DPP  

78 Tahun Aburizal Bakrie – Membalikkan Keadaan, Pewaris Yang Berhasil

Berita GolkarKecuali para rekan bisnis, keluarga, jejaring politiknya dan mereka yang mengidolakannya, jarang ada orang yang tahu bahwa Aburizal Bakrie adalah figur yang sangat menggemari olahraga. Hingga kini saat usianya menapaki tahun ke-76 ia masih terlihat sehat dan bugar. Saat bersalaman langsung dengan Aburizal Bakrie kita akan tahu bahwa fisik dari anak pertama Achmad Bakrie ini telah melewati tempaan raga yang konsisten dan cukup panjang.

Dadanya masih terlihat bidang, otot tangannya pun masih terasa kencang, tatapannya masih setajam anak muda usia 19 tahun yang baru mulai menyusun optimisme dalam kehidupannya dan wajahnya terlihat hampir tidak ada perubahan, tak banyak kerutan usia nampak di dahi dan pipinya, Aburizal Bakrie awet muda.

Aburizal Bakrie memang sangat menyukai olahraga sejak ia masih belia. Tenis dan karate menjadi pilihannya dalam olah tubuh. Baginya olahraga tidak hanya penting untuk kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental. Sepertinya idiom lama ‘Men Sana In Corpore Sano’ yang artinya adalah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat begitu membekas di dalam benaknya. Hingga bagaimanapun sibuknya ia sebagai seorang pemimpin perusahaan dan pebisnis handal, Aburizal Bakrie selalu menyempatkan bermain tenis atau berlatih karate.

Sehatnya raga dan mental pula yang tampaknya bisa membuat Aburizal Bakrie menyelamatkan bisnis keluarganya di era 1990-an. Apa hubungannya? Jelas ada. Jika saat itu mental Aburizal Bakrie tidak kuat dalam menghadapi krisis sudah pasti perusahaan Bakrie & Brothers yang dikelolanya akan ambruk di masa itu.

Pada akhir era 1990-an, tepatnya pertengahan tahun 1997 ujian datang satu per satu untuk Aburizal Bakrie setelah di awal 1997 seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, Aburizal Bakrie berkomitmen menjadikan Bakrie & Brothers sebagai perusahaan raksasa dunia.

Mulai dari Mei 1997, hingga tahun 1998 petaka itu terjadi. Guncangan ekonomi dunia yang tidak disangka merembet pula ke Indonesia. Gawatnya, di Indonesia, krisis ekonomi itu berimbas pula pada krisis politik. Orde Baru guncang, mereka tidak bisa mengendalikan luapan amarah massa akibat kondisi ekonomi dan harga kebutuhan pokok melonjak tajam.

Masyarakat turun ke jalan, kesulitan dan tekanan hidup membuat mereka melakukan berbagai aksi penjarahan ke pusat-pusat ekonomi seperti tempat perbelanjaan dan pasar modern. Aktivitas ekonomi lumpuh seketika, fundamental ekonomi Indonesia yang dibangun bertahun-tahun hancur dalam tempo waktu sesingkatnya.

Jika ekonomi kelas bawah sudah bergerak, maka aktivitas ekonomi kelas menengah pun stagnan. Jangan tanya bagaimana kondisi ekonomi kelas atas. Banyak perusahaan kolaps saat itu. Bank-bank milik swasta berguguran, negara repot melakukan likuidasi penyelamatan, kebijakan merger menjadi solusi yang tak terbantahkan untuk menghindarkan resiko dari kebangkrutan. Setali tiga uang, kondisi Grup Bakrie pun tak luput dan terjerembab karena jeratan utang yang nilainya mencapai US$ 3 miliar.

“Saya lupa persisnya, tapi sekitar US$ 3 miliar,” kenang Aburizal Bakrie ketika menjelaskan mengenai kondisi awal perusahaannya terancam bangkrut menuju dasar tanah seperti saat pertama sang ayah Achmad Bakrie merintis usahanya.

Saat itu, perusahaannya benar-benar membutuhkan dana segar untuk melanjutkan kegiatan operasional dan membayar utang yang kadung menumpuk karena pelemahan nilai tukar rupiah. Keadaan itu yang memaksa Aburizal bakrie sampai harus pergi ke 220 bank di seluruh dunia dan mencari pinjaman baru untuk melunasi utangnya itu.

