Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo menyoroti besarnya pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibebankan kepada nelayan. Ia mengungkapkan, dari penyerapan aspirasi yang dilakukannya, Firman mendapati fakta bahwa banyak nelayan yang protes dan berkeberatan atas kebijakan ini.
Sebelumnya, berdasarkan PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Permen KP Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan dan tata cara pengenaan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam perikanan.
“Iya nelayan memang banyak mengeluh terkait dengan PP Nomor 85 Tahun 2021, mereka keberatan karena biaya pungutan terlalu besar, serta perhitungan indeks tarif berpatokan pada penghasilan kotor, sementara kita tahu sendiri biaya operasional nelayan cukup besar, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan mereka melaut dengan cost yang cukup besar, ujar politisi senior Partai Golkar ini.
Dalam regulasi yang tertera, terdapat aturan tentang besaran pungutan hasil perikanan pasca produksi. Dalam pasal 13 misalnya, perhitungan besaran pungutan hasil perikanan pasca produksi didasarkan formula indeks tarif x nilai produksi ikan pada saat didaratkan.
Hal ini menurut Firman sangat memberatkan, dimana kapal yang dioperasikan oleh Nelayan dengan ukuran di atas 60 gross ton (GT) harus membayar biaya pungutan pasca produksi PNBP sebesar 10 %, dan ukuran sampai 60 GT harus membayar pungutan sebesar 5%, dengan patokan indeks tarif pada penghasilan kotor.
Semestinya PNBP harus berpatokan pada penghasilan bersih karena hasil tangkapan dari aktivitas Nelayan sangat tidak menentu, serta memakan cost produksi yang cukup tinggi.
“Jika biaya pungutan dengan angka 10% dan 5%, maka perhitungan indeks tarif harus berpatokan pada penghasilan bersih dari nelayan bukan penghasilan kotor, sehingga semua pengeluaran sebagai cost produksi sudah tertutup baru hasil bersih bisa dilakukan pungutan untuk PNBP,” sambung Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini.
Anggota DPR RI empat periode ini meminta kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mengevaluasi kembali kebijakan terkait dengan PNBP sektor Kelautan dan Perikanan, dengan harapan tidak memberatkan para nelayan sebagai tulang punggung dalam menggerakkan ekonomi nasional dan menjadi aktor utama dalam mensukseskan swasembada pangan di sektor Kelautan dan Perikanan.