DPP  

Kopi, Karet, Lada dan Perkebunan Keluarga (II)

Aburizal Bakrie Kecil Bersama Sang Ayah, Achmad Bakrie dan Kakeknya.

Berita GolkarKopi, karet dan lada merupakan komoditas perdagangan yang menjadi alasan mengapa kolonial Belanda begitu tertarik pada bumi Indonesia. Tanaman ini entah sejak kapan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Dalam buku “Perdagangan Lada Abad XVII” karya P. Swantoro terbitan Kepustakaan Populer Gramedia disebutkan bahwa lada nusantara mulai diberitakan pada abad ke-15 oleh penulis Tionghoa.

Sejak saat itu, lada menjadi rempah yang banyak dicari. Bahkan pada abad ke-17, mulai banyak negara yang menginginkan lada Indonesia. Hal tersebut lantas menimbulkan pertentangan dan konflik antara pedagang Barat dan penguasa setempat. Begitu pula dengan badan-badan pedagang Barat seperti VOC dan EIC.

Tanaman lada dapat tumbuh baik di daerah tropis. Oleh karenanya, wajar bila saat itu tanaman ini dibawa dan ditanam di tanah Indonesia. Dalam buku yang sama, P. Swantoro menuliskan bahwa pulau Sumatra merupakan tempat terbaik untuk menanam lada. Bahkan Lampung merupakan produsen lada terbesar dari dulu hingga sekarang. Meski begitu, keramaian perdagangan lada di nusantara mulai meningkat pada abad ke-16.

Pun dengan kopi dan karet. Sumatera dan Lampung menjadi daerah yang menjanjikan bagi perdagangan. Khusus untuk kopi, karakter kopi bisa berubah di tiap daerah, Lampung memiliki kekhasan pada kopi arabika. Varietas kopi yang dikembangkan di Lampung ini terkenal akan rasanya yang strong dan berkarakter. Sejak era kolonial dulu hingga sekarang, masyarakat Lampung masih banyak yang menyandarkan kehidupan ekonominya pada tiga tanaman ini, baik sebagai petani, pengolah hasil panen petani, pedagang, pengepul, hingga produsen yang berinovasi pada brand dan kemasan.

Tidak terkecuali Achmad Bakrie. Ia pernah sangat akrab dengan ketiga tanaman hasil perkebunan ini. Baik lada, kopi dan karet selalu ada di sekelilingnya sejak ia kecil, hingga tumbuh dewasa di Desa Menggala, Kalianda, Lampung.

Diketahui bahwa meskipun terpencil, Desa Menggala di tahun 1920-an sangat termasyhur dengan kekayaan flora dan faunanya di mancanegara. Gajah, harimau, dan berbagai jenis ular berbisa dari Menggala misalnya, antara lain dikirim ke Taman Marga Satwa Hamburg (Hagenbeck Tierpark, ed.). Hasil buminya seperti kopi, lada hitam, cengkeh dan rupa-rupa hasil hutan di Menggala ini adalah komoditas andalan provinsi Lampung sejak dulu.

Namun tak jelas betul kemana, di akhir tahun 1950-an pelabuhan di aliran Sungai Tulang Bawang itu menghilang begitu saja. Padahal di belakang dermaga alias pelabuhan kecil tadi adalah tempat ekonomi rakyat dan para pedagang yang barang dagangannya keluar-masuk lewat pelabuhan itu.

Keadaan perdagangan marak betul di pelabuhan itu. Bila sebuah kapal menyandar, anak-anak kampung “menyerbu” pelabuhan yang waktu itu disebut “boom”. Mereka menjadi saksi kesibukan para saudagar dan petinggi Belanda hilir mudik. Transportasi darat belum ada hingga ke sentra perdagangan itu mesti berjalan kaki sejauh 1,5 km. Di sanalah Achmad Bakrie kecil pernah mengirimkan roti dagangannya ketika ia berusia 10 tahun.