Pada keadaan yang memaksa, pada akhirnya, keluarga Bakrie harus melego saham Bakrie & Brothers. Tahun 1996, keluarga Bakrie memiliki 55% saham Bakrie & Brothers. Saat dihempas krisis tahun 1998 akibat tidak mendapatkan dana segar dan terpaksa harus menjual kepemilikan saham, porsi saham keluarganya turun menjadi hanya sekitar 2,5%. “Jadi setelah restrukturisasi, 95% milik perbankan internasional, 2,5% publik dan 2,5% milik keluarga,” tutur bapak tiga anak ini.

Tahun 1998 bukanlah pertama kali ia menghadapi krisis ekonomi. Aburizal Bakrie ternyata pernah mengalami turbulensi bisnis di rentang waktu tahun 1974, ketika di awal-awal ia masuk ke dalam lingkup bisnis perusahaan. Meskipun saat itu perannya belum terlalu sentral, tetapi mentalnya belum sepenuhnya terbentuk seperti saat ia menghadapi krisis tahun 1998. Alhasil Aburizal Bakrie merasakan tekanan dan depresi untuk mengeluarkan Bakrie & Brothers dari jurang kebangkrutan.

Ia mengaku masih sangat mengingat krisis hebat yang dialami perusahaan Bakrie, akibat kebijakan devaluasi atau penurunan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing oleh pemerintah pada tahun 1974. “Saya masih ingat betul, hari itu adalah 15 November 1974,” tuturnya.

“Saat itu, saya sedang gundah-gulana, karena devaluasi itu, nilai tukar rupiah dari Rp400 per dolar Amerika Serikat menjadi Rp1.600 per dolar Amerika Serikat. Kami takut tidak bisa membayar utang (perusahaan), karena utang kami dalam jumlah dolar cukup banyak,” katanya, berkisah.

“Ayah saya bertanya: ‘Ada apa?’ Lalu saya ceritakan semua kepada beliau, yang intinya perusahaan terancam tidak mampu bayar utang,” ujarnya.

Sang ayah Achmad Bakrie, tutur Aburizal Bakrie melanjutkan, tidak sedikit pun menunjukkan ekspresi khawatir dengan situasi itu. “Ayah saya bilang: ‘Perusahaan ini dibangun dari nol, dan kalaupun harus dari nol lagi (bangkrut), ya, berarti kembali ke semula. Tidak apa-apa,” kata ARB mengutip kalimat Achmad Bakrie. Kalimat sederhana sang ayah itu, kata ARB, membangkitkan optimismenya.

Sejak saat itu, tiap kali perusahaan berada di tepi jurang, Aburizal Bakrie selalu mengingat kata-kata sang ayah. Kata-kata Achmad Bakrie itulah yang selalu menguatkannya, membuatnya menjadi nothing to lose. Meskipun begitu ia tetap optimis mampu mengembalikan segalanya. Aburizal Bakrie punya trik khusus ketika ia membutuhkan dana segar untuk membayar utang perusahaan dan menjalankan operasional bisnis keluarga.

Meski saat masa krisis 1998 ia terjatuh dan tidak memiliki uang, Aburizal Bakrie tidak ingin terlihat susah di hadapan mitra bisnisnya. Ia tetap menjaga penampilan serta informasi yang keluar masuk tentang dirinya. Asumsi dan opini menjadi penting saat itu. Kalau mitra bisnis tahu Aburizal Bakrie berada di ujung tanduk, maka ia bisa saja kehilangan kepercayaan mitra bisnisnya.

Maka dari itu, menjaga citra di masa sulit merupakan hal penting yang harus dilakukan. Aburizal Bakrie berhasil, ia setidaknya masih bisa menjaga komunikasi dan hubungan baik bersama investor dan mitra bisnis hingga kembali mendapatkan dana segar agar perusahaannya bisa bernafas menghadapi gelombang krisis.

Menurut Aburizal Bakrie, tidak banyak perusahaan, terutama perusahaan nasional yang mampu bertahan dan eksis lebih dari 50 tahun terlebih setelah menghadapi badai krisis beberapa kali. Aburizal Bakrie mencatat, tahun-tahun sulit kelompok usaha Bakrie sejak dipimpin sang ayah, Achmad Bakrie, lalu beralih kepadanya serta adik-adiknya, hingga kini yang mulai memasuki generasi ketiga. Tahun-tahun sulit itu terjadi pada rentang waktu tahun 1948, 1957, 1974, 1998, 2001, 2003, dan 2008.

