Berita Golkar – Hari Ibu lahir berkat semangat membara dari perempuan-perempuan pendahulu. Tepatnya 96 tahun yang lalu, perempuan memutuskan duduk bersama, berdaulat, dan mendorong kesetaraan berbasis gender. Kala itu, Yogyakarta menjadi saksi tumpah ruahnya pemikiran perempuan dalam menyalakan semangat pergerakan.
Menarik untuk mengingat kembali dalam gambaran kontribusi perempuan masa kini yang telah mengawal gagasan hingga setara dengan laki-laki. Menarik pula merefleksikan peran-peran perempuan masa kini melalui berbagai perspektif, mulai dari sejarah, politik, hingga lingkungan dan sosial.
Di tengah dinamika sosial dan politik saat ini, peran perempuan makin mengemuka dalam berbagai sektor kehidupan. Sebab, perjuangan perempuan untuk memperoleh hak dan tempat setara di masyarakat bukanlah hal baru, melainkan sebuah perjalanan panjang yang dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Dalam perspektif sejarah, Mantan Direktur Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Triana Wulandari, menjelaskan bahwa Kongres Perempuan Pertama menjadi cikal bakal kesadaran gerakan perempuan di Indonesia yang membakar api perjuangan perempuan hingga sekarang.
Saat itu, kongres dihadiri oleh sekitar 1.000 peserta dari 30 organisasi perempuan, menjadikannya momen penting dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Menurut Triana, kongres ini adalah bukti awal bahwa perempuan Indonesia tidak hanya ingin berperan di ranah domestik. Lebih jauh, mereka juga ingin terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.
“Kongres Perempuan pertama bukan hanya tentang perempuan yang memperjuangkan haknya, tetapi juga tentang pemikiran strategis mengenai masa depan bangsa,” kata perempuan ahli sejarah tersebut, dikutip dari Hypeabis.
Perempuan-perempuan seperti Nyonya Soekonto, Sujatin, dan Nyi Hajar Dewantara memainkan peran sentral, meskipun pada masa itu perempuan ada di bayang-bayang dominasi patriarki. ”Mereka menghasilkan berbagai rumusan penting, salah satunya mengenai pendidikan dan kesetaraan hak perempuan,” lanjutnya.
Mimpi besar mereka juga mencetuskan gagasan vital terkait peran perempuan dalam perjuangan nasional. Kala itu, menurut Triana, perjuangan perempuan sangat terbatas oleh norma dan kondisi sosial yang tidak mendukung.
Namun, semangat yang ditunjukkan oleh para perempuan tersebut tetap membekas hingga kini. Perjuangan mereka, meskipun berada dalam kekangan penjajahan pun telah mampu melahirkan gagasan-gagasan yang memberi dampak hingga Indonesia merdeka.
Di sisi lain, politisi perempuan Nurul Arifin mengatakan, tantangan yang begitu kentara dirasakan perempuan saat duduk di parlemen. Dari kacamatanya, budaya patriarki yang masih mengakar kuat menjadi salah satu kendala.
Dalam perspektif politik misalnya, di Indonesia, meskipun ada regulasi seperti yang mengatur kuota 30 persen perempuan dalam legislatif, realitanya perempuan masih terhambat untuk mencapai posisi yang setara dengan laki-laki. Budaya ini sering kali membuat perempuan kurang berdaya dan tidak memiliki cukup keberanian untuk bertindak.
“Budaya patriarki yang melekat dalam masyarakat menyebabkan perempuan sering kali tidak diberi ruang untuk bersuara,” ungkapnya.
Nurul berpendapat bahwa untuk membuat perubahan nyata, perempuan harus terlibat dalam politik baik melalui parlemen maupun partai politik. Dalam praktiknya, tanpa kehadiran perempuan dalam struktur politik yang lebih tinggi, banyak isu yang memengaruhi perempuan dan masyarakat luas tidak dapat diakomodasi dengan baik dalam kebijakan negara.
“Sebab perempuan yang berada di ruang politik mampu mempengaruhi kebijakan yang lebih inklusif,” imbuhnya.
Hal ini juga termasuk hak-hak perempuan dan anak-anak, serta keadilan sosial secara keseluruhan. Maka bagi Nurul, penting untuk mendorong konsep empowerment perempuan yang harus dimulai dari diri sendiri, kemudian selanjutnya harus didukung oleh ekosistem yang memungkinkan perempuan berkembang dan berbicara dengan lantang di ruang publik.
Dari sisi lingkungan, aktivis lingkungan Davina Veronica menegaskan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam perubahan sosial dan pelestarian lingkungan. Dalam perjuangannya, perempuan sering menjadi ujung tombak dalam memerangi kerusakan lingkungan, baik melalui advokasi kebijakan lingkungan yang lebih baik maupun dalam kegiatan sehari-hari yang lebih ramah lingkungan.
Bagi Davina, ada alasan khusus mengapa Tuhan memberi perempuan sifat nurturing yang kuat. Dia memberikan contoh, di mana perempuan sering berada di garis depan dalam perjuangan melawan perusakan alam seperti deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem lainnya.
Perempuan di komunitas-komunitas tertentu, terutama di daerah pedesaan, memiliki pengetahuan yang mendalam tentang keberlanjutan alam dan menjadi penjaga tradisi lingkungan.
Menurutnya, suara mereka dalam isu-isu lingkungan menjadi sangat vital. Sebab, mereka tidak hanya berbicara untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang yang akan mewarisi bumi. “Dengan sifat nutruing dan keibuannya, perempuan memiliki kekuatan besar untuk menciptakan perubahan,” katanya.
Dia melanjutkan, para perempuan mesti menjadikan dirinya sendiri sebagai kekuatan. Kemudian, saat suara mereka digabungkan, terciptalah kekuatan kolektif yang dapat mengubah kebijakan publik dan mendorong perbaikan lingkungan.
“Perempuan bukan hanya sebagai korban perubahan iklim, tetapi juga sebagai agen perubahan yang aktif dan penuh semangat,” tutup Davina. {}