Berita Golkar – Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai pemerintah regulasi teknis untuk penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk barang mewah terlihat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.
Kenaikan tarif PPN dijalankan berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan pasal 7 disebutkan bahwa tarif PPN yaitu sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. Sedangkan tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.
Adapun aturan pelaksanaan yang sudah diterbitkan pemerintah adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean.
Dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak, dimana Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.
Sedangkan untuk masa transisi pada tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, Pengenaan PPN Barang Mewah dikenakan tarif 12% dengan DPP Yang sama dengan Barang/Jasa yang bukan barang mewah.
“Aturan pelaksanaan nya di PMK sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 dimana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU HPP tidak bisa menerapkan tarif PPN dengan multi tarif,” ucap Ketua Komisi XI DPR Muhammad Miskbakhun dalam pernyataan resmi yang diterima pada Minggu (5/1/2025), dikutip dari Investor.
Misbakhun mengatakan dalam UU HPP pasal 7 tidak ada larangan soal multi tarif PPN sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11% dan PPN 12% diterapkan bersamaan sekaligus. Tarif PPN 11% untuk yang tidak naik dan tarif PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah. Namun, saat PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain.
Presiden Prabowo menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11% dan bukan 12% untuk barang/jasa yang bukan barang mewah, tetapi dalam peraturan tersebut menyampaikan bahwa tarif PPN yang berlaku adalah 12%. Memang Dasar Pengenaan Pajak atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11% atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif.
Sayangnya peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, di mana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12%.Persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.
“Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya,” kata Misbakhun.
Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seharusnya membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multi tafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya. Menurut dia, tidak seharusnya DJP membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya.
“Kalau dirjen pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri karena apa yg dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Presiden Prabowo,” tutur dia. {}