Kelompok usaha Bakrie adalah satu dari sedikit perusahaan yang mampu bertahan hingga sembilan windu. Pertama-tama, kata ARB panggilan akrab Aburizal Bakrie, rahasia sukses perusahaan Bakrie adalah sistem pengelolaan keuangan, yang harus dipisahkan antara uang perusahaan dan uang pribadi/keluarga.

“Rahasianya adalah memisahkan uang perusahaan dengan uang pribadi (keluarga). Kelemahan perusahaan di Indonesia adalah mencampurkan uang perusahaan dengan uang pribadi. Uang perusahaan beda dengan uang pribadi,” kata Aburizal Bakrie.

Berikutnya adalah etos dan semangat dalam berbisnis. Menurut Aburizal Bakrie, kelompok usaha Bakrie & Brothers yang mengalami berkali-kali jatuh bangun hingga nyaris bangkrut, karena krisis hebat sejak didirikan sang ayah pada 1942 hingga sekarang mampu bertahan karena sebuah prinsip dan semangat yang bernama etos kerja. Semangat dan etos kerja yang terus menyala, membuat perusahaan Bakrie terus berusaha bangkit hingga mampu berdiri lagi dari keterpurukan sampai detik ini.

“Walaupun krisis, harus tetap semangat, dan harus percaya kepada kekuatan Allah. Allah pasti akan memberi jalan keluar kalau kita punya kemauan dan usaha untuk bangkit,” katanya, yang pada kesempatan itu ditemani tiga adiknya, yaitu Roosmania Odi Bakrie, Indra Usmansyah Bakrie, dan Nirwan Dermawan Bakrie.

Aburizal Bakrie tidak membual apalagi menyebar omong kosong. Ia benar, dengan nilai-nilai yang telah diterapkannya, jerat utang sebesar gunung itu tak lantas membuatnya bangkrut. Tahun 2001, Grup Bakrie sudah menyelesaikan jerat utang. Perlahan tapi pasti, Aburizal Bakrie juga bisa mengambil lagi saham milik keluarga Bakrie.

Apakah hanya etos kerja disertai beberapa kiat lainnya untuk dapat menyelamatkan perusahaan? Nyatanya tidak, hal terpenting adalah mental juara, kompetitif dan ciri khas atau karakter kepemimpinan Aburizal Bakrie yang menyelamatkan perusahaan dari jurang kehancuran. Karakter kepemimpinan ini tentu tak terlepas dari bagaimana ayahnya, Achmad Bakrie mendidik dirinya dan sifat alami Aburizal Bakrie.

Salah satu ciri khas kepemimpinannya adalah keberaniannya mengambil resiko, meski tetap dengan hitungan cermat. Lihat saja, meski saat itu nyaris bangkrut, bukannya berfokus untuk terlebih dahulu menyelamatkan perusahaan yang ada, Aburizal Bakrie justru mengajak saudara-saudaranya menjajaki bisnis baru. “Saya bilang ke adik-adik saya, kita harus cari bisnis yang akan langgeng seumur hidup,” tuturnya.

Dalam persoalan satu ini, Aburizal Bakrie amatlah spekulatif. Tetapi ia memiliki maksud lain. Dengan energi yang tersisa, usaha baru yang akan dirintis olehnya bisa saja menangguk untung besar dan justru menjadi penambal kerugian di lini bisnis yang lama. Kala itu, Aburizal Bakrie masih belum tahu akan mengambil lini bisnis apa dengan bekal saham 2,5% yang tersisa dari bagian keluarganya itu itu.

Setelah melakukan riset dan pertimbangan dengan cermat, Aburizal Bakrie memaparkan setidaknya ada tiga pilihan bisnis yang akan mampu bertahan meskipun krisis menerjang, ketiga lini bisnis itu yakni energi, makanan dan air. Dari ketiga pilihan, keluarga Bakrie sepakat untuk memilih bisnis energi. Menurutnya bisnis energi adalah bisnis masa depan. Seiring kemajuan zaman, seiring itu pula bisnis dalam bidang energi menjadi sangat dibutuhkan keberadaannya.

