yang menjadi concern teman-teman jurnalis salah satunya adanya larangan penyiaran konten eksklusif jurnalisme investigasi,” ungkap Mariyana.
“RUU yang tengah disusun DPR tersebut jelas mengancam iklim demokrasi, kebebasan HAM, dan kebebasan pers di Indonesia.”
“Banyak pasal multitafsir yang berpotensi digunakan alat kekuasaan,” ungkap Mariyana.
Mariyana menekankan penting ada upaya kolaboratif menjegal RUU penyiaran oleh berbagai pihak. “Dampak panjang RUU Penyiaran tak hanya bagi kebebasan pers. Tetapi juga masyarakat secara umum karena membatasi kebebasan sipil dan partisipasi publik,” tekannya.
Berikut pasal-pasal problematik RUU Penyiaran:
- Ancaman kebebasan pers lewat larangan jurnalisme investigasi dan ambil alih wewenang Dewan Pers oleh KPI (Pasal 42 dan Pasal 50B ayat 2c)
- Kewenangan KPI untuk melakukan penyensoran dan pembreidelan konten di media sosial. Hal ini akan mengancam kebebasan konten kreator maupun lembaga penyiaran yang mengunggah konten di internet.
- Konten siaran di internet wajib patuh pada Standar Isi Siaran (SIS) yang mengancam kebebasan pers dan melanggar prinsip-prinsip HAM (Pasal-pasal 34 sampai 36)
- Pembungkaman kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik (Pasal 50B ayat 2K). Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024 lalu. Mengapa poin kabar bohong dan pencemaran nama baik masuk kembali di RUU Penyiaran?
- Melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. Pada draf RUU Penyiaran ini menghapus pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran no 32/2002, di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja.
- Pelanggaran HAM. Draf RUU Penyiaran ini melarang tayangan yang menampilkan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender. (Pasal 50B ayat 2G). Pasal ini selain diskriminatif, juga akan menghambat beberapa ekspresi kesenian tradisional maupun modern baik di TV, radio maupun internet. {sumber}