Berita Golkar – Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN Wihaji mengemukakan pentingnya dukungan psikologis untuk menanggapi data yang mengungkapkan bahwa terdapat 20,9 persen anak yang kehilangan sosok ayah di Indonesia.
“Saat ini masyarakat Indonesia mulai kehilangan sosok ayah dalam mengasuh anak di keluarga. Ayah hanya mengurus ekonomi keluarga, namun lupa mengasuh anak, padahal anak juga butuh sentuhan psikologis. Maka, jika ada kekerasan pada anak, jangan pernah menyalahkan anak,” katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (1/2/2025), dikutip dari Antara.
Sebagai pembicara utama pada webinar nasional Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang digelar Jumat, Wihaji menekankan pentingnya orang tua introspeksi terhadap apa yang pernah dilakukan kepada anak.
Menurutnya, kehadiran sosok ayah dalam pola asuh anak dapat mencegah budaya kekerasan terhadap anak yang belakangan semakin meningkat.
“Kekerasan terhadap anak dapat dihilangkan dengan pola asuh yang baik, berdasarkan akhlak mulia berbasis pada kesadaran bersama, karena untuk menciptakan generasi masa depan yang kuat, tidak hanya melalui akademik, tetapi juga dimulai dengan pembentukan karakter di lingkungan keluarga,” ujar dia.
Menurut Wihaji, anak di Indonesia kehilangan kehadiran sosok ayah akibat beberapa kasus seperti perceraian, kematian, atau pekerjaan ayah yang jauh dari keluarga.
“Hal itu dapat berdampak pada perkembangan anak, menyebabkan meningkatnya gangguan emosi dan sosial, risiko penyalahgunaan NAPZA, performa akademik lebih rendah, risiko kenakalan remaja, hingga karakter maskulin anak laki-laki yang menjadi kabur, menyebabkan hilangnya karakter kepemimpinan pada mereka,” paparnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Kemendukbangga/BKKBN memiliki lima program hasil cepat atau quick win untuk menjalankan Astacita Presiden dan Wakil Presiden.
Terkait pembentukan karakter anak, Wihaji mengenalkan Gerakan Ayah Teladan (GATE), yang merupakan salah satu dari lima quick win, sebagai upaya membangun karakter orang tua, khususnya ayah untuk belajar mengasuh anak.
“Saat ini sebagian besar keluarga yang mengasuh anak kita adalah media sosial, karena mereka berjam-jam berdiskusi dan ngobrol dengan media sosial, dibandingkan ngobrol dengan orang tuanya, khususnya ayah. Bahkan, ada ayah dan anaknya ketemu bareng, tetapi sama-sama memegang ponsel, sama-sama asik dengan dunianya sendiri,” tuturnya.
Ketika ayah tidak hadir di dalam pola asuh anak, menurutnya, dapat menyebabkan mental generasi stroberi karena sebagian besar atau 80 persen beban pengasuhan hanya diletakkan pada ibu.
“Anak menjadi lemah lunglai, tidak kuat menghadapi tantangan, dan sedikit manja, maka, sempatkanlah bagi ayah untuk ngobrol dengan anak,” demikian Wihaji pada webinar yang bertajuk “Mencegah Kekerasan Terhadap Anak”. {}