Saat itu ada beberapa proposal penjualan perusahaan yang masuk ke keluarga besar Aburizal Bakrie untuk diambil alih. Aburizal Bakrie bersama saudara-saudaranya naksir dengan bisnis minyak dan gas. Lini bisnis minyak dan gas bahkan dibuat sebagai pilihan pertama yang ingin mereka geluti.

Tetapi, melihat kondisi keuangan, mereka harus puas dengan membeli perusahaan batubara. “Saat itu ada dua perusahaan yang dijual yakni perusahaan minyak dan batubara. Yang batubara dihargai US$ 180 juta, minyak US$ 600 juta,” ujarnya.

Alhasil, pilihannya jatuh pada membeli perusahaan batubara, PT Arutmin Indonesia. Aburizal Bakrie mengakui, Bakrie Grup tidak mengeluarkan uang sepeser pun saat membeli Arutmin. Rupanya, Aburizal Bakrie memanfaatkan aset yang akan dibeli untuk jaminan utang. “Karena sudah berproduksi, sehingga bisa menjadi bahan negosiasi dengan bank,” terang Ical.

Jadi Aburizal Bakrie membeli perusahaan itu memanfaatkan tenggang waktu antara kesepakatan yang telah terbangun terkait pembelian perusahaan dengan bank yang memiliki dana. Kesempatan kecil itu pun nyatanya bisa dimanfaatkan Aburizal Bakrie dengan baik. Ia tampak tidak menyiakan sedikitpun celah untuk masuk jika ada sebuah kesempatan. Entah untuk yang keberapa kali, pilihan Aburizal Bakrie dan keluarga masuk ke bisnis batubara rupanya menjadi awal kebangkitan bisnis Grup Bakrie.

Setelah krisis moneter berangsur-angsur mereda, ujar ARB, perusahaan Bakrie perlahan bangkit kembali. Meski begitu, di saat yang bersamaan, beban utang belum sepenuhnya terselesaikan. Pada 2003, utang perusahaan Bakrie senilai Rp3,6 triliun di Bank Nusa Nasional sudah jatuh tempo dan mulai ditagih.

Di masa itu, menurut ARB, ada perjanjian bisnis perusahaan Bakrie akan membeli Kaltim Prima Coal, sebuah perusahaan penghasil batu bara terbesar di Indonesia, tidak hanya di Indonesia Kaltim Prima Coal adalah barang mahal kelas dunia. “Produksinya terbesar di dunia,” ujarnya.

Tetapi, apa daya utang masih sangat besar. Jika merasionalkan kondisi rasa-rasanya pembelian Kaltim Prima Coal tidak akan pernah terwujud. Namun Aburizal Bakrie memiliki perspektif dan gocekan lain untuk melancarkan niatnya membeli perusahaan ini. Ia benar-benar naksir pada KPC, jadi bagaimanapun ceritanya, Aburizal Bakrie mengusahakan transaksi pembelian KPC bisa terwujud.

Semula, perusahaan ini milik Rio Tinto dan British Petroleum (BP) dengan komposisi kepemilikan saham masing-masing 50%. Secara spektakuler, mengejutkan dan memicu kontroversial pada saat itu, Grup Bakrie bermanuver dengan membeli 100% saham KPC. Lagi-lagi, dia menerapkan taktik negosiasi serupa ketika membeli Arutmin. “Saya negosiasi ke sana, awalnya gagal tapi negosiasi kedua berhasil,” ujarnya.

Aburizal Bakrie juga mencari talangan dana untuk membeli KPC. Ia menawarkan kerjasama dengan kontraktor dan pemasaran. Akhirnya, Aburizal Bakrie berhasil membeli KPC seharga US$ 700 juta dengan pinjaman bank Singapura sebesar US$ 414 juta. Sedangkan US$ 300 juta sisanya ia usahakan sendiri. “Tiba-tiba, Februari 2004 kami punya cash Rp3,6 triliun. Akhirnya, kami bisa bangkit lagi,” ARB mengisahkan.

Semenjak itu, kemajuan pesat Grup Bakrie semakin tak terbendung lagi. Lini bisnisnya melebar, dari perkebunan, energi, properti, manufaktur, media, asuransi hingga telekomunikasi. Rentang milenium ketiga menjadi masa keemasan Grup Bakrie. Jika menghitung seluruh lini bisnis yang dijalankan Aburizal Bakrie, hanya tinggal bisnis bank saja yang belum dimasuki lagi oleh Grup Bakrie. “Kami pernah masuk ke perbankan tapi bangkrut. Untuk sekarang belum mampu,” katanya.

