Berita Golkar – Setiap kali menjawab pertanyaan wartawan terkait partai politik yang hendak dimasuki Joko Widodo, muncul jawaban singkat: “Saya masuk Partai Perorangan.” Jawaban yang tak spontan, tentu. Mengingat sistem politik Indonesia juga mengenal Calon Perorangan atau lebih populer disebut Calon Independen.
Apakah Jokowi sedang menawarkan alternatif dalam upaya perubahan sistem politik Indonesia?
Sistem multipartai nyatanya membuat harga demokrasi elektoral terasa mahal. Hulunya ada di tubuh partai-partai politik sendiri yang melakukan kerjasama jangka pendek dalam kontestasi Pilpres dan Pilkada dengan cara yang disebut para analis sebagai kartelisasi politik. Muaranya adalah ransum dan sembako sudah jadi bagian dari logistik kampanye, sekalipun dibungkus dengan tebus murah atau dibatasi jumlah nominalnya. Yang tak juga terang adalah sumber pembiayaan politik elektoral.
Jika saja tidak ada syarat Presidential Threshold untuk mengajukan pasangan Capres dan Cawapres, jumlah calon akan lebih banyak. Walau, asumsi semata. Toh pilkada yang baru berlalu menunjukkan bagaimana partai-partai politik berusaha untuk memunculkan satu pasangan calon atau minimal dua pasang. Kerjasama yang tak berjalan linear dari pusat, provinsi, hingga kabupaten dan kota.
Kehadiran calon perseorangan di Daerah Khusus Jakarta menunjukkan betapa publik juga berkehendak berbeda dengan memberikan suaranya. Bagaimanapun, Indonesia masih rendah dalam party id, sekitar 20 % saja. Artinya, hanya 2 dari 10 orang Indonesia yang terafiliasi dengan partai politik, baik sebagai anggota atau simpatisan. Selebihnya, orang Indonesia merasa orang merdeka, terbebas dari partai politik. Party id yang rendah inilah yang membuat kehadiran oligarki, kelompok feodal, hingga kalangan priyayi dalam politik. Berhubung demokrasi lahir dari kaum borjuis, tentu semakin ke sini kemampuan dana yang dimiliki pemilik atau owner partai politik kian terasa kuat.
Pesona dan endorsement yang dilakukan oleh Jokowi terhadap sejumlah calon kepala daerah terbukti mampu memenangkan mereka. Jumlah totalnya, tentu Jokowi sendiri yang tahu. Informasi yang beredar ada sekitar 80 kepala dan wakil kepala daerah yang didukung Jokowi mampu memenangkan pertarungan. Jakarta tentu pengecualian. Tetapi data demografis menunjukkan bahwa etnis Jawa masih dominan.
Apabila ada gugatan lagi dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi terkait kehadiran Capres – Cawapres Perseorangan, tentu banyak argumentasi yang bakal muncul. Calon perseorangan sudah muncul dalam pilkada. Negara-negara demokrasi utama dalam sistem presidensial juga memberi tempat kepada calon independen, termasuk Amerika Serikat, Jerman, Perancis, India, bahkan Afghanisran. Perdebatan teoritis akan berlangsung alot dan sengit.
Saya sendiri optimis apabila calon presiden dan wakil presiden perseorangan akan diberi tempat dalam praktek demokrasi kita. Cepat atau lambat. Tentu diluar perkembangan yang terjadi belakangan, apakah gubernur, bupati atau walikota akan kembali dipilih rakyat atau parlemen lokal. Diskusi seputar pilkada ini juga menarik. Sebab konstitusi tidak menyebut keberadaan wakil-wakil kepala daerah, berbeda dengan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam satu paket. Belum lagi keberadaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan tugas-tugas perbantuan dan dekonsentrasi, ketimbang desentralisasi.
Politik adalah ruang yang penuh dengan bunyi, bukan malah kesunyian yang berbisik. Dari diksi Partai Perseorangan yang disebut Jokowi saja, banyak sisi yang perlu diurai, bukan disembunyikan. Kalau arah Jokowi menuju pada konsolidasi pikiran terkait dengan Partai Perseorangan bisa ditafsir, perdebatan yang produktif dan konstruktif, sekaligus prospektif dan progresif, bisa dimulai. Jalan mundur bagi sistem demokrasi bukan pilihan yang baik. Tetapi menata ulang tentu saja perlu penelusuran sejak awal.
Capres dan Cawapres Perseorangan, mengapa tidak?
Oleh Indra J Piliang
Sang Gerilyawan Nusantara
Balitbang DPP Partai Golkar