DPP  

Soroti Kasus Penganiayaan Anak di Boyolali, Henry Indraguna: Bocah Berhadapan dengan Hukum, Tak Pantas Dianiaya!

Praktisi hukum Prof Dr Henry Indraguna memberikan semangat dan apresiasi kepada anak-anak di beberapa desa di Kabupaten Boyolali, Jateng atas prestasi belajar mereka. Dengan cara edukasi dan apresiasi positif, anak-anak tidak terpapar perilaku tak terpuji seperti mencuri

Berita GolkarPeristiwa penganiayaan terhadap KM, seorang anak berusia 12 tahun oleh beberapa orang dewasa di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah mendapat perhatian serius dari praktisi hukum, Prof Dr Henry Indraguna.

Dari pemberitaan media, ikhwal peristiwa yang menimpa bocah malang dipicu oleh aksi mencuri beberapa kali harta benda warga setempat.

Terakhir adalah ketika ia dituduh mencuri pakaian dalam. Akibatnya ia ditangkap, diinterogasi, dan akhirnya dianiaya secara bersama-sama oleh warga masyarakat setempat, termasuk Ketua RT.

Prof Henry berpandangan bahwa senakal apapun anak, jika berhadapan dengan hukum tetap harus diberikan hak mendapatkan pendampingan hukum.

“Saya sangat apresiasi kepada polisi yang menangkap 8 warga pelaku penganiayaan anak yang semestinya tidak dengan cara kekerasan dan bertindak seolah-olah mereka bisa bertindak sebagai hakim pengadil. Sekalipun anak KM diduga telah mencuri barang-barang warga, tapi tindakan warga dengan cara barbar justru bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan,” jelas Prof Henry di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Prof Henry yang pernah menjadi Caleg DPR RI dari Dapil Jateng V, salah satunya adalah Kabupaten Boyolali sebagai wilayah binaannya ini menuturkan bahwa masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal untuk mengatasi konflik semacam itu.

“Jika masih bocah, harus dibedakan antara kenakalan dan kejahatan. Dulu, ketika ada anak mencuri mangga tetangga, maka sanksi yang diberikan adalah pemilik mangga akan menemui orang tuanya dan menceritakan yang terjadi,” ungkap Prof Henry.

Kemudian si anak akan dipanggil dan diberi hadiah mangga.

Hal ini, kata dia, gunanya selain sebagai sindiran juga pesan moral bahwa semua hal bisa dibicarakan baik-baik. Akan lebih baik dengan cara meminta dengan terus terang buah yang diinginkan si bocah tersebut ketimbang mencurinya.

Selain itu karena pertimbangan usia anak masih dalam perlindungan hukum negara sehingga masih ada cara yang lebih bermartabat dan mendidik, tidak dengan cara kekerasan untuk menghentikan si bocah tadi mengulangi perbuatannya yang tidak terpuji.

“Dalam khasanah budaya Jawa dikenal istilah wirang. Ini bukan hanya sekadar memberikan rasa malu. Namun efeknya lebih dari malu. Biasanya anak-anak yang nakal itu, akan dibuat wirang. Wirang itu jadi sanksi sosial yang justru upaya terakhir dalam penegakan aturan masyarakat agar pelaku tidak mengulangi tindakan yang melanggar kepantasan dan kepatutan. Obat terakhir agar anak-anak tidak mengulangi tindakan nakal dengan cara membuat dia wirang,” terang Kanjeng Pangeran Aryo dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini.

Menurut Prof Henry, jika seseorang sudah merasa wirang, ia akan merasa diawasi banyak orang. Saat itulah diharapkan kemudian bisa berubah dan tidak akan mengulangi perbuatan yang tidak terpuji karena merasa ada sanksi sosial yang terbangun dari munculnya kearifan lokal setempat.

Namun berkaca dari kasus KM yang dituduh suka mencuri, maka treatment, yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologisnya.

“Mungkin saja ia mengidap kleptomania. Atau lihat juga pergaulan dan latar belakang keluarganya. Bisa jadi ada masalah yang belum terungkap. Maka kewajiban penyidik pun yang mengungkapkannya,” jelas Anggota Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.

Kepantasan dan Kepatutan

Menurut Doktor Hukum UNS Surakarta ini, anak-anak yang bermasalah dengan hukum sebenarnya layak dikasihani. Jika memang ia berbuat seperti yang diceritakan dan diyakini mayoritas masyarakat.

“Jangankan anak, orang dewasa sekalipun tetap tidak boleh dianiaya, diadili secara barbar. Kekerasan terhadap siapa pun tidak dibenarkan dan ditoleransi di negara hukum seperti Indonesia ini. Setiap warga negara memiliki kedudukan hukum yang sama dengan lainnya. Dan memiliki hak azasi yang sama yang dilindungi Undang-undang. Seorang maling ayam yang tertangkap basah sekalipun tak boleh dianiaya dan dihakimi tanpa ada aturan,” tegas Prof Henry sengit.

Disebutkan pula bahwa pelaku penganiayaan terhadap KM justru ironisnya memiliki profesi dan status sosial yang baik di masyarakat. Mulai dari Ketua RT, guru, sopir penjara dan lainnya.

Artinya, status sosial itu hanya bisa didapat dengan pendidikan tertentu. Jika sudah seperti ini, layak dipertanyakan pula manfaat dari pendidikan jika tak sanggup menjadi benteng moral dan kepantasan.

Menurut pengamatan Prof Henry, saat sekarang yang terjadi di masyarakat adalah munculnya kanker sosial dan dekadensi moral yang telah menghilangkan akal waras dan nurani kita sebagai masyarakat sosial yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nila kemanusiaan, kepantasan, dan kepatutan.

“Okelah anak itu bersalah. Okelah ia sudah beberapa kali tertangkap basah dan tak jera. Kondisi itu apakah mengizinkan orang lain mencabut hak hidupnya? Jelas tidak. Ingat, penganiayaan bisa saja berujung kematian. Artinya jika tidak dihentikan maka akan merampas hak hidup mereka,” terang Profesor dari Unissula Semarang ini.

Prof Henry kembali menegaskan bahwa kepantasan menjadi parameter seseorang sebelum bertindak. Kepantasan itu tempatnya lebih tinggi dari peraturan.

“Itulah sebabnya jika seorang hakim memvonis rendah seorang koruptor akan mendapat cibiran publik. Karena memang tak pantas jika pengadil justru memberikan ganjaran hukuman yang tidak sepadan,” katanya.

Peristiwa sudah terjadi, Prof Henry berharap kasus semacam ini atau kasus lain yang melibatkan anak, sebaiknya disikapi secara proporsional.

Kepantasan bisa menjadi parameter diri sebelum mengambil tindakan. Caranya? Dengan mengingat bahwa jika hal yang sama menimpa keluarganya, perasaan seperti apa yang telah dirasakan.

Prof Henry setuju dengan falsafah Jawa: “ora gelem dijiwit yo ojo jiwit”, yang artinya jika tidak ingin dicubit, ya jangan mencubit.

Ungkapan ini merupakan prinsip emas yang mengajarkan agar setiap orang jujur pada dirinya sendiri dan tidak melakukan tindakan kepada orang lain yang tidak disukainya jika dilakukan kepada dirinya. {redaksi}