Krisis hampir serupa terjadi lagi pada tahun 2008. Aburizal Bakrie mencoba mengingat kondisi waktu itu. Krisis yang terjadi akibat subprime mortgage yang melanda Amerika itu memiliki tantangan yang berbeda.

Krisis itu memang tak sehebat pada 1974 atau 1998, tetapi sekali lagi cukup memukul bisnis kelompok usaha Bakrie. Beruntung saat itu Aburizal Bakrie tidak memiliki lini usaha di bidang perbankan atau keuangan. Sehingga dampak krisis yang dirasakannya tidak terlalu parah. Perusahaan yang dikelolanya berhasil kembali keluar dari krisis itu, meski hingga sekarang belum sepenuhnya pulih.

“Sekarang (kelompok usaha Bakrie) tidak sejaya dulu (sebelum 2008), tetapi pelan-pelan, perusahaan-perusahaan Bakrie mulai membukukan keuntungan,” ujarnya, di hadapan sejumlah direksi perusahaan-perusahaan di lingkungan kelompok usaha Bakrie.

Atas kegagalan demi kegagalan yang pernah ia dera, seperti biasa, Aburizal Bakrie adalah figur yang cerdas dan pintar dalam mengambil hikmah peristiwa perjalanan kehidupannya. Ia membuat kesimpulan atas perjalanan panjang serta jatuh bangun kelompok usaha Bakrie itu, yakni tidak boleh putus asa untuk mewujudkan sebuah cita-cita.

“Tidak ada yang boleh putus asa. Selalu ada jalan keluar, kalau kita punya kemauan dan usaha. Jalan itu kita sudah lihat, sudah kita buktikan,” ujarnya.

Aburizal Bakrie menghadapi segala liku terjal itu tidak seorang diri. Ada keluarga besar yang selalu memompa semangat di pundaknya. Masih ada Nirwan Bakrie, Indra Usmansyah Bakrie dan Roosmania Bakrie yang selalu menjadi penyokong utamanya. Belum lagi menghitung dukungan moral terbaik yang datang dari istrinya, Ibu Tatty Murnitriati.

Anak masa kini menyebut orang-orang di sekeliling Aburizal Bakrie sebagai support system. Mertua dari selebriti Nia Ramadhani ini memiliki support system yang sehat dan kuat, hingga ia bisa terus melangkah dengan penuh kepercayaan diri untuk mengembalikan lagi kondisi Bakrie & Brothers serta mewujudkan apa yang pernah diucapkannya di awal tahun 1997 tentang mimpinya menjadikan perusahaan rintisan sang ayah sebagai perusahaan raksasa dunia.

Di keluarga besar, Aburizal Bakrie memiliki peran tersendiri, ia bak penjaga kekompakan dan penengah setiap kali muncul silang sengketa perdebatan antar saudara. Menurutnya, itulah resep bertahan Bakrie Grup hingga kini. Tidak terbayangkan bagaimana sulit dan rawannya Bakrie Grup jika saat terjadi krisis dan mengancam keberadaan perusahaan, saudara-saudara Aburizal Bakrie justru saling bertengkar akibat ego masing-masing, beruntung keluarga Bakrie memiliki kedewasaan serta kepemimpinan Aburizal Bakrie sebagai yang tertua. “Perbedaan pendapat pasti ada, tetapi semuanya bisa diselesaikan dengan baik,” katanya.

Aburizal Bakrie juga menuturkan bahwa dalam menjalankan bisnis keluarga, dia dan saudara-saudaranya saling berbagi peran dan melengkapi satu sama lain. Aburizal Bakrie memimpin negosiasi bisnis.

Lalu, adiknya, Nirwan Dermawan Bakrie akan menyelesaikan negosiasi. Sementara, Indra Usmansyah Bakrie lebih kepada operasional bisnis. Semuanya memiliki peran masing-masing. Achmad Bakrie pasti bangga dan tersenyum di surga ketika melihat anak-anaknya mampu menjaga amanah yang ia berikan terkait perusahaan Bakrie & Brothers hingga kini.

Perlahan tapi pasti, krisis demi krisis melatih mentalnya sebagai pebisnis kelas kakap. Impiannya pun terwujud perlahan, tetapi dengan cara yang berbeda. Bukannya menempatkan Bakrie & Brothers sebagai perusahaan di jajaran Fortune 500, Aburizal Bakrie seorang diri melejit menyabet berbagai prestasi internasional.