Karena begitu lekat dan dekatnya ia dengan tanaman lada, kopi, termasuk karet jadilah Achmad Bakrie muda memberanikan diri mendirikan badan usaha. Bersama kakaknya Abuyamin, Achmad Bakrie membentuk sebuah badan usaha yang diberi nama Firma Bakrie & Brothers General Merchant and Commision Agent.

Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan umum dan keagenan hasil bumi, seperti kopi, lada, cengkeh, dan tapioka. Itu pada 10 Februari 1942. Tiga tahun sebelum Indonesia merdeka. Tapi jauh sebelum itu, saat Pak Bakrie masih sekolah di HIS sudah berdagang sayur mayur di pasar Menggala.

Ia mencoba mengambil celah dari minimnya agen perdagangan, terlebih saat itu momentumnya dirasa tepat. Setelah Belanda pergi meninggalkan Indonesia akibat kedatangan Jepang, kebun-kebun yang tadinya dikuasai oleh Belanda, mulai dari penanaman, pemanenan sampai penjualan rantai produksi ini dikuasai oleh Belanda. Tapi berbeda cerita jika Belanda sudah pergi. Rantai produksi itu terputus. Anggaplah buruh perkebunan masih bisa diaktifkan, tetapi kemana mereka hendak menjual hasil panennya?

Achmad Bakrie menangkap peluang itu, dengan keahliannya berbahasa asing, baik Belanda dan Inggris, serta kelihaiannya menangkap peluang, ia mulai menjalin lagi rantai produksi ekonomi yang terputus. Masih ada pula beberapa pedagang lintas negara yang membutuhkan orang untuk mengumpulkan (mengepul) hasil produksi para petani perkebunan. Ide dan kemampuannya membaca situasi membuatnya dapat beradaptasi dengan cepat.

Pada tahun 1957, Achmad Bakrie mengakuisisi NV Kawat dari orang Belanda. Dan sejak itu, perusahaan Bakrie mulai bergelut di bidang industri seperti pipa, jembatan, komponen otomotif, gorong-gorong. Kecepatan menangkap situasi merupakan letak keunggulan Achmad Bakrie. Ia mengakuisisi pabrik pipa tersebut di tengah kondisi ekonomi Orde Lama yang tidak menentu. Siapa yang terpikir, di masa-masa sulit seperti itu pipa akan menjadi komoditas yang banyak gunanya. Bahwa akhirnya pipa digunakan dalam segala macam keperluan industri, itu baru terlihat sekarang. Dahulu? Orang akan lebih mementingkan sekarung beras daripada semeter pipa.

Tapi zaman berubah dengan cepat. Industrialisasi perlahan menjalar di bumi pertiwi, di masa itu, pipa, kawat dan komponen lainnya sangat dibutuhkan sebagai gerak operasi industri. Secepat kilat, Achmad Bakrie dan perusahaannya menambuk untung besar.

Contoh kecepatan menangkap peluang lainnya adalah ketika Achmad Bakrie memutuskan segera masuk ke bisnis perkebunan. Dengan membeli Uni Royal di Kisaran, Sumatera Utara, bukan mengundang kekaguman, malah banyak yang menertawakan Achmad Bakrie. “Tetapi setelah tiga tahun, Bakrie ternyata memperoleh untung besar. Giliran siapa yang tertawa?” katanya.

Aburizal Bakrie kecil pun sudah dikenalkan dengan geliat usaha sang ayah, hal paling mengena di dalam benaknya bukanlah bagaimana cara menghitung uang, tetapi justru bagaimana cara membagi apa yang dimiliki. Di masa kecil, Aburizal Bakrie pernah diminta membelikan beberapa anggur dan apel untuk kudapan ayahnya. Tapi anggur dan apel yang dibeli tidak pernah sampai ke tangan sang ibu atau ayahnya. Di tengah jalan, Ical kecil membagikan apel dan anggur itu kepada anak-anak kampung yang menjadi temannya bermain.

