Berita Golkar – Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti mengharapkan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) mampu mempercepat proses transisi energi di Indonesia.
Dalam Rapat Paripurna DPR pada 14 Juni 2022, sembilan fraksi DPR menyetujui RUU EBET menjadi RUU Inisiatif DPR melalui penyerahan pandangan fraksi-fraksi ke Pimpinan DPR.
“Dengan diputuskannya RUU EBET menjadi RUU Usul DPR ini, saya berharap mampu mendorong transisi energi di Indonesia, yang di satu sisi akan mendukung realisasi UU No 16 Tahun 2016 dari segi penurunan emisi karbonnya, juga merupakan langkah strategis dalam merealisasikan target-target G20,” kata Roro Esti dalam keterangannya di Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat (6/9/2024).
Dalam Rapat Paripurna DPR tersebut, Roro Esti mendapatkan amanah menyampaikan pandangan Fraksi Partai Golkar yang menyetujui RUU tersebut.
Menurut dia, beberapa hal pokok dari pandangan Fraksi Partai Golkar terhadap RUU EBET adalah pertama, fraksi menilai penting untuk mempertahankan nomenklatur Energi Baru dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan agar RUU tersebut dapat menjadi payung hukum bagi kedua jenis sumber energi dalam rangka menyukseskan transisi energi.
“Transisi energi harus dilakukan secara bertahap untuk menjaga stabilitas ekonomi negara. Terlebih lagi, lingkup pemanfaatan dan beberapa jenis Energi Baru dapat dimanfaatkan sebagai alternatif yang bersifat sementara sebelum beralih ke Energi Terbarukan,” katanya.
Kedua, menurut Roro Esti, Fraksi Partai Golkar juga menyadari pentingnya peran insentif baik fiskal maupun nonfiskal untuk mempercepat pembangunan EBET.
Meski demikian, lanjutnya, perlu diperhatikan juga bahwa target penerima insentif tidak hanya dibatasi untuk badan usaha yang mengusahakan EBET dan badan usaha di bidang tenaga listrik non-EBET yang memiliki standar portofolio energi terbarukan, namun juga kepada badan usaha atau pihak lain yang melakukan utilisasi EBET, termasuk perorangan atau kerja sama yang melakukan inisiatif penyediaan energi terbarukan.
Ketiga, RUU EBET juga mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk mengusahakan sumber dana energi baru dan terbarukan.
“Di antara sumber dana yang telah diusulkan dalam RUU EBET tersebut, Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa pajak karbon juga menjadi salah satu komponen dalam segi pembiayaan yang harus diikutsertakan dalam rincian sumber dana energi baru dan terbarukan,” ujarnya.
Pokok pandangan keempat, terkait pengawasan dan pengelolaan EBET di Indonesia, menurut Roro Esti, perlu dibentuk badan atau entitas dengan tugas pokok dan fungsi utama yaitu melakukan pengawasan dan pengelolaan terhadap pengembangan EBET di Indonesia, serta melakukan koordinasi dan implementasi regulasi energi terbarukan dalam rangka mengakselerasi pengembangan EBET serta mencapai target Rencana Umum Energi Nasional.
Kelima, akselerasi pengembangan EBET di Indonesia diharapkan ke depannya mampu menjadikan EBET tidak hanya sebagai energi alternatif, namun juga sebagai sumber daya energi nasional yang berkelanjutan.
Selain penggantian pembangkit listrik tenaga diesel dengan pembangkit listrik EBET paling lambat pada 2024, Fraksi Partai Golkar juga mendukung rencana pemerintah untuk menghentikan pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar secara bertahap hingga penghentian total paling lambat pada 2060, sebagaimana target net zero emission atau nol emisi karbon pemerintah.
Pokok pandangan keenam, Fraksi Partai Golkar memandang perlu diciptakan ekosistem pengembangan energi hijau dengan menyinkronkan RUU EBET dengan peraturan-peraturan yang sudah.
“Dalam rangka penyempurnaan ekosistem energi hijau tersebut, Fraksi Partai Golkar berpendapat perlunya PP No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk segera disesuaikan dengan skenario transisi energi dengan tujuan net zero emission pada 2060,” sebut Roro Esti. {}