DPP  

Henry Indraguna Ingatkan Risiko Transfer Data dalam Kesepakatan Dagang Indonesia-AS

Berita GolkarIndonesia dan Amerika Serikat (AS) mengumumkan Kesepakatan Perdagangan Resiprokal (Agreement on Reciprocal Trade) pada Juli 2025. Dalam salah satu klausul ternyata mencakup ketentuan transfer data pribadi lintas batas. Kesepakatan ini, bagian dari negosiasi dagang untuk mengurangi tarif ekspor.

Permufakatan dagang kedua negara ini menjadi sorotan publik manakala ada indikasi penyalahgunaan data pribadi warga Indonesia jika dikaitkan dengan kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Banyak pihak menilai kebijakan ini memiliki potensi manfaat ekonomi dan berdampak kepada target pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Prabowo-Gibran sebesar 8 persen. Namun juga bisa berisiko besar terhadap privasi dan kedaulatan digital Republik.

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa transfer data pribadi dibatasi untuk tujuan komersial. Misalnya, seperti mendukung perdagangan digital dan transaksi ekspor gliserin dari crude palm oil (CPO) untuk pupuk dan bahan peledak.

“Kesepakatan ini memastikan perdagangan digital berjalan lancar dengan tata kelola yang aman, memberikan manfaat bagi pelaku usaha di kedua negara,” kata Meutya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Seperti diketahui Indonesia berhasil menurunkan tarif ekspor ke AS dari 32% menjadi 19%, sementara Indonesia menghapus 99% tarif untuk ekspor AS.

Namun lobi Presiden Prabowo kepada Presiden Trump untuk penurunan besaran tarif tersebut bisa menjadi blunder jika transfer data pribadi berpotensi melanggar UU Perlindungan Data Pribadi. Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna, SH, MH, menyoroti potensi pelanggaran Pasal 56 UU PDP.

“UU PDP mensyaratkan negara dengan tujuan memiliki standar perlindungan data setara atau lebih tinggi, seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa. Sementara AS hanya memiliki regulasi sektoral, seperti California Consumer Privacy Act (CCPA), yang berlaku di California saja, bukan federal,” ujar Prof Henry di Jakarta, Jum’at (25/7/2025).

Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini memperingatkan risiko data tunduk pada Clarifying Lawful Overseas Use of Data Act (CLOUD) Act AS, yakni undang-undang yang memungkinkan pemerintah AS mengakses data yang disimpan perusahaan AS, baik di dalam maupun luar negeri.

Dengan CLOUD Act itu, kata Profesor dan Guru Besar Unissula ini, memungkinkan pemerintah Amerika Serikat melakukan investigasi penegakan hukum, seperti kasus kriminal atau terorisme, tanpa persetujuan negara asal data.

Prof Henry berusaha objektif menilai bahwa kesepakatan ini membawa manfaat ekonomi bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor guna menarik investasi dan mendorong daya saing ekspor di tengah ekonomi global tidak menentu dan pengaruh geopolitik dunia.

Transfer data memungkinkan perusahaan teknologi AS, seperti Google dan Amazon, mengoperasikan layanan di Indonesia. Hal ini otomatis membuka peluang bagi pelaku usaha lokal untuk memanfaatkan infrastruktur global.

“Di balik tantangan, kita masih memiliki peluang dengan cara meningkatkan investasi asing dan daya saing Indonesia di pasar digital,” ungkap Doktor Ilmu Hukum dari UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini.

Meski demikian, Prof Henry menilai masih adanya ketidakseimbangan manfaat yang didapatkan Pemerintah Indonesia.

“Indonesia menghapus hampir semua tarif untuk AS, tetapi kita masih menghadapi tarif 19%. Transfer data berisiko memperkuat dominasi perusahaan teknologi AS tanpa jaminan keuntungan setara bagi Indonesia,” tegas Ketua DPP Ormas MKGR ini.

Prof Henry mengingatkan bahwa transfer data dapat melemahkan industri data center lokal jika perusahaan asing memindahkan layanan ke luar negeri.

Sebagai solusi, Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini menekankan perlunya mekanisme perlindungan, seperti Binding Corporate Rules (BCR), yaitu aturan internal perusahaan multinasional untuk memastikan standar perlindungan data.

“Sebaiknya pemerintah harus menjelaskan bagaimana data dilindungi, misalnya melalui BCR atau perjanjian bilateral, untuk menjaga kepercayaan publik,” tandasnya.

Perjanjian ini memang menjanjikan manfaat ekonomi. Namun tetap ada tantangan besar terkait privasi dan kedaulatan digital. Waketum DPP Bapera dan Ketua LBH DPP Bapera meminta Pemerintah perlu menetapkan safeguards yang kuat, seperti BCR demi untuk memastikan perlindungan data sesuai UU PDP di tengah dinamika perdagangan global.

“Seperti yang pernah dikatakan oleh filsuf John Stuart Mill, bahwa perdagangan adalah kebaikan besar hanya sejauh ia melayani kebebasan dan kesejahteraan warga, bukan mengorbankannya demi keuntungan semata,” ucap Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.

Leave a Reply