Berita Golkar – Berawal dari komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk memerangi korupsi dengan mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Komitmen itu ditunjukkan dalam pidato peringatan Hari Buruh, 1 Mei 2025.
“Saudara-saudara, dalam rangka pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset,” tegas Presiden Prabowo
Komitmen itu memang ditunggu karena sebelumnya ia membuat pernyataan yang kontradiktif. “Hukuman harus menyasar pelaku, bukan keluarga yang tak bersalah,” kata Prabowo.
Rencananya untuk mewujudkan RUU Perampasan Aset ini, Prabowo ternyata setuju melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna memperkuat draf RUU yang diyakini membuat mati kutu para koruptor. “PPATK punya keahlian melacak transaksi keuangan. Harta koruptor harus kembali ke rakyat,” ucapnya.
Langkah ini diperkuat dengan komunikasi politik intensif bersama pimpinan partai, meski pembahasan resmi di DPR baru dijadwalkan pada 2026.
Peristiwa ini mendapat tanggapan serius Pakar Hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH. Secara khusus Prof Henry memberikan pandangan mendalam atas inisiatif ini.
“Ini langkah krusial untuk memutus rantai korupsi. Keterlibatan PPATK, dengan teknologi yang dipunyai untuk melacak aliran dana ilegal, adalah fondasi kuat,” tegas Doktor Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini.
Aset Koruptor Jadi Aset Negara
Profesor Universitas Unissula Semarang ini lalu mengutip filsuf postmodern Prancis, Michel Foucault, yang menyinggung redistribusi kekayaan dalam konteks kekuasaan.
“Keadilan bukan hanya soal menghukum saja. Akan tetapi juga harus bisa mengembalikan apa yang telah dirampas dari rakyat untuk kesejahteraan bersama,” tegas Prof Henry mengutip sang Filsuf dunia tersebut.
Ditambahkannya, bahwa gagasan Foucault relevan dengan RUU yang bertujuan mengelola aset koruptor menjadi aset negara untuk kepentingan publik, seperti pendidikan dan kesehatan.
Tak hanya dukungan membabi-buta, Prof Henry juga mengingatkan adanya potensi bahaya yang mengintai. “Tanpa pengawasan independen, RUU ini bisa disalahgunakan sebagai alat represi politik,” tandasnya.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini mencontohkan kasus di Rusia, di mana undang-undang perampasan aset digunakan untuk menargetkan pengusaha dan aktivis yang kritis terhadap pemerintah, seperti Mikhail Khodorkovsky, yang asetnya disita pada 2003 setelah dianggap melawan politik rezim.
Contoh lain terjadi di Honduras pada 2015, ketika pemerintah Honduras bekerja sama dengan AS. Mereka menyita aset keluarga Rosenthal, termasuk Continental Bank, dengan tuduhan keterlibatan dalam perdagangan narkoba. Sekali pun belum ada vonis pengadilan.
Penyitaan itu menyebabkan 12 ribu orang kehilangan pekerjaan, memicu kerugian ekonomi besar dan kritik atas kurangnya proses hukum yang adil.
“Penyimpangan seperti ini harus diantisipasi dengan mekanisme checks and balances yang ketat,” ucap
Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini.
Prof Henry juga menyoroti risiko konflik kepentingan di lingkaran kekuasaan. Jangan sampai ada elite politik yang dilindungi. Jika itu terjadi, RUU ini akan kehilangan kredibilitas. Publik perlu jaminan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Tak hanya itu, pengacara kondang ini juga menyampaikan kontradiksi penderitaan keluarga koruptor yang disita asetnya dengan penderitaan rakyat.
“Meski terdengar empatik, keinginan melindungi keluarga koruptor ini harus dikonfrontasi dengan realitas yang terjadi terhadap penderitaan rakyat yang sistemik dan masif ini,” ungkapmya.
Prof Henry menyebut ada puluhan atau bahkan ratusan juta rakyat yang menderita secara sistemik akibat korupsi. Dana untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lenyap di tangan koruptor, meninggalkan rakyat dalam kemiskinan dan ketidakadilan.
“Presiden juga harus melihat bahwa secara faktual banyak koruptor memindahkan harta ke nama istri atau anak untuk menghindari penyitaan. Jika ini tidak diantisipasi, RUU akan jadi macan ompong,” beber Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Untuk memastikan RUU ini tidak mandek dan hanya retorika atau janji manis belaka, Prof Henry menawarkan saran strategis. Menurutnya, Presiden Prabowo memiliki modal politik besar dengan dukungan mayoritas partai di DPR. Dia harus dapat memerintahkan partai pendukungnya untuk menjadi inisiator dan katalisator pengesahan RUU ini.
“Jika partai koalisi bergerak cepat, ini akan jadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius. Tapi jika lamban, publik akan curiga ada agenda tersembunyi apa sehingga Pemerintahan Prabowo pun nggk ada bedanya dengan pemerintahan sebelumnya maju mundur untuk merealisasikan janji politiknya saat kampanye Pileg dan Pilpres,” urainya.
Langkah Prabowo telah menyalakan harapan, namun juga memicu pertanyaan. Akankah RUU Perampasan Aset menjadi senjata ampuh melawan korupsi, atau justru terjebak dalam dinamika politik dan konflik kepentingan?
“Visi Presiden layak didukung, tetapi tanpa eksekusi yang transparan dan berani, ini hanya akan jadi janji kosong,” tegas praktisi hukum yang cukup kritis ini sekalipun dirinya juga seorang politisi.
Pertanyaan publik yang ditangkap oleh Prof Henry adalah apakah hukum akan menjangkau “ikan-ikan besar” di lingkaran kekuasaan. “Langkah pemerintah ke depan akan jadi penentu apakah Indonesia bisa melangkah menuju keadilan, atau terperosok ke jurang kekecewaan,” tanya Waketum DPP Bapera ini.