Apakah Ical dimarahi karena membagikan anggur dan apel kepada temannya? Ternyata tidak. Ayahnya, Achmad Bakrie justru tersenyum melihat tingkah anaknya. Dalam hati, Achmad Bakrie merasa bangga bahwa ia telah berhasil mendidik anaknya untuk menjadi seseorang yang peduli terhadap sesama. Seperti sebuah kutipan dari film filosofi kopi, satu langkah kecil dari sebuah niat baik mampu membawa kita menuju sesuatu yang di luar imajinasi.

Aburizal Bakrie sejak kecil selalu diajarkan untuk memulai segala hal dengan niat baik. Ia mungkin tidak memahami bahwa keluarganya sedang menunggu anggur dan apel yang dibelinya, ada dua kebaikan di depan matanya. Memberikan keluarganya anggur dan apel itu atau justru membagikan kepada teman-temannya. Keluarganya sudah pasti memiliki uang untuk membeli anggur atau apel lain, tapi bagaimana dengan temannya? Bisa jadi anggur dan apel itu adalah ganjalan perut untuk hidup satu hari ini.

Maklum saja, saat itu adalah masa sulit. Indonesia baru saja melalui pergantian kekuasaan, Orde Lama berganti dengan Orde Baru, sedangkan sisa-sisa masa kritis masih membelit leher rakyat, hingga pemandangan orang menggelandang di pinggir jalan, atau para pengemis yang menengadahkan tangan meminta belas kasihan selalu muncul dalam pandangan Ical di masa kecil.

Simpati di hati Aburizal Bakrie terbentuk dari hal tersebut, beruntung ia juga memiliki ayah yang senantiasa memanusiakan manusia. Ical dididik untuk bisa merasakan dengan hati terhadap fenomena apapun yang dilihatnya. Sesekali ketika Ical diajak pulang kampung oleh sang ayah, Achmad Bakrie, pemandangan berganti. Kesulitan tetap ada dirasakan oleh masyarakat. Jika di Jakarta saja krisis ekonomi menjerat leher, bagaimana di pedesaan seperti Kalianda, Lampung? Tentu kondisi seharusnya lebih parah. Tetapi tidak, masyarakat jaman dulu sudah bersahabat dengan alam, kondisi krisis ekonomi memang berpengaruh, tetapi untuk persoalan makanan, selama tanah masih bisa ditanami maka mereka masih bisa mengisi perutnya.

Di kampungnya, masih ada pamannya, Abuyamin yang setia menjaga perkebunan keluarga dan masih mengurus bisnis pertama yang didirikan oleh Achmad Bakrie dan Abuyamin, Firma Bakrie & Brothers General Merchant and Commision Agent. Sesekali Abuyamin turun langsung berladang, memunguti biji kopi yang siap panen di kebun keluarga. Saat-saat seperti ini, Ical seringkali membantu, ia gemar melihat butiran biji kopi yang siap dipetik. Sesekali ia menciumi biji kopi itu dengan hidungnya. Bau biji kopi yang alami begitu menarik untuknya. Tidak hanya biji kopi, biji karet pun seringkali menjadi mainannya.

Apa yang digeluti sang paman saat itu dan usaha yang dirintis oleh sang ayah sedikit banyak mengalir di darah Aburizal Bakrie. Tidak heran ia juga menyukai suasana alam, perkampungan, kebun kopi dan lahan perkebunan karet yang luas di kampung halamannya.

Hingga sekarang lahan itu masih terjaga sebagai lahan pengelolaan milik PT. Huma Indah Mekar (PT. HIM) di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Bedanya, lahan itu sekarang tidak lagi ditanami karet, kopi atau lada, tetapi mayoritas ditanami padi gogo.

HIM sendiri merupakan anak perusahaan dari PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. Bakrie Sumatera Plantations merupakan perusahaan milik Bakrie Group yang berfokus pada agro business. Perusahaan ini merupakan hasil akuisisi Bakrie Group terhadap Uniroyal Sumatera Plantations, sebuah perusahaan perkebunan milik Uniroyal Inc, sebuah konglomerasi besar imperialis Amerika Serikat dan mengubahnya menjadi Bakrie Sumatera Plantations. Lini usahanya mulai dari perkebunan karet, sawit dan industri pertanian serta perkebunan lainnya.

