Berita Golkar – Nyaris jarang ditemukan di abad supra modern ini, abad yang menggambarkan kecanggihan teknologi dan artificial intelligence dengan kekuatan hyper-connectednya, ada orang bicara tentang ideologi dan masa depan arah bangsa.
Apakah masih relevan “ideologi bersama” di tengah perkembangan manusia dari humanisme konvensional menuju humanisme modern/transhumanisme yang mana diwacanakan sebagai evolusi manusia modern yakni ketika entitas manusia bergerser dari entitas biologis menjadi entitas cyborg atau makhluk digital. Lagi-lagi apakah penting ideologi?
Secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya perkembangan teknologi ini menggeser banyak peran manusia dan menciptakan tantangan baru dalam ketimpangan sosial, ini sangat bertentangan dengan Pancasila, tidak ada keadilan di dalamnya. Lalu apa yang kita harapkan dari abad supra modern ini.
Menjawab pertanyaan yang sulit dan kompleks ini, saya tertarik dengan gerakan kajian ideologi yang dibentuk oleh Idrus Marham, maestro politisi Golkar kawakan, yang berani mengambil posisi sebagai ideolog politik sebuah partai yang tak pernah tenggelam ditelan zaman, yaitu Golkar, it is very rare.
Pengajian rutin ideologi sesi pertama, Kamis, 06 Maret 2025 dibuka dengan sebuah pengantar yang cukup menyegarkan, ia mengutip kalam Tuhan, wa tawaashau bil haqqi wa tawashau bish-shabri, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran, selama berkiprah di partai Beringin tersebut, Idrus seringkali diterpa badai politik, terakhir badai itu memghendaki dirinya untuk dihabisi melalui skenario skandal proyek PLTU Riau-1 yang mana ia sama sekali tidak menikmati, bahkan menerima sekalipun dari gratifikasi itu, tidak pernah. Itu murni skenario politik! Bisa kita buktikan dalam perjalanan kasusnya.
Dia menyadari, bahwa dalam memperjuangkan kebenaran perlu adanya kesabaran pada titik inilah sosok Maestro itu memahami makna Marham yang sesungguhnya, dalam ayat lain Tuhan berbicara wa tawashau bish-shabri watawashau bil-marhamah, orang-orang beriman itu senantiasa berpesan dalam kesabaran dan saling berpesan dalam kasih-sayang.
Artinya ada pesan Tuhan dan hamba-hambanya yang masih menaungi dia yakni pesan kasih-sayang, sehingga sampai saat ini dia masih eksis dan mengisi ruang-ruang diskusi, forum-forum intelektual, hadir sebagai ideolog di tengah krisis identitas partai Golkar.
Seorang sejarawan berkebangsaan Australia, David Reeve banyak mencatat sejarah Golkar, dalam bukunya “GOLKAR: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika”, Reeve merekam bahwa ada simpul yang hilang dalam perjalanan Golkar, meskipun Reeve juga memuji Golkar sebagai Partai dengan mesin politik paling canggih. Apa saja simpul yang hilang itu?
Pada saat jatuhnya orde baru 1998, rezim Soeharto jatuh, tapi Golkar sama sekali tidak ikut tersapu badai, ia malah menjadi kekuatan politik utama pada pemilu pasca reformasi, ini adalah era baru Golkar, era di mana gagasan asli berdirinya Golkar kalah dengan gagasan barunya dengan semangat kepartaiannya, padahal aslinya anti-partai.
Kemudian, bukan hanya itu saja, ada nilai ideologi yang tergerus dari Golkar, ideologi yang seharusnya didasari oleh etika kekeluargaan, kegotong-royongan, dan kekaryaan, ini lenyap begitu saja, karena masuknya faksi konglomerat ke dalam, sehingga politik yang ada, semuanya bersifat transaksional, tidak berdasar pada ideologi, melainkan ideo-logistick.
Rasanya memang sulit untuk saat ini mengembalikan Golkar seperti aslinya, yang dikatakan Reeve sebagai buah pemikiran dari Soekarno, Soepomo dan Ki Hajar Dewantara pada priode 40-an sampai 50-an. Jika kita tarik ke alam pikir para founders ini, Golkar bukanlah Partai, ia adalah Golongan Fungsionil, di sinilah Bung Karno di era itu mengubur partai-partai dan memunculkan Golkar ke panggung politik, meskipun pada akhirnya Soekarno tumbang dengan apa yang ia bangun.
