Berita Golkar – Anggota Komisi X DPR RI mengungkapkan saran terkait kehadiran sekolah kedinasan. Usulan ini datang dari anggota fraksi partai Golkar, Juliyatmono. Ia menyebut perlu adanya transformasi agar sekolah kedinasan tak menjadi lembaga yang ekslusif.
Seperti yang diketahui, seleksi sekolah kedinasan berbeda dibandingkan perguruan tinggi baik negeri dan swasta lainnya. Calon mahasiswa, praja, taruna/taruni akan melalui seleksi terpadu yang digelar oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam skema pembibitan.
Setelah seleksi secara umum, mereka juga akan mengikuti rangkaian tes tambahan di sekolah lembaga/kementerian tujuan. Ketika lulus dari sekolah kedinasan, para mahasiswa; praja; dan taruna/taruni ini akan diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Menurut Juliyatmono, kini dunia sudah masuk ke dalam era kompetisi yang terbuka. Bila sekolah kedinasan diberikan perlakuan khusus, akan ada dampak yang terjadi.
“Memperlakukan sebagian anak bangsa (secara) khusus ini saya kira melahirkan korsa-korsa yang kurang memperkokoh persatuan-kesatuan,” ujarnya dalam acara Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang disiarkan secara daring dikutip Kamis (3/7/2025).
Korsa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “semangat persatuan dan kesetiakawanan dalam sebuah unit”. Dalam konteks ini, Juliyatmono menyatakan lulusan sekolah kedinasan ditakutkan tidak bisa membaur dengan yang lainnya ketika bekerja.
“Perguruan tinggi kelembagaan ini kan diberikan fasilitas yang luar biasa, (ketika) masuk sudah berharap dapat pekerjaan. Di pekerjaannya dia juga ya membangun korsa, yang ada mereka semua kurang bisa menerima kehadiran yang lain. Merasa paling jago, paling unggul, dan biayanya besar,” sambungnya.
Saran Hilangkan Eksklusivitas Sekolah Kedinasan
Untuk itu, Juliyatmono menyarankan dalam revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), masalah sekolah kedinasan ini juga ikut dibahas. Menurutnya, sekolah kedinasan bisa tetap ada. Namun, sebaiknya bisa didaftarkan oleh siapa pun dengan biaya yang ditanggung oleh masing-masing pendaftar.
“Bagaimana sekolahnya tetap ada tapi bebas siapa pun berhak dan masyarakat membiayai sendiri seperti perguruan tinggi yang lain. Pada saat kompetisi, yo bebas kompetisi di mana pun sesuai dengan pilihan mereka. Kalau dia mau sekolah di IPDN ya masuknya ketat, di situ ya baya,” urai Juliyatmono.
Tidak hanya proses masuk seleksi, ia juga menyinggung pemberian status CPNS kepada lulusan sekolah kedinasan. Ia menyarankan agar lulusan sekolah kedinasan tidak langsung menjadi CPNS, tetapi mendaftar CPNS seperti lulusan kampus lainnya.
“Pada saat mereka ikut CPNS ya ikut kompetisi seleksi CPNS, ini akan keren. Seperti itu, sehingga tidak ada eksklusivisme yang ada di situ,” tegasnya.
Perlu Kajian Mendalam
Saran yang diberikan oleh Juliyatmono ini didasarkan dengan keadaan anggaran pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) wajib mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan minimal 20%.
Namun, pada kenyataannya anggaran pendidikan terpecah-pecah di berbagai kementerian/lembaga tak hanya Kemendikdasmen dan Kemdiktisaintek. Salah satunya digunakan untuk sekolah kedinasan.
“Kita bicara di komisi ini selalu mandatory spending 20%, tapi apa (masalah) konkret yang akan kita diskusikan. Menurut saya sekolah kementerian bebas harus membayar sendiri masyarakatnya,” jelas Juliyatmono.
Meski begitu, ia menyebut gagasan ini memerlukan kajian mendalam sebelum akhirnya diputuskan. “Ini sebuah gagasan, bagaimana tanggapannya akan perlu kajian mendalam hingga semua akan menerima dengan baik pada saatnya nanti,” tandasnya. {}