Berita Golkar – Komisi XI DPR RI menyatakan dukungan terhadap legalisasi dan penguatan industri rokok lokal Madura. Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Asosiasi Pengusaha Muda Tembakau Madura (APTMA) yang digelar di Ruang Rapat Komisi XI, Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025).
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbahkun, mendorong peningkatan produksi rokok lokal Madura serta meminta pemerintah memperhatikan keberlanjutan industri ini yang dinilai memiliki potensi besar dalam mendorong perekonomian daerah.
“Ide-ide mengenai cukai tembakau di Madura harus melibatkan pengusaha rokok lokal. Kami mendorong peningkatan produksi tembakau lokal Madura dan pengembangan industrinya,” ujar Misbahkun, dikutip dari DPR RI.
Misbahkun juga mengapresiasi kontribusi pengusaha rokok lokal dalam menyerap hasil panen tembakau Madura, yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari kebijakan nasional.
Sementara itu, Ketua Umum APTMA, Holili, menyampaikan apresiasi atas dukungan Komisi XI DPR RI. Ia menyoroti kurangnya perhatian dari Kementerian Pertanian dalam menyusun data dan kebijakan berbasis wilayah terkait produksi tembakau Madura.
“Ternyata ketika saya melihat data dari Dinas Pertanian, sebaran wilayah tembakau Madura hanya tersedia untuk tahun 2022. Tidak ada data 2023 dan 2024. Padahal, di 2022 saja produksinya mencapai sekitar 18 ton,” jelas Holili.
Holili juga mengeluhkan tingginya harga pita cukai yang menyulitkan industri rokok lokal Madura untuk bersaing dengan perusahaan rokok besar seperti Djarum dan Sampoerna. Menurutnya, rokok lokal tanpa cukai telah menjadi alternatif inovatif yang justru ditekan oleh tindakan represif di lapangan.
“Petani terpaksa menjual tembakaunya ke perusahaan besar dengan harga 20.000–40.000 per kg. Sementara pengusaha lokal bisa membeli dengan harga 80.000–100.000 per kg. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.
Holili pun meminta pemerintah agar menetapkan tarif cukai khusus Golongan III untuk rokok lokal Madura, yakni di kisaran 350–400 rupiah per gram, agar lebih kompetitif dan dapat berkembang secara legal.
Senada, Anggota Komisi XI DPR RI Erik Hermawan juga menyuarakan keprihatinannya terhadap perlakuan yang diterima para pengusaha rokok lokal saat membawa produk mereka ke luar Madura.
“Kerap kali mereka menghadapi razia oleh aparat penegak hukum meski tidak ada pelanggaran yang jelas. Kita tidak bisa terus menggunakan pendekatan represif. Harus ada solusi bersama antara pemerintah pusat, aparat hukum, dan pelaku usaha,” kata Erik.
Erik juga menekankan pentingnya relaksasi kebijakan, terutama bagi rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), yang merupakan bagian dari budaya Madura dan berpotensi besar dalam memperkuat ekonomi masyarakat bawah.
“Kalau kita bicara tentang pertumbuhan industri, maka pelaku usaha kecil juga harus diberi ruang. Apalagi ini menyangkut budaya dan ekonomi rakyat,” pungkasnya. {}