Berita Golkar – Kasus penembakan seorang siswa SMK di Semarang telah mengundang perhatian luas dan menjadi sorotan berbagai pihak. Insiden tragis ini tidak hanya menyisakan duka bagi keluarga korban, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang prosedur dan etika penegakan hukum di Indonesia.
Pakar hukum, Prof Dr Henry Indraguna mengkritisi tindakan oknum kepolisian yang diduga tidak sesuai dengan protokol. Penembakan yang dilakukan oleh oknum polisi berinisial Aipda RZ terhadap korban anak SMK Negeri Kota Semarang berinisial GRO, terjadi di tengah situasi yang tidak mengindikasikan adanya ancaman terhadap nyawa sang polisi.
Menurut Prof Henry, meskipun ada dugaan bahwa korban terlibat dalam kelompok tertentu yang disebut kawanan gangster, tindakan penembakan tersebut tetap saja tidak dapat dibenarkan. Ia menambahkan bahwa tindakan oknum polisi yang menembak ke arah pinggul, bukan kaki, jelas tidak sesuai dengan prosedur yang mengharuskan tembakan peringatan terlebih dahulu.
“Ini jelas kesalahan oknum, bukan polisi secara kelembagaan. Saya khawatir Kapolrestabes Semarang telah dibohongi anak buahnya. Saya melihat kalau pembelaan oleh Kapolrestabes Semarang itu karena mendapatkan informasi yang salah dan dilakukan lebih dari satu orang,” tegas Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta ini.
Prof Henry juga mempertanyakan motif dibalik penembakan tersebut. Dia menilai bahwa tidak ada dasar hukum yang jelas untuk tindakan tersebut, terutama jika mengacu pada standar operasi prosedur (SOP) kepolisian. “Jika korban melawan, seharusnya ada upaya untuk melumpuhkannya terlebih dulu. Ya jangan langsung menembaknya,” jelas Henry yang juga politisi Partai Golkar.
Dalam konteks ini, penting untuk menyoroti bagaimana kasus ini mencerminkan ada problem atau masalah dalam institusi kepolisian. Menurut Anggota Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), peristiwa pahit ini seharusnya menjadi momen introspeksi bagi kepolisian untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem serta prosedur yang ada.
Prof Henry merekomendasikan agar dilakukan tes psikologi ulang bagi anggota kepolisian yang memegang senjata, serta perlunya distribusi senjata yang lebih ketat dengan mempertimbangkan aspek psikologis dan temperamental anggota. Dia juga memberikan pandangannya dalam penekanan pentingnya transparansi dalam penegakan hukum.
“Jika terjadi kesalahan anggota maka pimpinan harus segera memberikan sanksi tegas. Law enforcement harus dijalankan secara tegak lurus dan transparansi pengusutan harus dilakukan secara fairness. Dengan begitu kepercayaan masyarakat kepada institusi kepolisian tidak luntur. Jangan karena perbuatan oknum polisi lalu institusi yang akan terkena dampak buruknya,” tegas Profesor dari Unissula Semarang ini.
Dia menambahkan bahwa kepolisian harus berupaya keras untuk membangun kembali citra dan kepercayaan publik. “Slogan ‘Presisi’ yang diusung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus diterapkan dengan nyata, bukan hanya sekedar kata-kata. Percayalah peristiwa ini tidak mungkin karena atas perintah atasan. Akan tetapi karena oknum yang menyalahgunakan,” pungkasnya. {redaksi}