Airlangga Hartarto Pastikan Hubungan RI-China Tak Pengaruhi Negosiasi Tarif Dagang Dengan AS

Berita GolkarMenteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengeklaim hubungan Indonesia dengan China tetap berjalan baik meski pemerintah melakukan negosiasi ke Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan tarif impor.

Airlangga menjelaskan komunikasi yang dilakukan Indonesia ke AS bersifat bilateral, sehingga tidak membahas soal negara lain, termasuk China.

“Pembahasan selalu bilateral. Jadi antara Indonesia dan Amerika Serikat tidak ada pembicaraan dengan negara lain. Karena ini bilateral, bukan multilateral,” ujar Airlangga di Kantor Presiden Istana Merdeka, Jakarta, Senin (28/4/2025), dikutip dari Kompas.

Hal sama juga berlaku saat Indonesia berdiskusi dengan China. Dalam pembicaraan Indonesia dengan China tidak membahas soal AS. “Sama seperti kita saat bicara dengan China. Tak ada pembicaraan soal negara lain,” imbuhnya.

Sebelumnya, China menyatakan akan melakukan “pembalasan” kepada negara-negara yang bekerja sama dengan AS terkait imbas dari kebijakan tarif dan perang dagang yang terjadi.

China memperingatkan akan membalas negara-negara yang bekerja sama dengan AS dengan cara yang membahayakan kepentingan Beijing.

Perang dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia itu mengancam akan melibatkan negara-negara lain. Dikutip dari CNBC, Senin (21/4/2025), peringatan China itu muncul ketika pemerintahan Presiden AS Donald Trump dilaporkan berencana untuk menggunakan negosiasi tarif untuk menekan mitra-mitra AS agar membatasi transaksi perdagangan dengan China.

Trump pada bulan ini menunda kenaikan tarif utama di negara-negara lain selama 90 hari, sementara menaikkan bea lebih lanjut atas barang-barang dari China menjadi 145 persen.

“China dengan tegas menentang pihak mana pun yang mencapai kesepakatan dengan mengorbankan kepentingan China. Jika ini terjadi, China tidak akan menerimanya dan akan dengan tegas mengambil tindakan balasan timbal balik,” kata Kementerian Perdagangan China.

Kementerian itu memperingatkan tentang risiko bagi semua negara begitu perdagangan internasional kembali ke “hukum rimba.” Pernyataan itu juga berusaha untuk menggambarkan China sebagai pihak yang bersedia bekerja sama dengan semua pihak dan mempertahankan keadilan serta kewajaran internasional. {}