Kendati demikian, di era supra modern dengan sistem multi partai ini sangatlah musykil untuk mengembalikan ke sistem itu, paling tidak Idrus Marham sudah berusaha menjaga dan melestarikan ideologi Golkar sebagai sebuah identitas yang orisinil, ideologi dengan kekayaan gagasan. Upaya inilah yang saya kira menjadi semangat Idrus Marham muncul sebagai ideolog politik Golkar, mengingat hari ini etika bangsa Indonesia sudah tercerabut dari akar kebudayaannya.
Idrus mencoba merefresh dan mengaktualisasikan kembali ideologi Golkar, sebuah doktrin ideologi utama yaitu ideologi Karya Kekaryaan, doktrin ini menekankan pada etos kerja dan produktivitas sebagai landasan berpolitik dan berorganisasi, jika kita merujuk pada kalam Tuhan ada sebuah pijakan di mana berkarya itu adalah ibadah, maka tak heran jika ada ayat i’maluu fasayarallahu ‘amalakum wa rasuluhu wal mu’minun, berkaryalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang mukmin akan melihat karyamu itu.
Jika pertanyaan sulit di atas tadi, kita jawab dengan penggalan ayat Tuhan ini, maka di era supra modern ini kita diperintahkan untuk berkarya, dalam bahasa Tuhan jelas sekali itu adalah bentuk amar (perintah) yakni kata i’maluu (berkaryalah kalian).
Hanya saja, yang sulit adalah, kita mengalah terhadap teknologi atau kita kuasai teknologi, maka dari itu Partai Golkar punya semboyan filosofis yakni Karya Siaga Gatra Praja, yang dipahami secara kreatif dan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.
Karya Siaga adalah bentuk profesionalisme dalam tugas dan karya, Gatra Praja adalah loyalitas terhadap kekuasaan. Namun, Idrus Marham menggaris bawahi bahwa loyalitas yang dimaksud seharusnya loyalitas rasional, bukan loyalitas emosional. Loyalitas rasional, seseorang dipilih karena loyal terhadap kekuasaan dan juga produktif membangun serta bekerja secara profesional, sedangkan loyal emosional ia dipilih karena kedekatan emosional, dan ini kontra-produktif.
Mengacu pada filosofi tersebut, betapapun caranya dan bagaimana pun upayanya SDM bangsa Indonesia harus ditingkatkan sesuai amanat UUD 45 dalam frasa “mencerdaskan kehidupan Bangsa”, inilah kunci problem solving untuk menuju kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Agar anak Indonesia tidak dikendalikan oleh teknologi, dan harusnya sebaliknya, menjadikan teknologi sebagai alat untuk berkarya dan berinovasi.
Patriotisme, Nasionalisme dan Religiusitas
Kecerdasan intelektual harus satu tarikan nafas dengan kecerdasan spiritual, kira-kira begitulah yang dibahasakan Maestro Idrus Marham, dua karakter ini yang melahirkan kesalehan sosial. Dalam perbincangan kaum sufi, ada istilah muraqabah (mendekatkan diri), seseorang harus melakukan meditasi, kontemplasi, tentang dirinya lalu jiwanya terbang tinggi menuju alam ‘uluwwi (alam ketuhanan) untuk mencapai ekatmata (kesatuan/manunggal), setelah itu turun lagi ke alam al-sufli (alam makhluk) untuk menebarkan rahmat dengan karya-karyanya.
Ideologi Karya Kekaryaan itu tentunya didasari dengan asas Pancasila, seorang yang Pancasilais tentunya harus memiliki tiga kepribadian, yaitu Patriotisme, Nasonalisme, dan Religiusitas. Patriotisme adalah bagaimana seorang pemimpin memiliki tanggungjawab, keberanian, kejujuran dan keadilan. Pada poin ini begawan politik Golkar menekankan kepada para kadernya pemimpin masa depan harus punya jiwa patriotis, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.
Nasionalisme, bangga menjadi anak Bangsa, tegas Idrus. Kata kunci itu adalah Bangsa, dalam UUD 45 kita harus tegaskan lagi amanat itu untuk Bangsa, bukan warga negara, kita harus membedakan mana bangsa, mana warga negara. Keduanya memiliki kedudukan yang berbeda, makanya ketika berbicara nasionalisme kepentingan yang harus diutamakan adalah kepentingan bangsa. Siapa bangsa Indonesia? Mari kita kembali pada kamus Sumpah Pemoeda 28 Oktober 1928.
