Ahmad Irawan Prihatin Banyak BUMD Inefisiensi: Modal Rp. 5 Miliar, Untung Cuma Rp. 25 Juta

Berita GolkarKomisi II DPR mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengawal proses bisnis dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sebab banyak dari BUMD ini hanya menguras keuangan daerah. Diiberi modal miliaran rupiah, namun untungnya tidak seberapa.

Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan mengatakan, hampir semua kabupaten/kota dan provinsi saat ini mengelola BUMD. Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan, total aset BUMD saat ini kurang lebih mencapai Rp. 1.170 triliun. Sayangnya, aset yang sangat besar ini tidak sebanding dengan laba yang diperoleh yang hanya sebesar Rp 29,5 triliun.

“Return of Investment yang diperoleh BUMD juga sangat kecil, hanya mencapai 0,025 persen dari total aset. Padahal kalau bicara return of aset ideal kaitannya dengan laba ini, dengan jumlah aset seperti itu, harusnya sumbangan BUMD ke laba ini bisa dikisaran Rp 50-60 triliun. Tetapi ini baru sekitar Rp 29,5 triliun,” sesal Irawan, di Jakarta, Minggu (28/4/2025), dikutip dari RakyatMerdeka.

Irawan menilai, sangat rendahnya laba BUMD ini menunjukkan bahwa pengelolaan BUMD ini masih sangat inefisiensi. Kondisi ini dikarenakan direktorat yang mengawasi dan membina BUMD ini masih distruktur Eselon IV.

“Kor kompetensi dari Kemendagri ini banyak mengurusi politik dan administrasi Pemerintahan daerah saja. Sementara dari sisi bisnisnya mungkin kuranglah. Tetapi mau nggak mau, Undang-Undang Pemda kita mengamanatkan bahwa Kemendagri juga adalah pembina dan pengawas kaitannya dengan Pemerintah daerah ini,” ujarnya.

Agar pengawasan BUMD dapat lebih ditingkatkan, Irawan usul agar Kemendagri melakukan revaluasi atas aset-aset BUMD ini. Sebab tidak tertutup kemungkinan, nilai aset BUMD yang tersebar di seluruh Indonesia ini, lebih besar dari data yang diaporkan Pemerintah saat ini sebesar Rp. 1170 triliun.

“Mohon bisa didorong mengenai revaluasi aset ini siapa tahu lebih besar dari ini dan memang kita harus bisa melakukan optimalisasi. Setahu saya juga di retreat kepala-kepala, Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani) menyampaikan perlunya sumber pembiayaan inovatif (untuk pengelolaan keuangan daerah),” ungkapnya.

Revaluasi aset ini, sambungnya, juga untuk mencari solusi atas inefisiensi di BUMD ini. Apalagi dia mendapati banyak dari BUMD ini dimodali miliaran rupiah, namun untungnya sangat kecil, tidak melebihi Rp. 25 juta.

“Itu bisnis apa dimodali Rp. 5 miliar, keuntungannya cuma Rp. 25 juta? Dan itu katanya masih mending Pak. Padahal kalau kita ngasih (modal) UMKM di Jakarta, nggak usah Rp. 5 miliar, Rp 10-20 juta saja, suruh buat dua gerobak buat pecel ayam, itu sudah sumbang ke Pemda bisa lebih dari Rp. 25 juta,” katanya.

Situasi ini, lanjut politisi muda Fraksi Golkar ini, tentu sangat memprihatinkan. Situasi ini menunjukkan bahwa BUMD belum bisa dikelola secara profesional, bahkan kalah jauh dari pengelolaan UMKM.

Menurutnya, sangat tidak masuk diakal, BUMD dibekali modal Rp. 5 miliar, namun untung hanya Rp. 25 juta. Yang lebih ironis, para direktur BUMD ini memiliki gaji sangat besar, Rp. 35-50 juta sebulan. Sementara kinerjanya sangat jauh dari kata memuaskan.

“Kinerjanya nggak ada. Nagih piutang saja nggak bisa, apalagi menyelesaikan utang. Ini yang kenapa saya selalu ditanya pimpinan saya (Komisi II DPR) kenapa dorong betul masalah BUMD ini, ya karena saya lihat ada potensi yang seharusnya bisa kita maksimalkan kaitan dengan ini,” ungkapnya.

Irawan meyakini BUMD asal dikelola dengan baik, akan dapat menjadi sumber pembiayaan inovatif dan penciptaan lapangan kerja di daerah. Dengan serapan kerja BUMD saja saat ini sebanyak 154.609 pegawai, jika pengelolaan BUMD ini dibenahi, dia memprediksi akan terjadi peningkatan tenaga kerja antara 300 ribu hingga 500 ribu pegawai BUMD.

Oleh karena itu, Irawan pengelolaan BUMD bisa setara dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD), perbankan milik daerah. Menurutnya, BUMD Perbankan bisa meraup untung cukup besar karena dia tergolong unit usaha daerah yang highly regulate, diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Karena itu, dalam hal pengawasan da pembinaan, Kemendagri bisa seperti OJK. “Intinya BUMD kita ini jangan kita lepas sama sekali,” tegasnya.

Irawan menjelaskan, salah satu BUMD yang mesti dibenahi segera adalah BUMD Air Minum atau PDAM. Sebab dari total 1057 unit BUMD yang tersebar di seluruh Indonesia. 393 BUMD atau 40 persen di antaranya adalah PDAM. Tapi yang terjadi, BUMD ini selalu rugi.

Padahal selain ditopang dana operasional dari APBD, sistem penyediaan air minum dan pipanisasinya atau pengembangan jaringannya juga menggunakan dana transfer infrastruktur fisik dari Direktorat Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum (PU).

Tidak hanya itu, di daerah, bisnis penyediaan air ini bisnisnya dimonopoli oleh PDAM. Swasta sama sekali tidak bisa masuk ke bisnis air ini. Dia yakin, jika 393 PDAM ini bisa dimaksimalkan, maka tugas Kemendagri dalam optimalisasi aset dan laba BUMD ini bisa tuntas.

Untuk itu, dia mendorong agar Kemendagri berkoordinasi dengan Direktorat Air Minum Kementerian PU untuk menyelesaikan inefisiensi di BUMD PDAM ini. Sebab dari 514 kabupaten kota yang tersebar di seluruh Indonesia, 323 kabupaten/kota atau 62,84 persen diantaranya sudah memiliki rencana induk.

“Ini tolong dikawal karena ini bisnis monopoli. Jangankan orang bisnis seperti PDAM, bisnis seperti Cleo, Le Mineral, Aqua, itu pendapatannya triliunan dari bisnis air minum. Padahal itu enggak pakai pipa jualan airnya, tetapi pakai gelas, pakai botol plastik, tetapi mereka bisa miliaran liter penjualan airnya. Ini PDAM dipakai mandi, cucilah, minum,” ujarnya.

Dia pun menyambut baik rekomendasi Kemendagri agar pembinaan dan pengawasan BUMD ini ditingkatkan menjadi setara eselon I, bukan lagi eselon IV. Menurutnya, rekoemndasi ini patut didukung karena kepentingan strategis negara terkait dengan BUMD ini sangat besar. {}