Berkat bakat bisnisnya, pada tahun 2006 ia mulai memasuki daftar orang terkaya di Indonesia yang dirilis oleh Majalah Forbes. Saat itu Aburizal Bakrie menempati posisi keenam dengan kekayaan sekitar $1,2 miliar. Kemudian, dalam kurun waktu setahun, Bakrie berhasil menjadi orang terkaya nomor satu di Indonesia dengan kekayaan bersih sebesar $5,4 miliar.

Bahkan menurut majalah Globe Asia pada tahun 2008, dengan jumlah kekayaan senilai $9,2 miliar atau Rp 84,6 triliun, Bakrie merupakan orang terkaya di Asia Tenggara dan mengalahkan Robert Kuok (orang terkaya di Malaysia dengan kekayaan $7,6 miliar), Teng Fong (terkaya di Singapura dengan kekayaan $6,7 miliar), Chaleo Yoovidya (terkaya di Thailand dengan kekayaan $3,5 miliar), dan Jaime Zobel de Ayala (terkaya di Filipina dengan kekayaan $2 miliar).

Kekayaan Bakrie pada saat itu meningkat pesat karena saham salah satu anak usaha PT Bakrie and Brothers (PT Bumi Resources Tbk atau BUMI) menanjak dari sekitar Rp 300 per lembar pada tahun 2004 menjadi Rp 5.900 per saham pada tahun 2007.

Namun, dalam daftar yang dirilis oleh majalah Forbes pada tahun 2008, peringkat Bakrie turun ke peringkat kesembilan. Hal ini disebabkan oleh krisis perbankan global, jatuhnya harga komoditas, dan hengkangnya para penanam modal, sehingga saham perusahaan-perusahaan Bakrie mengalami penurunan sebesar 90%.

Walaupun pada tahun 2009 ia sempat menduduki peringkat keempat, peringkat Bakrie merosot dari peringkat kesepuluh pada tahun 2010 menjadi peringkat ketiga puluh pada tahun 2011, dengan penurunan jumlah kekayaan sebesar $1,2 miliar atau 57 persen. Pada tahun 2012, ia tidak lagi menjadi bagian dari daftar 40 orang terkaya menurut Forbes. Hal ini terkait dengan utang yang harus dibayar oleh PT Bumi Resources, terutama setelah harga saham Bumi turun 70%.

Seiring perjalanan waktu, Aburizal Bakrie banyak belajar berbagai hal dan menyadari, tak selamanya kendali bisnis berada di tangan generasi kedua. Ada batas usia hidup seorang manusia yang menjadi garisan takdir Tuhan.

Itu sebabnya, kelompok usaha ini mulai melakukan regenerasi ke tangan generasi ketiga. Menurut Aburizal Bakrie, saat ini generasi kedua tidak terlalu banyak berperan di dalam pengambil keputusan perusahaan. Nirwan, misalnya, lebih mengurus sisi strategic planning. “Untuk kegiatan operasional semua sudah dilakukan oleh manajemen,” kata Aburizal Bakrie melengkapi penjelasannya.

Aburizal Bakrie memilih putranya, Anindya Novyan Bakrie sebagai putera mahkota untuk mengurus bisnis. Ia berharap, di tangan generasi ketiga, Grup Bakrie dapat terus berkibar dan lebih stabil. Terlebih era dan zaman sudah berganti.

Masa reformasi telah tiba, masa pembaharuan, masa-masa yang dianggap orang akan menyongsong masa keemasan ekonomi Indonesia. Orang muda lah yang harus memiliki peran. Bagaimana peran Aburizal Bakrie di masa-masa seperti ini? Apakah kelompok tua seperti dirinya tidak lagi memiliki dimensi ruang untuk bergerak?

Sumber:
Maria Elga Ratri,  “Kisah Grup Bakrie Lalui Krisis Demi Krisis”, CNBC Indonesia
Antique, “Aburizal Beberkan Rahasia Perusahaan Bakrie Bertahan Hingga 72 Tahun”, (https://www.viva.co.id/bisnis/480139-aburizal-beberkan-rahasia-perusahaan-bakrie-bertahan-hingga-72-tahun, diakses pada Januari 2024)