Berita Golkar – Anggota Komisi XIII DPR RI, Maruli Siahaan, menyoroti pentingnya penguatan sistem pengawasan dan sumber daya manusia di daerah tujuan wisata strategis, seperti Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Hal itu khususnya dalam menghadapi tantangan yang berkaitan dengan tingginya mobilitas orang, perdagangan orang, serta keterbatasan kapasitas lembaga hukum dan pemasyarakatan di daerah.
“Labuan Bajo mencatat hampir 441 ribu perlintasan orang. Tapi kita belum punya data pasti, apakah mereka berstatus wisatawan, pekerja, atau pemilik usaha. Ini harus menjadi perhatian serius karena bisa saja berimplikasi pada persoalan monopoli ekonomi oleh tenaga kerja asing,” ujarnya saat Kunjungan Kerja Reses Komisi XIII DPR RI di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (25/7/2025), dikutip dari DPR.
Politisi dari Fraksi Partai Golkar ini menekankan perlunya peningkatan koordinasi antarinstansi, khususnya unit khusus seperti Biro Kriminal Khusus (Krimsus) dan Pengamanan Objek Vital (Pam Obvit), dalam melakukan pengawasan terpadu terhadap perlintasan dan keberadaan WNA di kawasan tersebut. Ia juga menyarankan agar pengumpulan data dilakukan lebih akurat dan sistematis.
Selain itu, Maruli juga menyoroti minimnya fasilitas dan dukungan operasional di lembaga pemasyarakatan, yang menunjukkan lemahnya alokasi untuk pembinaan warga binaan. “Jangan sampai pembangunan fasilitas Lapas hanya sebatas rencana. Perlu ada program konkret termasuk pelatihan, pembinaan narapidana narkoba, dan penjagaan keamanan yang lebih sistematis,” tegasnya.
Dalam konteks wisata, ia mendorong adanya konsep verifikasi dan revitalisasi lembaga pemasyarakatan yang menyesuaikan dengan karakter wilayah pariwisata. “Lapas di daerah wisata juga harus dirancang dengan pendekatan khusus. Selain pembinaan, juga menjaga agar ekosistem wisata tetap kondusif dan aman,” tambahnya.
Terkait isu perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), Maruli menyoroti belum terealisasinya anggaran untuk program-program di bidang hak asasi manusia. “Kita perlu pertanyakan kenapa sampai tidak ada realisasi anggaran di bidang HAM. Padahal data menunjukkan bahwa selama delapan bulan di tahun 2023 saja, tercatat 256 korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan Komnas HAM sudah menetapkan NTT dalam status darurat TPPO,” ungkapnya.
Ia menilai perlunya peningkatan jumlah personel dan mendesak pemerintah pusat agar menambah kuota penempatan aparat di wilayah ini. Selain itu, Komisi III diharapkan dapat mendorong pembentukan posko khusus Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) di Labuan Bajo dan wilayah-wilayah perbatasan lainnya.
“NTT bukan hanya gerbang wisata, tetapi juga salah satu pintu masuk persoalan serius yang beririsan dengan hukum, HAM, dan keimigrasian. Kita perlu kerja bersama untuk menjawab tantangan ini, termasuk usulan posko khusus Satgas TPPO yang permanen,” tutup Maruli. {}