Berita Golkar – Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena mengumumkan rencana besar untuk membangun dua situs bersejarah di Kabupaten Ende yang diyakini akan menjadi magnet baru pariwisata sejarah dan budaya di wilayah tersebut.
Dalam pertemuan bersama Wartawan Ende Bersatu (WEB) di Kota Ende, Sabtu (31/5/2025) sore, Melki Laka Lena memaparkan, dirinya akan membangun kembali sebuah rumah bersejarah di Kecamatan Ndona, tempat Presiden Soekarno biasa menunaikan salat saat masa pengasingannya di Ende pada tahun 1934 hingga 1938.
“Tadi saya diminta oleh keluarga di kampung untuk nanti kita mau bangun ada dua di tempat bersejarah. Satu tempat dulu Bung Karno biasa salat di tempat saya punya keluarga di Ndona, kita akan bikin lagi bangunannya,” kata Gubernur Melki Laka Lena.
Namun tak hanya itu, Gubernur juga menyampaikan rencana pembangunan Tugu Perfilman Indonesia di Kabupaten Ende. Tugu ini akan dibangun di titik yang diyakini sebagai lokasi syuting film bisu pertama Indonesia, Ria Rago di Desa Manulondo, Kecamatan Ndona.
“Yang satu lagi di titik yang rencananya mau bikin tugu perfiliman Indonesia, karena film yang judulnya Ria Rago itu diperkirakan jadi film pertama di Indonesia yang dibuat di Ende,” lanjutnya.
Gubernur Melki mengungkapkan, setelah kedua proyek tersebut selesai, ia akan mengundang salah satu menteri dari pemerintah pusat untuk meresmikan situs tersebut.
Ia berharap, langkah ini dapat memperkuat posisi Ende sebagai destinasi wisata sejarah yang kaya nilai budaya dan nasionalisme. “Biar Ende tambah lagi tempat yang bisa jadi destinasi wisata,” ujarnya.
Film Bisu “Ria Rago”, Jejak Awal Perfilman Indonesia dari Ende
Tak banyak yang tahu, bahwa sejarah perfilman Indonesia ternyata jejaknya bermula dari sebuah desa kecil bernama Manulondo di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende. Desa ini kini kembali mendapat sorotan karena menjadi lokasi syuting film bisu pertama Indonesia yang berjudul Ria Rago (De Heldin And Het Ndona-Dal)
Film yang diproduksi oleh para misionaris Katolik SVD dari Belanda ini dibuat pada tahun 1923 dan dirilis secara resmi pada tahun 1926.
Film ini mengangkat isu sosial tentang kawin paksa yang dialami oleh seorang gadis Katolik bernama Ria Rago, tokoh utama sekaligus pemeran dalam film tersebut yang merupakan warga asli Desa Manulondo.
Dalam kisahnya, Ria Rago dipaksa menikah dengan seorang pemuda Muslim bernama Dapo Doki yang sudah beristri.
Penolakan Ria terhadap pernikahan tersebut memicu konflik yang berujung tragis, ia melarikan diri ke biara (susteran) dan akhirnya meninggal dunia.
Kisah ini menjadi simbol keberanian perempuan dalam menghadapi tekanan adat dan ketidakadilan sosial, menjadikannya cerita yang sangat kuat dalam konteks emansipasi dan perlawanan terhadap patriarki.
Desa Manulondo yang berjarak hanya lima kilometer dari pusat Kota Ende, dulunya merupakan bagian dari Desa Onelako sebelum dimekarkan menjadi desa mandiri pada tahun 1996. Kini, desa ini tidak hanya dikenal sebagai sentra tenun ikat, tetapi juga sebagai saksi bisu sejarah awal film Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap nilai historis film tersebut, Ria Rago kini sedang dalam proses pembuatan ulang dengan judul “Ria Ragho Reborn”, yang diharapkan menjadi simbol kebangkitan film sejarah Indonesia di era modern.
Dengan rencana pembangunan Tugu Perfilman Indonesia serta pelestarian rumah ibadah Bung Karno, Kabupaten Ende bersiap menyambut masa depan sebagai pusat wisata sejarah dan budaya yang tak hanya menarik wisatawan lokal, tapi juga perhatian nasional bahkan internasional. {}