DPP  

Bahlil dan Pertaruhan Masa Depan Golkar

Berita Golkar – DITENGAH ramai partai politik menggelar siklus pergantian ketua umum, tampaknya hanya Munas Partai Golkar yang paling banyak menyedot perhatian publik. Bagaimana tidak, Airlangga Hartarto secara tiba-tiba mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar.

Padahal, dukungan untuk Airlangga agar memimpin kembali Golkar, tampak menguat jauh sebelum Ia memutuskan mengundurkan diri.

Airlangga mengemukakan, keputusan pengunduran dirinya dari pucuk partai berlambang pohon beringin, dilatari pertimbangan ingin memastikan stabilitas transisi pemerintahan kedepan. Dalam Munas Golkar XI yang digelar pertengahan Agustus (21/8), Bahlil Lahadalia resmi ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2024-2029.

Sebagai calon tunggal, Ia terpilih secara aklamasi. Bagaimana wajah baru Golkar kedepan? Mampukah Golkar mendulang kembali kemenangan pada Pemilu 2029?

Tentu saja, semua pertanyaan besar itu akan tergantung pada kemampuan Bahlil dalam memimpin Golkar kedepan. Sejauhmana kesungguhan melakukan transformasi Golkar kedepan agar lebih baik, setidaknya dapat kita uji melalui kebijakan-kebijakan yang akan diambil. Karena sejatinya, “politik itu adalah tindakan, bukan kata-kata”.

Menanti tindakan nyata

Terpilihnya Bahlil dalam usianya yang relatif muda, 48 tahun, adalah kali pertama dalam sejarah kepemimpinan Partai Golkar. Dalam usia yang terbilang muda, memimpin partai besar sekaliber Partai Golkar, menjadi momentum untuk melakukan “shifting elite” diinternal Golkar secara menyeluruh.

Dalam shifting elite ini, Bahlil akan diuji keberanianya dalam melakukan pembenahan, sekaligus kepiawaianya dalam menjamin soliditas partai tetap terjaga.

Pembenahan ini, salah satunya akan nampak dari keberanian menyusun kepengurusan dengan memperbanyak tampilnya kader-kader muda. Tentu saja, kategorisasi muda tidak hanya sebatas dari sisi usia semata, melainkan sosok kader yang memiliki kualifikasi: prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas, dan tidak tercela (PD2LT).

Bagaimanapun, prinsip “PD2LT” ini, telah menjadi pedoman baku untuk menilai apakah seorang kader pantas dan tepat menduduki posisi-posisi penting di internal Golkar sekaligus jabatan publik. Jika dapat dilakukan dengan baik, menghadirkan kader muda dalam struktur kepengurusan Partai Golkar di semua tingkatan, penting untuk regenerasi.

Kehadiran kader muda, juga diyakini akan menciptakan inovasi-inovasi dalam pengelolaan partai yang lebih progresif, sehingga dapat meningkatkan citra dan elektabilitas Partai Golkar. Dalam dimensi otonomi, persoalan krusial yang perlu dibenahi adalah menyangkut “suksesi kepemimpinan” di tubuh Golkar.

Betapa proses pergantian pucuk pimpinan di Golkar pasca-Orde Baru, kerap terjadi dalam situasi “tidak normal”. Gejala ini menunjukkan bahwa sesungguhnya dimensi otonomi di tubuh Golkar masih sangat rapuh dari intervensi kekuatan eksternal.

Untuk membangun kemandirian Golkar, butuh kesungguhan dalam melembagakan “sistem merit” menyangkut suksesi kepemimpinan di internal partai. Kedepan, perlu ada pembatasan masa jabatan Ketua Umum Partai Golkar dengan syarat yang ketat dan terukur.

Perlu ditegaskan dalam konstitusi partai (AD/ART), bahwa masa jabatan Ketua Umum Partai Golkar cukup dua periode saja. Bagi petahana yang berhasil menaikkan perolehan kursi pada pemilu, perlu diberikan apresiasi dengan memberikan kesempatan sekali lagi untuk dapat mencalonkan kembali dalam Munas.

Sebaliknya, bagi petahana yang tidak berhasil menaikkan perolehan kursi pada pemilu, secara otomatis dinyatakan gugur atau tidak layak untuk dicalonkan kembali. Dengan aturan ini, selain menjamin adanya prinsip kepastian, juga akan mendorong tumbuhnya kultur kompetisi politik yang sehat di tubuh partai.

Jika aturan ini bisa dilembagakan dan berjalan baik dari tingkat pusat hingga daerah, selain akan memperkuat dimensi otonomi partai, juga akan melecut semangat kader Partai Golkar di semua tingkatan untuk meningkatkan kinerja elektoral partai.

Tantangan lain yang akan menentukan wajah Golkar di bawah kepemimpinan Bahlil, menyangkut pola relasi dan posisi Golkar dengan Pemerintahan Prabowo-Gibran kedepan.

Sebagai partai pengusung pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, tentu saja Golkar akan menjadi salah satu partai penopang pemerintah. Dalam hal ini, Partai Golkar perlu membangun relasi dan posisi politik yang produktif dengan pemerintah.

Titik tekannya adalah hubungan itu harus menempatkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara pada skala prioritas utama. Manakala kebijakan pemerintah benar memihak pada kepentingan rakyat, maka Golkar wajib mengawal kebijakan tersebut.

Sebaliknya, jika ada kebijakan pemerintah yang kelak tidak sejalan dengan kehendak rakyat dan melanggar konstitusi, maka sebagai “kawan koalisi sejati”, Partai Golkar wajib hukumnya untuk mengingatkan sekaligus meluruskan pemerintah untuk kembali kepada jalan yang benar. Wallahualam. {sumber}

Oleh: Tardjo Ragil, Peneliti Akbar Tandjung Institute