DPP  

Posisi Strategis Indonesia, Pasca Perang Israel-Iran

Berita GolkarSeketika dunia tersentak. Pada 13 Juni 2025, Timur Tengah kembali berdarah. Israel, melalui operasi udara bertajuk “Rising Lion”, menghantam fasilitas nuklir Iran secara masif dan sistematis. Serangan itu menewaskan sedikitnya 78 orang dan melukai lebih dari 320 warga sipil dan personel militer. Tidak butuh waktu lama, Iran membalas dengan meluncurkan lebih dari 100 rudal ke arah Jerusalem dan Tel Aviv. Sedikitnya tiga warga Israel meninggal dunia, 44 lainnya luka-luka, dua di antaranya kritis. Krisis ini tidak hanya memporakporandakan kawasan, tetapi mengguncang opini publik dunia yang terancam menyaksikan babak baru perang terbuka.

Namun, eskalasi ini tidak datang secara mendadak. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan bahwa Iran untuk pertama kalinya dalam dua dekade telah melanggar kewajiban nuklirnya. Teheran kemudian mempercepat pengayaan uranium dan mengaktifkan kembali sentrifuga canggih di lokasi rahasia. Dalam pernyataan bersama yang dirilis Kamis lalu, Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) dan Kementerian Luar Negeri Iran menyebut keputusan Dewan Gubernur IAEA sebagai “tindakan politis tanpa dasar teknis dan hukum yang jelas.” Ketegangan memuncak saat tiga komandan senior Korps Garda Revolusi Islam Iran tewas dalam serangan Israel yang menghancurkan fasilitas strategis di Tehran dan Isfahan. Dunia menahan napas.

Tepat sehari sebelum konflik ini meledak ke permukaan, sebuah percakapan diplomatik yang nyaris luput dari sorotan berlangsung. Pada 12 Juni, Presiden Amerika Serikat Donald Trump meluangkan waktu 15 menit berbicara langsung dengan Presiden Prabowo Subianto. Sebuah langkah yang tidak bisa dianggap kebetulan. Di tengah ancaman global dan narasi kekerasan, Trump memilih berdialog dengan pemimpin Indonesia. Ini adalah pengakuan bahwa ketika dunia butuh suara bijak, Indonesia adalah pilihan yang dianggap kredibel dan layak didengar.

Percakapan ini mengingatkan kita pada semangat besar Soekarno dan Hatta. Kedua proklamator itu bukan hanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga meletakkan fondasi politik luar negeri yang tidak tunduk kepada kekuatan besar mana pun. Politik luar negeri yang bebas aktif, yang hadir bukan untuk menjadi pengikut, tetapi untuk menjadi penyeimbang. Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung dan peran sentral Indonesia dalam Gerakan Non-Blok adalah bukti bahwa sejak awal, bangsa ini dirancang bukan hanya untuk merdeka, tapi juga untuk memerdekakan.

“Kemerdekaan suatu bangsa tak ada artinya jika tidak digunakan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa lain,” kata Soekarno. Ini bukan sekadar retorika politisi revolusioner. Ini adalah prinsip etik yang telah terbukti relevan dari era Perang Dingin hingga kini. Dalam krisis Israel-Iran yang memanas ini, Indonesia kembali hadir sebagai suara yang menenangkan ketika negara lain memilih memanas-manasi. Indonesia menawarkan ruang dialog saat negara-negara adidaya sibuk menambah amunisi dan tekanan.

Politik bebas aktif bukan berarti pasif. Ia bukan berdiri di tepi sejarah, melainkan menjadi bagian aktif dari penyelesaian sejarah. Ia adalah keberanian untuk tidak terseret ke dalam kubu kekuasaan global, sekaligus kesanggupan untuk turun tangan saat dunia memerlukan kejernihan moral. Dalam konflik hari ini, politik luar negeri Indonesia kembali diuji—dan justru itulah momen kebangkitannya.

