Meski Sudah Jadi Politisi, Ahmad Doli Kurnia Mengaku Tetap Berjiwa Aktivis

Berita Golkar – Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengaku tak pernah membayangkan dirinya akan bergelut dengan dunia aktivisme, bahkan sampai sekarang. Meski kini dikenal sebagai politisi, namun dunia aktivis tak benar-benar bisa terpisah dari diri Doli.

Tercatat, Doli merupakan Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI, organisasi alumni HMI. Selain itu, ia juga aktif di organisasi keagamaan Al-Washliyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) RI dan Kosgoro.

Tak hanya aktivisme lokal dan nasional, mantan Ketua Komisi II DPR RI itu juga pernah berkiprah di gerakan regional dan global periode 2010-2015, saat dipercaya sebagai Vice-President of World Assembly of Youth (WaY) dan President of International of Youth Movement for Climate Change (IYMCC).

“Saya kira hidup itu pilihan ya, memang sejak kecil saya suka berorganisasi. Jadi sepertinya aktivisme tidak bisa saya tinggalkan sampai kapan pun. Ada kepuasan batin bila berhasil mendorong satu idealisme atau agenda orang banyak,” ujar Doli dalam keterangannya, Sabtu (12/10/2024), dikutip dari Detik.

Meski begitu, ia mengatakan menjadi aktivis memiliki risiko, termasuk membagi waktu dengan dunia profesional (pekerjaan). Doli sebelumnya juga pernah bekerja sebagai staf hingga posisi menengah beberapa tahun. Namun, aktivisme tak pernah benar-benar bia ia tinggalkan.

“Pernah saat menjadi pengurus PB HMI, saya sambil bekerja saat itu. Nah sering kali setelah ngantor, tidak langsung pulang, melainkan mampir Sekretariat HMI. Bahkan juga sering nginep di sana,” ucapnya.

Doli mengungkapkan kecintaannya pada dunia aktivis dipengaruhi tiga hal. Pertama, kesempatan memperjuangkan kepentingan banyak orang. Misalnya bila ada ketidakadilan atau kebijakan yang salah, aktivis akan selalu tampil ke depan. “Saya suka mengadvokasi masyarakat, atau lingkungan sejak di kampus,” ungkap politisi Partai Golkar ini.

Kedua, memperkuat jaringan. Sebab, di dunia aktivis, sangat mungkin untuk bertemu semua lapisan masyarakat yang relatif lebih mudah. “Mulai dari dari rakyat biasa hingga Presiden bisa ditemui oleh aktivis, dalam konteks memperjuangkan common interest. Dengan demikian kita akan mendapatkan picture yang lebar terkait suatu peristiwa atau policy,” katanya.

Ketiga, menguji diri untuk tidak sombong, terus belajar dan siap bekerja sama. Pasalnya, dalam dunia aktivisme, kolaborasi dan sinergi menjadi kebutuhan mutlak agar misi yang dijalankan berhasil.

“Nggak ada ceritanya sombong-sombong di dunia aktivis karena semua orang di sana pintar-pintar. Jadi, saya justru banyak bertanya dan mencari sesuatu yang baru. Makanya perkawanan di aktivis biasanya sangat kuat, meskipun saat kita menjadi politisi bisa berbeda pandangan dan posisi, namun di atas semuanya, pertemanan dan persaudaraan lebih utama,” imbuhnya.

Pria kelahiran Medan ini bercerita mulai berkenalan dengan organisasi saat SMP. Saat itu, ia ditunjuk sebagai Ketua Kelas. Lalu semasa SMA, ia banyak terlibat menjadi remaja masjid dan kegiatan sosial keagamaan lainnya.

Lulus SMA, Doli merantau ke Jawa, dan berkuliah di jurusan Matematika Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung. Berkat pengalaman organisasinya, saat tahun-tahun awal di kampus, ia sudah dipercaya sebagai Ketua Angkatan Jurusan Matematika, lalu sebagai Ketua Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM Unpad).

Selanjutnya, mahasiswa jurusan Matematika angkatan 1991 itu terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa tingkat Fakultas dan Universitas. Tak hanya di organisasi intra-kampus, Doli juga matang sebagai aktivis gerakan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ia memulai kiprah di Himpunan dari bawah, level Komisariat, Cabang, Badko, hingga menembus PB HMI. Doli mengatakan HMI bukan sesuatu yang baru baginya. Sebab, keluarganya kental dengan gerakan mahasiswa yang identik dengan warna hijau dan hitam tersebut.

“Saya kenal HMI sejak kecil, bahkan mungkin jika tidak ada HMI tak ada saya dan adik-adik saya di dunia ini. Sebab Ayah dan Umi saya ketemunya juga di HMI. Dua-duanya aktivis di sana,” lanjutnya.

Doli menjelaskan ayahnya, Zainuddin Tandjung, merupakan aktivis HMI di Sumatera Utara, yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Sumut dan anggota MPR RI. Sementara ibunya, Nurhafni Tambunan, seorang pensiunan dosen, yang dulu juga menjadi aktivis KOHATI-sayap perempuan di HMI. Latar belakang keluarganya yang kental dengan aktivisme dan intelektual, turut membentuk Doli seperti saat ini.

“Orang tua secara garis besar mengajarkan dua hal, berpegang pada agama dan ilmu pengetahuan. Dua hal itu menjadi modal bagi kami, anak-anaknya dalam menjalani hidup. Dan memang benar bahwa agama selalu menjadi pagar kita dalam setiap cobaan. Sementara ilmu pengetahuan sebagai bekal meningkatkan taraf hidup,” paparnya.

Tak hanya di HMI, nama Doli Kurnia juga dikenal di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), di mana saat ia menjadi Ketua Umum KNPI 2008-2011, terjadi konflik internal. Namun, Doli melihat hal tersebut sebagai dinamika organisasi.

Selama di KNPI, ia menginisiasi banyak program, tak hanya berskala nasional, melainkan juga internasional. Komitmen itulah yang membawanya dipercaya sebagai pimpinan dua organisasi pemuda internasional di atas. {}