Berita Golkar – Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) ulang jika kotak kosong menang di Pilkada 2024 akan dilaksanakan pada September 2025.
Kesepakatan itu dicapai dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024).
“Secara bersama menyetujui pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang diulang kembali, akan diselenggarakan pada September 2025,” kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia dikutip dari Antara.
Politikus Partai Golkar itu menuturkan syarat pilkada ulang adalah daerah dengan satu pasangan calon kepala dan wakil daerah tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen.
Sebelum jadwal pilkada ulang disepakati, Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengusulkan penyelenggaraan pilkada ulang jika kotak kosong menang dilaksanakan pada September 2025. Dia meminta untuk dapat diputuskan dalam RDP tersebut.
“Dengan simulasi pengurangan masa kampanye dan tahapan-tahapan tertentu yang kami coba simulasikan kemarin secara singkat, dan kami diskusikan bagaimana seandainya atau pilihan kami, jika ada kotak kosong yang menang, maka pilkada selanjutnya diselenggarakan di September 2025,” kata pria yang akrab disapa Afif.
Jika usulan tersebut disepakati, Afif mengatakan KPU RI akan memedomani dan mendetailkan tahapan pilkada ulang tanpa membutuhkan konsultasi lanjutan. Dia juga mengatakan pihaknya akan membuat aturan teknisnya.
Dia menyebutkan kemungkinan tahapan awal pelaksanaan pilkada ulang akan dilakukan pada pekan kedua Mei 2025 dan secara keseluruhan berlangsung selama enam bulan.
Menurut dia, prakiraan tersebut memperhitungkan tanggal pelantikan kepala dan wakil kepala daerah terpilih berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
“Itu di awal Februari, 7 Februari untuk gubernur, 10 Februari untuk bupati/wali kota. Dari situ kami mulai berhitung, kalau kemudian ada sengketa, maka mulai Maret awal,” kata dia.
“Dari Maret kami hitung, maka Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September atau Maretnya dari minggu kedua.” {}