Mengapa Trump memilih Prabowo? Karena Indonesia memiliki posisi unik yang tidak dimiliki negara lain. Kita tidak memiliki sejarah kolonialisme di Timur Tengah. Kita juga tidak memiliki kepentingan ekonomi konfrontatif di kawasan, serta tidak terikat dengan blok militer mana pun. Suara kita didengar bukan karena kekuatan militer atau tekanan ekonomi, tetapi karena posisi moral yang konsisten: kita tidak berpihak bukan karena ragu, tetapi karena kita berpihak pada perdamaian.

Indonesia telah membangun kredibilitas diplomatiknya selama puluhan tahun. Hubungan bilateral yang kuat dengan Iran, keaktifan di OKI, dan bahkan kanal informal yang terbuka dengan Israel—semua ini membentuk modal diplomasi yang tidak dimiliki banyak negara. Ketika dunia mencari mediator yang diterima oleh semua pihak, Indonesia tampil sebagai pilihan alami. AS tahu, untuk bicara dengan Iran, mereka membutuhkan mitra yang dihormati Teheran. Dunia Islam tahu, untuk menjaga martabatnya, mereka perlu negara besar yang tetap waras dan berimbang.

Di titik inilah peran Prabowo menjadi penting. Dengan latar belakang militer dan koneksi internasional yang luas, Prabowo memiliki kredibilitas personal yang tidak bisa disangkal. Ia dikenal tegas, tetapi juga terbuka terhadap kritik. Dunia tidak butuh pemimpin yang lembek, tetapi juga tidak mencari tokoh yang ingin mendominasi. Dunia memerlukan sosok penengah yang kuat namun tidak hegemonik—dan Indonesia, melalui kepemimpinan Prabowo, punya peluang emas untuk memainkan peran itu.

Tentu, tantangan yang dihadapi Indonesia kini berbeda dengan era Soekarno. Dunia multipolar hari ini jauh lebih kompleks, penuh persaingan diam-diam dan krisis yang saling berkelindan. Tapi prinsip dasarnya tetap sama: Indonesia harus menjadi honest broker—penengah yang dipercaya karena tidak membawa agenda tersembunyi. Kita memiliki semua modal: sejarah panjang anti kolonialisme, komitmen pada kemerdekaan bangsa-bangsa, demokrasi yang tumbuh stabil, ekonomi yang kuat, dan masyarakat yang plural.

Percakapan 15 menit antara Prabowo dan Trump bukan diplomasi basa-basi. Itu adalah pintu masuk menuju tanggung jawab yang lebih besar: menjadi jembatan dialog yang menyambungkan dunia yang nyaris retak. Inilah bentuk paling konkret dari soft power—kekuatan yang bersumber dari konsistensi, bukan dominasi. Kekuatan yang hadir karena dipercaya, bukan karena ditakuti.
Indonesia sedang berada di titik krusial sejarah. Kita mungkin tidak bisa menyelesaikan semua konflik, tetapi kita bisa mencegah konflik itu berubah menjadi bencana global. Kita tidak butuh senjata nuklir untuk dihormati. Yang kita perlukan adalah karakter bangsa yang kuat dan konsisten pada nilai-nilai keadilan dan perdamaian.
Panggilan dari Trump adalah tanda bahwa Indonesia kembali diperhitungkan. Ini bukan sekadar hasil dari keberuntungan diplomatik, melainkan hasil kerja panjang membangun reputasi yang kokoh. Para pendiri bangsa telah memberi kita arah. Kini saatnya generasi hari ini melanjutkannya—dengan kepala tegak dan hati yang bersih.

Ketika sejarah mencatat krisis Israel-Iran di Juni 2025 ini, semoga Indonesia tidak dikenang sebagai penonton, melainkan sebagai penyejuk. Sebagai bangsa yang tak hanya membela dirinya sendiri, tetapi ikut menjaga dunia agar tetap punya harapan.

Oleh: Ali Mochtar Ngabalin
Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS)
Anggota Komisi I DPR RI 2004–2009

Leave a Reply