Berita Golkar – Politisi Partai Golkar, Dhifla Wiyani mengomentari perihal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan KPU untuk memasukkan nama Irman Gusman pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pileg DPD RI di Daerah Pemilihan Sumatera Barat 2024.
Dhifla merasa aneh dengan keputusan MK. Mengingat, Pemilu 2024 telah berlangsung.
“Secara legal standing, Irman Gusman bukanlah peserta Pemilu karena terjegal Pasal 474 ayat (1) Undang-Undang Pemilu jucnto Pasal 3 ayat (1) Peraturan MK Nomor 3/2023 tentang Tata Beracara Dalam Persilisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Anggota DPD,” kata Dhifla dalam keterangannya, Minggu (30/6/2024).
Sekadar informasi, Irman Gusman sempat masuk Daftar Calon Sementara (DCS) untuk calon anggota DPD dari Dapil Sumbar. Namun kemudian menghilang DCT lantaran Irman belum melewati masa jeda lima tahun menjalani hukuman pidana sebagaimana yang diatur oleh Pasal 182 (g) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Di UU Pemilu juga menyatakan permohonan PHPU hanya boleh diajukan oleh pihak yang menjadi peserta Pemilu,” tambah perempuan yang juga praktisi hukum itu.
Dhifla menambahkan, dalil permohonan ke MK seharusnya terkait dengan sengketa hasil suara Pemilu. Bukan mengenai sengketa proses pencalonan anggota DPD RI sebagaimana Pasal 474 ayat (1) UU Nomor 7/2017 jucnto Pasal 5 Peraturan MK Nomor 3 Tahun 2023.
Padahal, dijelaskan dia, Irman dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun dalam putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung pada 24 September 2019.
“Sementara dia mulai ditahan sejak tanggal 16 September 2016. Berarti dia akan dinyatakan bebas demi hukum pada tanggal 24 September 2019,” sebutnya.
Artinya, ditegaskan Dhifla, mantan Ketua DPD RI itu jika ingin kembali ke dunia politik maka harus melewati masa jeda lima tahun. “Yang bersangkutan harusnya baru bisa mendaftar kembali dalam ajang Pemilu atau Pilkada pada 24 September 2024,” cetus dia.
Adapun MK dalam putusannya menyatakan KPU keliru karena tidak memasukkan nama Irman Gusman DCT sebagaimana putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Nomor 600/G/SPPU/2023/PTUN.Jkt.
Diketahui, dalam pertimbangannya PTUN menyatakan masa jeda lima tahun tidak dapat diberlakukan kepada Irman karena sudah ada hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama tiga tahun dalam putusan hakim MK di PK.
Ketika MK mengabulkan gugatan ini, kata dia, MK tidak konsisten dalam pertimbangannya karena bertentangan dengan pertimbangan dalam putusannya sendiri yaitu putusan MKRI Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa jeda 5 (lima) tahun tetap wajib diberlakukan pada mantan terpidana.
“Hal ini tentu saja memprihatinkan karena sebagai lembaga pemutus tertinggi dan terakhir dalam proses Pemilu di negeri ini dengan tidak konsisten dalam memberikan pertimbangan dan putusannya,” papar dia. {sumber}