Bisa jadi mengapa PT. Bakrie Sumatera Plantations terpelihara dan menjadi besar seperti sekarang, pun di saat cuaca dan iklim ekonomi sedang tidak baik adalah cara dari Aburizal Bakrie untuk mengingat kembali bagaimana jerih payah ayahnya bermula. Hingga apapun ceritanya, Aburizal Bakrie akan pertahankan perusahaan ini sebagai warisan dari sang ayah untuk menjaga kenangan dan martabat demi mengingat daerah asal.

Dari sudut ini kita bisa menilai bahwa sosok Aburizal Bakrie memiliki karakter selalu ingat dengan jasa orang-orang yang telah memberinya kehidupan dan penghidupan. Selain itu, Aburizal Bakrie juga dikenal sangat menghormati sang ayah, ia bahkan mengabadikan nama sang ayah, Achmad Bakrie untuk berbagai bangunan monumental, seperti nama jalan dan masjid besar Achmad Bakrie yang berada di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera utara.

Ada alasan lain mengapa Aburizal Bakrie di masa kecilnya menyukai suasana alam bebas. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Ical kecil mengidap asma. Dirinya sering batuk-batuk, dan juga cepat merasa kelelahan apalagi saat menghirup udara perkotaan yang padat dengan partikel kecil hasil polusi kendaraan dan industri. Kondisi kesehatan Ical yang rentan ini tentu saja menjadi kekhawatiran ibunya. Untungnya, setiap akhir pekan, mereka sekeluarga sering menghabiskan waktu di kawasan Puncak, Bogor. Di tempat itu, Aburizal Bakrie kecil dapat menikmati ketenangan, serta menghirup udara segar. Hal ini sangat membantu pemulihan kondisinya, juga mengurangi risiko asma yang dideritanya.

Hal lain yang sangat menonjol dari diri Aburizal Bakrie sebagai seorang anak adalah keinginannya untuk menjadi terbaik di antara orang-orang di sekelilingnya. Ia memiliki sifat berkompetisi sangat tinggi. Ayahnya memang mendidik Aburizal Bakrie untuk menjadi seorang pemenang. Hasilnya, Ical memiliki mental kemenangan. Ada cerita dahulu kala, ketika kelulusan Sekolah Rakyat, Ical yang selalu mendapatkan ranking nomor satu malah harus menerima kenyataan lain. Rankingnya bergeser ke posisi dua. 

Juara satu didapatkan oleh sahabatnya, Ingga. Saat itu, perasaan Ical campur aduk, antara kecewa dan tidak percaya. Hal itu membuatnya murung seharian. Ical mengunci diri di kamar. Namun, pembicaraan dari hati ke hati dengan ayahnya mampu menghiburnya. Pembicaraan yang akan membentuk kehidupannya, tentang keberuntungan dan harapan. Tentang perjuangan dan hasil.

“Tanamkanlah keinginan untuk selalu menjadi nomor satu dan menjadi yang terbaik. Tapi kalau impian belum tercapai tidak boleh patah semangat, harus terus berjuang. Kalau kita berusaha menjadi yang terbaik, maka objektif kita ke depan menjadi yang terbaik,” begitu ujar Aburizal Bakrie menirukan pesan sang ayah yang mencoba selalu membesarkan hatinya di saat kegagalan sedang merundungnya.

Jika kita menilik keluarga besar Aburizal Bakrie sekarang, bagaimana rukun dan sentosanya anak-anak Aburizal Bakrie dalam menjalani kehidupan, tentu ada tangan-tangan sang ayah yang membentuk pola pendidikan keluarga Aburizal Bakrie.

