Berita Golkar – Mundurnya Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum DPP Partai Golkar nyatanya tidak hanya memunculkan kegemparan publik. Lebih dari itu, gonjang-ganjing di tubuh Partai Golkar telah menimbulkan tsunami politik secara nasional.
Para pengamat berlomba-lomba menemukan konjungsi mengapa Airlangga Hartarto mundur secara tiba-tiba. Kader dan para politisi di dalam tubuh Partai Golkar pun secara estafeta bersahutan di grup-grup whatsapp partai untuk meretas solusi dari masalah yang terjadi.
Pantas jika kemudian gejolak dan dinamika politik di tubuh partai berlambang beringin ini memancing syahwat bicara anak bangsa. Pasalnya, Partai Golkar adalah prasasti hidup perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Keberadaan Partai Golkar menjadi indikator perpolitikan negara ini. Jika Partai Golkar berkecamuk, insan politik negara juga pasti akan bergemuruh.
Pada awal masa pendiriannya, Golkar bukanlah sebuah partai politik, melainkan wadah atau corong perwakilan golongan di masyarakat yang dirancang sebagai bentuk alternatif dalam sistem perwakilan demokrasi Indonesia. Konsep ini bertujuan untuk merepresentasikan berbagai kelompok fungsional dalam masyarakat, sesuai dengan visi Soekarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara.
Namun, dalam perjalanannya Golkar mengalami transformasi besar ketika menjadi alat politik yang digunakan oleh Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno.
Konsep awal Golkar yang anti-partai berubah, dan akhirnya Golkar menjadi partai politik penuh pada tahun 1964, yang saat itu dipimpin oleh Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution sebagai penggerak utama bersama dengan Soeharto.
Seiring waktu, Golkar mulai menjadi instrumen politik utama di era Orde Baru. Presiden Soeharto menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina kala itu. Keberadaan Presiden Soeharto begitu mendominasi di tubuh Golkar. Tak elak lagi, Golkar selalu berhasil menjadi pemenang Pemilu di masa Orde Baru.
Saat Orde Baru tumbang, berganti masa reformasi. Pergantian rezim tak serta merta menumbangkan kedigdayaan beringin Golkar. Ancaman pembubaran sempat diterima di masa Presiden KH. Abdurrahman Wahid melalui dekritnya. Namun Golkar tak bergeming. Melalui paradigma baru, Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung berhasil menjelma sebagai kekuatan politik progresif di masa reformasi.
Kepemimpinan Golkar pun mengalami pergantian dari masa ke masa, dengan tokoh-tokoh yang berperan penting dalam mengarahkan jalannya partai ini, baik di era Orde Lama, Orde Baru, maupun masa reformasi. Berikut adalah daftar periodisasi serta sejarah para Ketua Golkar dari tahun ke tahun:
1964 – 1969: Periode awal kepemimpinan Golkar, di mana Golkar baru dibentuk dan mulai menancapkan pengaruhnya dalam dunia politik Indonesia dengan Djuhartono sebagai Ketua Umum. Djuhartono merupakan loyalis Soekarno. Hingga keberadaan Golkar di masa ini erat dengan gagasan Soekarno sebagai wadah fungsional.
1969 – 1973: Pada masa ini, Golkar semakin menguat dan memainkan peran penting dalam pemerintahan, terutama di bawah kepemimpinan Suprapto Sukowati. Di zaman Sukowati, seperti dicatat David Reeve, Sekber Golkar melangkah pasti bersama Soeharto dan Angkatan Darat, yang menjadi pemenang dalam pertarungan politik nasional setelah Sukarno tumbang.
1973 – 1983: Di bawah kepemimpinan Amir Moertono, Golkar berhasil memenangkan Pemilu 3 Juli 1971 dengan memperoleh 62,8 persen suara, menjadikannya sebagai kekuatan politik utama di Indonesia. Golkar mulai babak baru sebagai instrumen politik utama Orde Baru.