Selanjutnya, relijiusitas, karakter ketiga ini adalah amanat tertinggi UUD 45, kita mengingat frasa “atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa” pada alinea ketiga pembukaan UUD 45, tidak ada negara di dunia ini yang dibangun dalam pondasinya ada nilai nasionalisme dan relijiusitas kecuali negara Indonesia. Patutlah kita sebut Pancasila sebagai ideologi paling ideal, ia mampu mencegah ekstrimisme baik dalam bentuk komunisme radikal atau liberalisme ekstrime. Pancasila memilih jalan moderasi, membantu mencegah polarisasi ekstrime, maka dari itu kemudian muncul sebuah gagasan Pancasila sebagai ideologi Sosialis Relijius.
Seiring berjalannya waktu, dan berkembangnya orde reformasi Pancasila sebagai asas tunggal mulai bergeser menjadi asas bersama yang menegaskan Pancasila tetap menjadi landasan utama dalam kehidupan bernegara, tanpa harus meniadakan keberagaman asas yang dipegang oleh kelompok, golongan, atau organisasi tertentu. Hal ini mencerminkan prinsip keterbukaan dan penghormatan terhadap kebebasan berpendapat.
Maestro Politik Golkar
Golkar awalnya memiliki fondasi ideologi yang kuat dalam bentuk kelompok fungsional, kekaryaan, dan anti-konflik ideologi. Namun, setelah Reformasi, akar pemikiran ini semakin kabur, membuat Golkar lebih dikenal sebagai partai yang fleksibel secara ideologi, dengan orientasi utama pada stabilitas dan kekuasaan politik.
Sebagai partai politik, Partai Golkar memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari partai lain. Golkar mengusung prinsip kekaryaan, pembangunan, dan stabilitas nasional. Dalam dinamika politik pasca-Reformasi, Golkar menghadapi tantangan untuk tetap relevan di tengah perubahan lanskap politik Indonesia yang semakin demokratis dan kompetitif.
Di sinilah peran Idrus Marham sangat terasa. Dengan latar belakang akademik yang kuat, ia berperan dalam menegaskan kembali posisi Golkar sebagai partai yang mengedepankan keseimbangan antara kepentingan pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan demokrasi. Idrus meyakini bahwa Golkar harus tetap menjadi partai tengah yang inklusif, pragmatis, dan berbasis pada kebermanfaatan bagi masyarakat luas.
Sebagai seorang maestro dan ideolog politik Golkar, Idrus Marham bukan hanya seorang politisi, tetapi juga seorang pemikir yang berperan dalam merumuskan dan menjaga identitas politik partai. Dengan kepiawaiannya dalam merancang strategi dan mempertahankan relevansi ideologi Golkar, ia menjadi sosok yang tak bisa dilepaskan dari perjalanan partai ini.
Idrus dikenal sebagai sosok yang mampu merangkul berbagai faksi di dalam Golkar. Kemampuannya dalam membangun komunikasi lintas kelompok menjadikannya salah satu tokoh kunci dalam menjaga stabilitas partai, terutama saat Golkar menghadapi berbagai gejolak politik, termasuk konflik kepemimpinan internal.
Akhir Kalam
Teringat sebuah ungkapan dari Socrates, An Unexamined life is not worth living, hidup yang tak diuji, tak layak dijalani. Saya sebagai generasi muda mengambil ibrah dari perjalanan hidup Idrus Marham, bukan hanya sebagai aktor politik, ia juga seorang ideolog politik.
Kalau dulu kita mengenal Tan Malaka, Syahrir, Soekarno, Soepomo, Tjokroaminoto hingga Ki Hajar Dewantara, mungkin saat ini di Golkar ada Idrus Marham, di partai lain pun juga begitu, selalu ada sosok ideolog.
Sebagai generasi penerus, kita harus tetap optimis dengan bangsa dan negara kita, satu pesan Bang Idrus yang selalu saya ingat, “Pesimisme adalah Musyrik Khafi” lebih samar dari rayapan semut, jangan putus asa dari harapan Tuhan. {}