Di masa kecil hingga remaja, Aburizal Bakrie bersama saudara-saudaranya selalu ditekankan untuk hidup rukun. Jika terjadi pertengkaran antara mereka, Achmad Bakrie selalu mendidik anak-anaknya untuk menyelesaikan persoalan di hari itu juga. Masalah tidak boleh berlarut-larut, apalagi kalau dibiarkan sampai berhari-hari. Jika antara saudara terjadi perdebatan dan silang sengkarut yang cukup keras, ayahnya selalu bisa memoderasi keinginan masing-masing anak, tentu dengan cara berdialog. Achmad Bakrie memang senang berdialog, tidak terkecuali kepada para anaknya. Cara seperti itu cukup efektif bagi Achmad Bakrie memelihara kerukunan dan keharmonisan anak-anaknya.

Berbeda dengan Achmad Bakrie yang lebih dialogis, sang ibu Roosniah Bakrie justru lebih tegas. Berkat ketegasannya wanita yang dipanggil Andung ini setiap kali meminta sesuatu selalu didengar dan dilaksanakan apa yang diucapkannya oleh anak-anak dan cucu-cucunya. “Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Kami di keluarga diajarkan, apa pun yang dikatakan Ibunda, adalah titah,” kata Ical.

Mafhum adanya, ketegasan Roosniah adalah pembawaan karakter yang dimilikinya sebagai orang berdarah Batak. Ketegasan inilah yang justru membentuk karakter Aburizal Bakrie dan ketiga saudaranya yang lain. Ical yang kompetitif, Nirwan Bakrie yang tekun, Indra Usmansyah Bakrie dengan kharismanya dan Roosmania Bakrie yang memiliki kelembutan hati merupakan hasil didikan dari sosok komunikatif seperti Achmad Bakrie dan ketegasan seperti Roosniah Bakrie.

Terpenting dari semua itu adalah bagaimana cara menjaga keharmonisan keluarga, itu merupakan tujuan dari pola pendidikan anak yang dilakukan oleh Achmad Bakrie dan Roosniah Bakrie. Berkat keharmonisan, kehangatan keluarga terjaga. Aburizal Bakrie kecil bisa dengan fokus untuk belajar menuntut ilmu demi menggapai impiannya kelak, begitupun dengan saudara-saudaranya. Keharmonisan itu jelas tercermin dari rumah tangga dan keluarga Aburizal Bakrie kini dengan Hj. Tatty Murnitriati. Tiga orang anak yakni Anindya Novyan Bakrie, Anindhita Anestya Bakrie, dan Anindra Ardiansyah Bakrie menjadi saksi bagaimana seorang Aburizal Bakrie mendidik anak hingga mereka semua berhasil dalam kehidupan.

Sumber:
Abdul Hadi, “HUT Kelompok Usaha Bakrie ke-78, H. Achmad Bakrie Sosok Taipan Pribumi” (https://www.antvklik.com/berita/281761-hut-kelompok-usaha-bakrie-ke-78-h-achmad-bakrie-sosok-taipan-pribumi, diakses pada Desember 2023)
Lalu Mara Satriawangsa, “Catatan Ringan: Pak H. Achmad Bakrie Buktikan Pribumi juga Bisa Bangun Bisnis” (https://www.viva.co.id/vstory/opini-vstory/1197675-catatan-ringan-pak-h-achmad-bakrie-buktikan-pribumi-juga-bisa-bangun-bisnis, diakses pada Desember 2023)
Romys Binekasri, “Kisah Bakrie Group: Seperti Kucing, Punya 7 Nyawa” (https://www.cnbcindonesia.com/market/20221112130901-17-387316/kisah-bakrie-group-seperti-kucing-punya-7-nyawa, diakses pada Desember 2023)
NN, “Inspirasi Milenial! Kisah Aburizal Bakrie 72 Tahun Mendulang Sukses” (https://kabargolkar.com/read/kabar_nasional/3421/inspirasi-millenial-kisah-aburizal-bakrie-72-tahun-mendulang-sukses, diakses Desember 2023)
NN, “Saat Roosniah Bakrie Terkekeh karena Ical”, (https://www.viva.co.id/berita/nasional/297955-saat-roosniah-bakrie-terkekeh-karena-ical, diakses pada Desember 2023)

Leave a Reply