1983 – 1988: Golkar terus mempertahankan posisinya sebagai partai dominan, menguasai parlemen dan berbagai posisi penting dalam pemerintahan di bawah kepemimpinan Sudharmono. Ia merupakan Wakil Presiden RI Ke-5. Soedharmono terpilih sebagai Ketua Umum Golkar pada Munas ke-III tahun 1983.
1988 – 1993: Kepemimpinan Golkar dipegang oleh Wahono pada periode ini melanjutkan kebijakan-kebijakan Orde Baru dengan dukungan penuh dari Presiden Soeharto. Seperti ketua-ketua umum sebelumnya, Wahono juga berlatar belakang militer.
1993 – 1998: Menjelang akhir Orde Baru, Golkar menghadapi tantangan besar dengan munculnya gerakan reformasi yang menuntut perubahan besar dalam sistem politik Indonesia. Pada masa ini, Golkar dipimpin oleh Harmoko. Ia menjadi satu-satunya Ketua Umum Golkar di era Orde Baru yang tidak berlatar belakang militer. Harmoko mengawali karir dari seorang jurnalis. Pada tahun 1983, ia diangkat Menteri Penerangan, kemungkinan karena latar belakangnya di jurnalisme.
1998 – 2004: Era reformasi membawa perubahan signifikan dalam struktur dan strategi politik Partai Golkar dan harus menyesuaikan diri dengan dinamika politik yang lebih terbuka dan kompetitif. Nomenklatur Golkar pun berubah menjadi Partai Golkar sebagai penegasan sebuah institusi politik di era reformasi. Pada masa ini, Partai Golkar dipimpin oleh Akbar Tandjung. Di masa kepemimpinan Akbar Tandjung, Partai Golkar menetapkan paradigma baru yang berisi pokok-pokok doktrin, visi, misi, dan platform politik. Di dalam perumusan Paradigma Baru ini ada terkandung aspek pembaruan sekaligus kesinambungan menyambut bentuk modernisasi kepartaian yang ada di Indonesia.
2004 – 2009: Partai Golkar mulai beradaptasi dengan kondisi politik baru pasca-reformasi, mencoba mempertahankan pengaruhnya di tengah meningkatnya persaingan partai-partai politik lain di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla. Kepemimpinan Jusuf Kalla berhasil meneguhkan tapak politik Partai Golkar sebagai mitra penguasa seiring dengan posisi Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI saat itu.
2009 – 2014: Periode ini Partai Golkar dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Ia terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar pada tanggal 8 Oktober 2009, dalam Musyawarah Nasional (Munas) VIII di Pekanbaru, Riau. Konsolidasi dan kaderisasi Partai Golkar sangat tertib di masa ini. Di bawah pimpinan Aburizal Bakrie pula Partai Golkar berhasil memproduksi cetak biru yang disebut “Visi Indonesia 2045: Negara Kesejahteraan”, yang dimaksudkan sebagai aksi partai menuju tahun 2045.
Januari 2014 – Mei 2016: Periode ini ditandai dengan adanya dualisme kepemimpinan di tubuh Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
2016 – 2017: Partai Golkar berhasil mencetak sejarah dengan rekonsiliasi konflik yang mulus. Setelah mengalami dualisme kepengurusan, Partai Golkar kembali bersatu di bawah kepemimpinan Setya Novanto dan, mencoba mengatasi berbagai tantangan internal dan eksternal. Setya Novanto berhasil terpilih pada Munaslub Partai Golkar 2016 yang digelar di Bali.
2017 – 2019 & 2019 – 2024: Pada periode ini, Partai Golkar dipimpin oleh Airlangga Hartarto. Menteri Perindustrian yang kelak menjabat sebagai Menko Perekonomian RI periode 2019-2024. Periodisasi kepemimpinan Airlangga Hartarto ditandai dengan konsolidasi yang mengakar serta intensifikasi Partai Golkar dalam mencetak kader-kader muda nan potensial. Pada Sabtu 10 Agustus 2024, Airlangga Hartarto mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar. {redaksi}