Berita Golkar – Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XXII/2024 telah memasuki ranah kebijakan hukum pidana. Menurutnya, persoalan netralitas aparat tersebut merupakan ranah legislatif.
“Ini merupakan perluasan kewenangan yang seharusnya menjadi ranah DPR sebagai pembentuk undang-undang,” ujar Irawan dalam keterangan tertulis, Jumat (15/11/2024), dikutip dari Publica News.
Kamis (14/11/2024) kemarin, MK dalam putusannya menambahkan frasa TNI-Polri dan Pejabat Daerah sebagai subjek hukum yang dapat dikenai sanksi pidana jika melanggar ketentuan larangan netralitas dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini merujuk Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 juncto Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015.
Sebelumnya, ketentuan pidana hanya berlaku bagi pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa atau lurah.’
Irawan mengatakan dengan menambahkan frasa baru, MK telah melangkah terlalu jauh dalam kebijakan pidana (criminal policy). Politikus Partai Golkar itu menganggap MK melanggar prinsip dasar separation of power (pemisahan kekuasaan) yang diatur dalam UUD 1945.
“Kebijakan pemidanaan seharusnya ditentukan oleh pembentuk undang-undang, bukan oleh MK,” ujar Irawan.
Ia juga menyoroti inkonsistensi MK dalam mengambil putusan yang berkaitan dengan kebijakan pidana. Dalam putusan sebelumnya, seperti Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 dan Putusan Nomor 59/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa kebijakan pidana adalah ranah lembaga legislatif.
“Hal ini menunjukkan adanya perubahan sikap MK yang tidak konsisten, sehingga berpotensi melanggar konstitusi,” Irawan menjelaskan.
Irawan mengingatkan bahwa kerangka hukum pemilu telah mengatur berbagai jenis pelanggaran, baik administrasi, etika, maupun disiplin. Sehingga tidak semua pelanggaran dalam proses pemilu harus dipidana. “Bisa saja berupa sanksi administratif, pemecatan, atau mutasi,” katanya.
MK, ia menambahkan, seharusnya lebih menghormati mekanisme legislasi yang sudah ada, di mana DPR dan Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan undang-undang terkait.
“DPR dan Presiden selalu responsif terhadap putusan MK dengan memasukkan perubahan ke dalam Program Legislasi Nasional. Jadi, tidak semua hal perlu diselesaikan oleh MK,” ujarnya.
Ia berharap agar MK melakukan introspeksi dan menghindari intervensi yang berlebihan dalam kebijakan hukum. Saling menghormati antarlembaga negara adalah inti dari prinsip konstitusionalisme.
“Jangan sampai putusan dibuat hanya karena alasan teknis norma yang dianggap tidak konsisten,” Irawan menegaskan. {}