DPP  

Belajar Kepemimpinan Dari Airlangga Hartarto

Berita GolkarSaya mengenal sosok Airlangga Hartarto sewaktu mengawal beliau di Munaslub Partai Golkar pada tahun 2016 silam. Bersama dengan senior, Indra J. Piliang yang menjadi bagian dari tim pemenangan Airlangga Hartarto, saya turut serta mendampingi hingga ke arena Munaslub di Bali. Selama perjalanan, saya melihat Airlangga Hartarto dalam bingkai yang berbeda dengan politisi pada umumnya. Minimal perbedaan itu terlihat di antara calon-calon ketua umum yang saat itu berkontestasi di Munaslub Partai Golkar 2016.

Perbedaan paling mencolok adalah keberadaan tokoh-tokoh senior Partai Golkar yang ikut bagian dalam tim pemenangan Airlangga Hartarto. Sebut saja Bang Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, Palar Batubara, Chairuman Harahap, Melchias Markus Mekeng, hingga Ridwan Mukti. Tempat khusus untuk senior Partai Golkar yang diberikan oleh Airlangga Hartarto ini mengisyaratkan betapa hormatnya ia terhadap para pendahulu.

Pada perjalanannya, Airlangga Hartarto belum berhasil terpilih di Munaslub Partai Golkar 2016. Namun takdir berkata lain, selang 1 tahun kemudian atau pada 13 Desember 2017, Airlangga Hartarto didapuk sebagai Ketua Umum Partai Golkar menyusul pengunduran diri Setya Novanto atas desakan DPD I Partai Golkar pada 4 Desember 2017.

Secara pelan dan pasti, Airlangga Hartarto mulai memperbaiki sendi-sendi organisasi di awal masa ia menjabat. Satu hal yang saya baca, Airlangga Hartarto adalah figur yang akomodatif. Ia tak ragu memasukkan figur-figur yang sebelumnya menjadi loyalis kompetitornya di Munaslub 2016. Saya mengetahui beberapa nama yang bahkan berpotensi mengancam kekuasaan Airlangga Hartarto di pucuk beringin. Namun ia tak merasa keberadaan mereka sebagai sebuah ancaman.

Airlangga Hartarto membuktikan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan memberi ruang berkarya bagi siapapun. Tidak penting kemudian loyalis atau faksi yang ada. Asal bisa memberikan manfaat bagi Partai Golkar, ia pasti akan mengakomodir figur tersebut ke dalam kepengurusan DPP Partai Golkar. Pria alumni UGM Yogyakarta ini agaknya benar, riak-riak konflik perlahan mereda. Ada satu dua suara sumbang, tetapi dapat ditangani dengan baik melalui pendekatan dialogis dan mengakomodir kepentingan yang bersangkutan.

Satu hal yang saya catat, Airlangga Hartarto tidak pernah berpolitik secara sporadis. Ia tak pernah membuang orang-orang yang dianggapnya berbahaya serta mengancam posisi dirinya. Alih-alih melakukan eliminasi, Airlangga Hartarto justru berupaya mengkolaborasi semua potensi yang ada di tubuh Partai Golkar. Kepemimpinannya bahkan bisa disamakan dengan mantan Presiden AS, Abraham Lincoln yang berorientasi pada pemberdayaan serta persatuan.

Sifat akomodatif dan aspiratif yang dimiliki Airlangga Hartarto ditunjang pula dengan ketenangan dirinya saat menghadapi masa krisis. Saya bahkan belum pernah mendengar dan melihat Airlangga Hartarto marah kepada orang lain. Ketenangan pula yang menjadi kunci Airlangga Hartarto meredam berbagai gejolak yang terjadi di Partai Golkar saat berada di bawah komandonya. Di balik ketenangan yang ia miliki, beberapa orang sempat mengkritik bahwa Airlangga Hartarto kalah unggul dalam persoalan retorika, ia terlampau tenang. Padahal sebagai politisi, apalagi memegang tampuk jabatan ketua umum sebuah partai, retorika adalah hal penting.

Airlangga Hartarto adalah seorang teknokrat. Meski gaya komunikasi yang dilakukannya cair dan terkesan interpersonal, Airlangga Hartarto tetaplah figur yang taktis ketika membicarakan suatu hal. Sistematika berpikirnya yang ringkas dan efektif sebagai seorang teknokrat tentu berkebalikan dari apa yang dibutuhkan seseorang untuk beretorika. Airlangga justru menjadikan kelemahannya itu sebagai sebuah kelebihan. Brandingnya adalah figur yang tenang. Ia tak suka mengumbar tawa melalui kata-kata, namun pribadinya tetaplah hangat.

Belakangan setelah memasuki periode keduanya memimpin Partai Golkar gaya komunikasi Airlangga Hartarto semakin sempurna. Terutama ketika harus berpidato di atas mimbar. Selingan kata-kata canda seringkali ia lemparkan kepada audiens. Namun tetap, tanpa retorika yang berlebihan. Airlangga Hartarto memahami ada batasan etika yang perlu dijaganya. Apalagi sebagai politisi, ucapan dan tindakan seringkali dipotret dan dijadikan teladan bagi masyarakat.

Soliditas Partai Golkar di tangan Airlangga Hartarto bukan sekadar jargon. Ia benar-benar mewujudkannya sebagai sebuah realitas politik yang logis dalam setiap pilihannya. Kepemimpinannya yang egaliter dan memandang semua orang sama dalam level kemanusiaannya membuat Airlangga berbeda. Kepemimpinan seperti yang diajarkan Airlangga Hartarto terbukti mampu membuat mesin politik Partai Golkar solid dan padu dalam menghadapi Pemilu 2024.

Melalui gaya kepemimpinan seperti ini pula marwah Partai Golkar dipertahankan. Airlangga Hartarto selalu memandang kepentingan bersama sebagai hal yang utama. Bahkan saat ia mengundurkan diri sebagai Ketua Umum, ia menitikberatkan alasannya pada keutuhan Partai Golkar. Dari sini kita bisa belajar 4 prinsip kepemimpinan yang dimiliki Airlangga Hartarto, yakni akomodatif, ketenangan, metode berpikir teknokratis dan egaliter. 4 prinsip kepemimpinan ini mampu membuat Airlangga Hartarto disayangi kawan dan disegani lawan dalam berpolitik.

Oleh Rezha Nata Suhandi

Pemred Golkarpedia