Berita Golkar – Siapa yang tak kenal sosok KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur? Presiden RI ke-4 ini dikenal sebagai tokoh pluralisme yang memiliki gaya komunikasi khas. Gaya komunikasi khas ala Gus Dur seringkali mengundang tawa bagi yang mendengarnya. Orang pun betah berjam-jam mendengar celotehan Gus Dur.
Alkisah, diceritakan oleh Jaya Suprana kejenakaan seorang Gus Dur bahkan membuat Presiden AS, Bill Clinton menambah durasi pertemuan. Sebelumnya dijadwalkan Bill Clinton dan Gus Dur dijadwalkan bertemu selama 30 menit. Lantaran Bill Clinton merasa nyaman dan betah dengar anekdot Gus Dur, pertemuan diperpanjang menjadi 90 menit.
Kejenakaan Gus Dur diakui pula oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Dalam acara ‘Silaturahmi Kebangsaan MPR RI dengan Keluarga KH. Abdurrahman Wahid’ di Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta pada Minggu (29/09) Bamsoet menceritakan sosok Gus Dur dalam bingkai humor dan paradigma kritik sosial.
“Kita mengenal sosok KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai tokoh ulama dan tokoh bangsa yang humoris. Mungkin beliau adalah presiden terlucu yang pernah kita miliki. Namun dalam konteks Indonesia, menjadi ulama dan tokoh bangsa yang humoris memiliki makna yang strategis dan substansial. Sebagai ulama Gus Dur menjadikan humor sebagai pembungkus pesan-pesan,” kata Bamsoet dalam sambutannya.
Ada satu cerita yang menurut Bamsoet sangat terngiang di ingatannya. Yakni ketika Gus Dur ditanyakan mengenai proses ia menjadi Presiden RI Ke-4. Gus Dur menegaskan bahwa ia tak pernah berusaha untuk menjadi presiden. Bahkan Gus Dur tak mengeluarkan materi sebagai modal menjadi presiden sepeser pun.
“Ia pernah menyatakan saat terpilih jadi presiden. Saya ini barangkali satu-satunya presiden yang nggak keluar uang sepeserpun, hanya modal dengkul. Itupun dengkulnya Amien Rais,” tutur Bamsoet disambut tawa hadirin yang menghadiri acara Silaturahmi Kebangsaan MPR RI ini.
Bagi Bamsoet dan mungkin publik pada umumnya, Gus Dur telah mengajarkan kita bagaimana cara menyampaikan kritik yang elegan, yakni dibalut dengan humor. Masyarakat pun dengan mudah menangkap apa maksud Gus Dur ketika dibahasakan dengan narasi sederhana nan merakyat.
“Sebagai tokoh bangsa, Gus Dur menjadikan humor sebagai sarana untuk menyampaikan kritik tajam dan pesan yang menohok. Akan terasa pahit bagi yang disasar. Tetapi begitu tepat bagi masyarakat yang terwakili aspirasinya. Ketika kritik disampaikan dengan cara yang konvensional, sudah terlalu biasa, maka humor menjadi cara yang luar biasa untuk menyampaikan pesan serius tentang kehidupan berbangsa dan bernegara,” sambung politisi Partai Golkar ini.
Selain itu, tak jarang dalam setiap lelucon dan cerita lucunya, Gus Dur seringkali menjadikan dirinya sendiri sebagai objek cerita. Gus Dur seolah merobohkan tembok besar kewibawaan seorang pejabat negara yang biasanya selalu dijaga mati-matian oleh orang lain. Di tangan Gus Dur, penghormatan itu berubah menjadi sebuah kewajaran, bukan lagi keharusan yang dipaksakan.
“Gus Dur juga sukses mentransformasikan bahasa politik menjadi narasi yang lebih membumi dan tidak lagi menjadi bahasa langit. Tak jarang Gus Dur menjadikan dirinya sebagai objek anekdot. Ini adalah cerminan bahwa Gus Dur adalah sosok yang manusiawi, tak anti kritik dan egaliter,” pungkas Bamsoet. {redaksi}